Berita Hindu Indonesia - Sastrajendra hayuningrat pangruwating diyu adalah sebuah wewarah didalam budaya Jawa yang memiliki kandungan nilai filosofi dan religi. Mencermati secara etimologis : Sastra – sastra tulisan atau wewarah, Jendra - raja Indra, luhur, Hayu - rahayu, Rat - alam semesta, Pangruwat - menetralisir, menyeimbangkan, menyerasikan dan Diyu - watak negatif.
Jadi sastra jendra hayuningrat pangruwating diyu dapat diartikan wewarah luhur untuk kerahayuan alam dengan menetralisir watak negatif. Sastra Jendra adalah sastra / ilmu yang bersifat rahasia / gaib. Rahasia, karena pada mulanya hanya diwedarkan hanya kepada orang-orang yang terpilih dan kalangan yang terbatas secara lisan.Gaib, karena ilmu ini diajarkan oleh Guru Sejati lewat Rasa Sejati. Hayuningrat / yuningrat berasal dari kata hayu / rahayu – selamat dan ing rat yang berarti di dunia. Pangruwating Diyu, artinya meruwat, meluluhkan, merubah, memperbaiki sifat-sifat diyu, raksasa, angkara, durjana. Menurut para ahli sejarah, kalimat “Sastra Jendra” tidak pernah terdapat dalam kepustakaan Jawa Kuno. Tetapi baru terdapat pada abad ke 19 atau tepatnya 1820. Naskah dapat ditemukan dalam tulisan karya Kyai Yasadipura dan Kyai Sindusastra dalam lakon Arjuno Sastra atau Lokapala. Kutipan diambil dari kitab Arjuna Wijaya;
Dengan harapan dengan mengetahui dan memahami sastrajendra hayuningrat pangruwating diyu, semoga akan dapat menambah wawasan terhadap budaya spiritual Jawa yang lebih konseptual dan kontektual.
ALUR CERITA
Sebuah sayembara digelar oleh raja Alengka – Prabu Somali untuk mencarikan suami bagi anaknya Dewi Sukesi. Dewi Sukesi adalah sekaring kedaton wanita yang sangat cantik jelita, gandhes luwes, eseme jumiwat merak ati bagi siapapun yang melihatnya. Barang siapa yang bisa mengalahkan Mahapatih Jambumangli akan mendapatkan Sang Putri dan akan dikawinkan dengan anaknya Dewi Sukesi.
Puluhan raja muda dari berbagai Negara ikut serta dalam sayembara itu. Namun keseluruhan peserta sayembara tiada seorangpun yang mampu mengalahkan Arya Jambumangli. Jambumangli merupakan mahapatih Alengka yang memiliki kesaktian tak tertandingi. Karena belum juga mendapatkan pemenang, sementara itu para raja muda banyak yang babak belur dalam bertarung dengan Jambumangli, maka Sang Putri mempertimbangkan untuk merubah sayembara tidak dengan pertarungan atau adu kesaktian tetapi dengan adu ilmu pengetahuan. Barang siapa yang mampu memberikan wedharan tentang “sastrajendra hayuningrat pangruwating diyu”, dialah sebagai pemenangnya yang berhak untuk memboyong Sang Dewi Sukesi.
Peserta para rajamuda yang mengikuti sayembara, lagi-lagi tidak seorangpun yang bisa membabarkan ajaran tersebut.Jangan lagi membabarkan istilah “sastrajendra hayuningrat pangruwating diyu”, yang dianggapnya asing, bahkan ada yang mengatakan mendengar istilah itupun baru kali ini.
Tiba-tiba datang seorang kakek – Rsi Wisrawa teman sang Prabu Somali. Beliau menyatakan ingin mengikuti sayembara itu untuk mendapatkan dan memboyong Sang Dewi ke negerinya untuk dijadikan sebagai menantunya yang akan dikawinkan dengan putranya Danaraja – raja Lokapala.
Dihadapan Prabu Somali yang disaksikan oleh segenap perangkat kerajaan Alengka, Rsi Wisrawa menyatakan bahwa wewarah itu sangat luhung dan bersifat sinengker. Luhung dalam arti memiliki kandungan makna yang sangat luas dan sinengker artinya sangat rahasia. Untuk memahami arti dan makna dari wewarah itu dibutuhkan perenungan yang mendalam dengan penghayatan dan pengamalan penuh disiplin spiritual yang sangat tinggi.
Secara sekilas dibabar bahwa wewarah itu bermuatan nilai tentang Ketuhanan, hakikat hidup, hukum alam, kehidupan alam semesta dan lain sebagainya.
Setelah mendengar paparan kilasan tentang wewarah “sastrajendra hayuningrat pangruwating diyu” nampaknya Prabu Somali merasa ada kesamaan pandangan yang akhirnya memberikan kesempatan kepada Sang Rsi untuk membabar wewarah itu, khususnya kepada Sang Dewi yang sangat kepengin untuk mengetahuinya. Karena ajaran itu bersifar sinengker, pembabarannyapun mesti harus dilakukan dengan persyaratan khusus yaitu hanya dilakukan secara pribadi, dilambari rasa ketulusan, keikhlasan dan kesucian, serta di suatu tempat yang suci sepi jauh dari keramaian.
Karena Sang Dewi yang sangat getol kepengin mengetahui wewarah tersebut maka beliau tidak keberatan dapat meyetujui persyaratan yang diajukan oleh Sang Rsi dan pembabaran wewarah tentang “sastrajendra hayuningrat pangruwating diyu” dimulai;
“Sang Dewi” demikian Rsi Wisrawa mulai membabar wewarahnya, “sebagaimana diketahui bahwa ilmu ini sangat luhung dan bersifat sinengker. Oleh karenanya untuk mengetahui wewarah ini tidak hanya didengarkan, akan tetapi mesti harus dilakukan dan dirasakan. Sebagai syarat utama saya berharap Sang Dewi dalam kesucian seperti bayi yang sedang lahir, artinya tanpa busana. Apakah Sang Dewi bersedia?. Sela tanya Sang Rsi Wisrawa. “Sang Dewi tidak perlu ragu dan malu, jika ingin mengetahui wewarah ini”. Setelah Sang putri melakukan sesuai perintah, Sang Rsi melanjutkan wedarannya: “Kita merasakan sesuatu yang tidak dapat diungkapkan dengan kata. Inilah sebagai rahasia yang pertama, anugerah Tuhan yang diberikan kepada manusia. Tuhan memberikan kenikmatan, keindahan dan keelokan bagi seru sekalian alam, untuk itu patut disyukuri”.
Kecantikan wajah wanita serta kemolekan dan keindahan tubuhnya memang menarik. Sangat menarik bagi siapapun. Hal itu akan memunculkan rasa birahi dengan cinta dan nafsu. Cinta yang anggun dan nafsu yang liar yang tidak mudah untuk dikendalikan. Keduanya menyatu dalam pikiran kita yang sudah barang tentu membutuhkan sikap yang arif untuk mensikapinya.
Selanjutnya Sang Rsi berkata; “Sampai disini apakah Sang Dewi masih ingin mengetahui kelanjutan dari babaran tentang wewarah “sastrajendra hayuningrat pangruwating diyu?” Sang Dewipun menjawab dengan anggukan kepalanya.
“Jika itu kehendak Sang Dewi, wewarah itu tidak hanya diungkapkan dalam kata semata, namun mesti harus dihayati dan diamalkan. Sastra jendra adalah kehidupan itu sendiri, perasaan yang muncul yang dirasakan oleh seseorang antara lelaki dan perempuan. Ibarat nikmatnya ranum buah durian, tidak dapat diungkapkan dalam kata, namun mesti harus dirasakan. Hal ini sebagai rahasia sastrajendra yang tidak akan dapat dijelaskan oleh siapapun, tetapi hanya dengan melakukan dan merasakannya sendiri secara langsung.”
Karena terdorong rasa keingintahuan tentang wewarah tersebut, Sang Dewi mengikuti segala apapun yang diperintahkan oleh Sang Rsi yang akhirnya sepasang lelaki dan perempuan itu pun terjadi perilaku selayaknya suami isteri. Bibit dosa telah tertanam yang selanjunya akan terwarisi oleh anak cucu atau generasi selanjutnya.
Teriring rasa dosa dan penyesalan yang mendalam Sang Rsi Wisrawa dan Dewi Sukesi menghadap Sang Raja, menyampaikan apa yang baru saja terjadi. Mendengar hal itu Jambumangli marah dan menyindir kepada Rsi Wisrawa.
“Kalau Sang Rsi konon yang telah tatas didalam menghayati dan mengamalkan ajaran sastrajendra hayuningrat pangruwating diyu saja masih tergelincir dalam perbuatan nista, bagaimana dengan manusia biasa”.
Sang Rsi menjawab dengan lantang “Ah kamu Jambumangli, sayembara yang kamu gelar dengan perang tanding melawanmu, bukankah itu siasat licik kamu untuk mendapatkan Sang Dewi, karena kamu yakin tidak ada raja-raja muda yang dapat mengalahkanmu dan itu terbukti tidak ada satupun diantara mereka yang mampu menandingimu. Selanjutnya kamu akan merasa yang paling kuat dan pantas memiliki Sang Dewi, begitu kan?”.
Sindir – menyindir diantara Jambumangli dan Rsi Wisrawa berujung pada perkelahian keduanya, namun pertarungan ini dimenangkan oleh Rsi Wisrawa, sebelum terjadi hal yang fatal, Sang Prabu Somali berhasil melerai keduanya. Hal inipun terdengar Danaraja, ia marah dan lengkap dengan pasukannya menyerang Alengka. Namun mendapat petunjuk dari Begawan Narada, akhirnya Sang Raja menghentikan pertarungannya dan kembali pulang dengan tangan kosong.
Alkisah Dewi Sukesi hamil dan melahirkan anak dampit (satu kali kelahiran, melahirkan 2 bayi laki-laki dan perempuan). Untuk yang laki-laki diberi nama Rahwana dan Sarpakenaka untuk yang perempuan. Rsi Wisrawa dan Sukesi sangat senang dan mereka hidup menetap di Alengka. Untuk beberapa tahun kemudian lahir anak laki-laki lagi diberi nama Kumbakarna dan lahirlah anak yang terakhir diberi nama Wibisana..
Setelah itu Sang Rsi dan Sang Dewi meninggalkan istana untuk melanjutkan babaran tentang ajaran sastrajendra, mereka melakukan kehidupan wanaprasta ke hutan..
ANAK YANG TERLAHIRKAN
Bertahun-tahun waktu berlalu dan pada suatu saat, Sang Dewi merasa kangen dengan para putranya yang tinggal di istana Alengka.
“Apa yang terjadi dengan anak kita, Rahwana, suamiku?” Tanya Sang Dewi Sukesi kepada Rsi Wisrawa.
”Isteriku, kini mereka telah dewasa, Rahwana diangkat menjadi raja Alengkapura menggantikan kakeknya. Dia rajin dan tekun bertapa untuk mendapat kesaktian. Karena ketekunannya itu,dia berhasil mendapatkan kesaktian yang luar biasa, tidak dapat dikalahkan oleh siapapun makhluk di ketiga dunia termasuk Dewa. Demikian pula dia tidak akan dapat terlukai senjata apapun serta mendapatkan kehidupan yang abadi. Berangkat dari kesaktian yang itu nafsunya menjadi liar dan menjadi-jadi, karena dirinya menganggap tidak akan ada yang berani mengganggu dan atau merintangi kehendaknya. Di dalam kehidupannya senantiasa diwarnai dengan seks, dengan mengejar siapapun wanita yang dia sukai. Bahkan sampai putra Dewa Indra – Dewi Tari dipaksa diminta untuk menjadi isterinya.
“Oh anakku, Rahwana, apa yang terjadi dengan dirimu, nak” keluh Sang Dewi.
“Sang Dewi” demikian Rsi Wisrawa mulai membabar wewarahnya, “sebagaimana diketahui bahwa ilmu ini sangat luhung dan bersifat sinengker. Oleh karenanya untuk mengetahui wewarah ini tidak hanya didengarkan, akan tetapi mesti harus dilakukan dan dirasakan. Sebagai syarat utama saya berharap Sang Dewi dalam kesucian seperti bayi yang sedang lahir, artinya tanpa busana. Apakah Sang Dewi bersedia?. Sela tanya Sang Rsi Wisrawa. “Sang Dewi tidak perlu ragu dan malu, jika ingin mengetahui wewarah ini”. Setelah Sang putri melakukan sesuai perintah, Sang Rsi melanjutkan wedarannya: “Kita merasakan sesuatu yang tidak dapat diungkapkan dengan kata. Inilah sebagai rahasia yang pertama, anugerah Tuhan yang diberikan kepada manusia. Tuhan memberikan kenikmatan, keindahan dan keelokan bagi seru sekalian alam, untuk itu patut disyukuri”.
Kecantikan wajah wanita serta kemolekan dan keindahan tubuhnya memang menarik. Sangat menarik bagi siapapun. Hal itu akan memunculkan rasa birahi dengan cinta dan nafsu. Cinta yang anggun dan nafsu yang liar yang tidak mudah untuk dikendalikan. Keduanya menyatu dalam pikiran kita yang sudah barang tentu membutuhkan sikap yang arif untuk mensikapinya.
Selanjutnya Sang Rsi berkata; “Sampai disini apakah Sang Dewi masih ingin mengetahui kelanjutan dari babaran tentang wewarah “sastrajendra hayuningrat pangruwating diyu?” Sang Dewipun menjawab dengan anggukan kepalanya.
“Jika itu kehendak Sang Dewi, wewarah itu tidak hanya diungkapkan dalam kata semata, namun mesti harus dihayati dan diamalkan. Sastra jendra adalah kehidupan itu sendiri, perasaan yang muncul yang dirasakan oleh seseorang antara lelaki dan perempuan. Ibarat nikmatnya ranum buah durian, tidak dapat diungkapkan dalam kata, namun mesti harus dirasakan. Hal ini sebagai rahasia sastrajendra yang tidak akan dapat dijelaskan oleh siapapun, tetapi hanya dengan melakukan dan merasakannya sendiri secara langsung.”
Karena terdorong rasa keingintahuan tentang wewarah tersebut, Sang Dewi mengikuti segala apapun yang diperintahkan oleh Sang Rsi yang akhirnya sepasang lelaki dan perempuan itu pun terjadi perilaku selayaknya suami isteri. Bibit dosa telah tertanam yang selanjunya akan terwarisi oleh anak cucu atau generasi selanjutnya.
Teriring rasa dosa dan penyesalan yang mendalam Sang Rsi Wisrawa dan Dewi Sukesi menghadap Sang Raja, menyampaikan apa yang baru saja terjadi. Mendengar hal itu Jambumangli marah dan menyindir kepada Rsi Wisrawa.
“Kalau Sang Rsi konon yang telah tatas didalam menghayati dan mengamalkan ajaran sastrajendra hayuningrat pangruwating diyu saja masih tergelincir dalam perbuatan nista, bagaimana dengan manusia biasa”.
Sang Rsi menjawab dengan lantang “Ah kamu Jambumangli, sayembara yang kamu gelar dengan perang tanding melawanmu, bukankah itu siasat licik kamu untuk mendapatkan Sang Dewi, karena kamu yakin tidak ada raja-raja muda yang dapat mengalahkanmu dan itu terbukti tidak ada satupun diantara mereka yang mampu menandingimu. Selanjutnya kamu akan merasa yang paling kuat dan pantas memiliki Sang Dewi, begitu kan?”.
Sindir – menyindir diantara Jambumangli dan Rsi Wisrawa berujung pada perkelahian keduanya, namun pertarungan ini dimenangkan oleh Rsi Wisrawa, sebelum terjadi hal yang fatal, Sang Prabu Somali berhasil melerai keduanya. Hal inipun terdengar Danaraja, ia marah dan lengkap dengan pasukannya menyerang Alengka. Namun mendapat petunjuk dari Begawan Narada, akhirnya Sang Raja menghentikan pertarungannya dan kembali pulang dengan tangan kosong.
Alkisah Dewi Sukesi hamil dan melahirkan anak dampit (satu kali kelahiran, melahirkan 2 bayi laki-laki dan perempuan). Untuk yang laki-laki diberi nama Rahwana dan Sarpakenaka untuk yang perempuan. Rsi Wisrawa dan Sukesi sangat senang dan mereka hidup menetap di Alengka. Untuk beberapa tahun kemudian lahir anak laki-laki lagi diberi nama Kumbakarna dan lahirlah anak yang terakhir diberi nama Wibisana..
Setelah itu Sang Rsi dan Sang Dewi meninggalkan istana untuk melanjutkan babaran tentang ajaran sastrajendra, mereka melakukan kehidupan wanaprasta ke hutan..
ANAK YANG TERLAHIRKAN
Bertahun-tahun waktu berlalu dan pada suatu saat, Sang Dewi merasa kangen dengan para putranya yang tinggal di istana Alengka.
“Apa yang terjadi dengan anak kita, Rahwana, suamiku?” Tanya Sang Dewi Sukesi kepada Rsi Wisrawa.
”Isteriku, kini mereka telah dewasa, Rahwana diangkat menjadi raja Alengkapura menggantikan kakeknya. Dia rajin dan tekun bertapa untuk mendapat kesaktian. Karena ketekunannya itu,dia berhasil mendapatkan kesaktian yang luar biasa, tidak dapat dikalahkan oleh siapapun makhluk di ketiga dunia termasuk Dewa. Demikian pula dia tidak akan dapat terlukai senjata apapun serta mendapatkan kehidupan yang abadi. Berangkat dari kesaktian yang itu nafsunya menjadi liar dan menjadi-jadi, karena dirinya menganggap tidak akan ada yang berani mengganggu dan atau merintangi kehendaknya. Di dalam kehidupannya senantiasa diwarnai dengan seks, dengan mengejar siapapun wanita yang dia sukai. Bahkan sampai putra Dewa Indra – Dewi Tari dipaksa diminta untuk menjadi isterinya.
“Oh anakku, Rahwana, apa yang terjadi dengan dirimu, nak” keluh Sang Dewi.
“Jangan mengeluh, isteriku, ini semua adalah kebenaran yang tercantum di dalam wewarah sastrajendra hayuningrat pangruwating diyu. Anak yang terlahir karena dorongan nafsu, maka anak yang terlahirkan akan memiliki karakter penuh dengan nafsu pula. Ini semua kesalahan kita bersama, kita tidak mampu mengendalikan nafsu birahi kita. Kini kita harus bertanggung jawab dengan menanggung dosa-dosa itu” Jawab Rsi Wisrawa menenangkan gejolak batin isterinya.
Rsi Wisrawa melanjutkan wedarannya: “sesungguhnya tidak kurang-kurang saya berusaha untuk membimbing para putra-putra, namun nampaknya sudah kewalahan menghadapi putranya yang satu ini. Dimana-mana wanita menjadi korban nafsu birahinya. Ternyata dengan memiliki isteri seorang bidadari sekalipun, tidak menyurutkan perburuannya terhadap wanita lainnya. Bahkah seorang bidadari lain pun dikejarnya, yakni Dewi Widowati – isteri Wishnu, sampai lari terbirit-birit ketakutan. Sebagaimana diketahui bahwa Wishnu telah turun kedunia menjelma menjadi manusia sebagai awatara Rama putra Dasarata dari negeri Ayodya. Oleh Dewa Indra,Widowati disarankan untuk ikut menjelma menjadi manusia lewat janin yang dikandung Dewi Tari isteri Rahwana sendiri, dengan penuh harap agar terbebas dari pemburuan Rahwana, karena menurutnya tidak akan membiarkan nafsu seksnya kepada anak kandungnya sendiri. Namun Rahwana tetap pada pendiriannya tetap nekad mengejarnya, walau wanita itu (Dewi Widowati) menitis kedalam hangga anak kandungnya sendiri”.
“Oh Tuhan, selamatkanlah cucu hamba Widowati dari kebejatan nafsu bapaknya” keluh Sang Dewi.Sang Dewi selanjutnya menanyakan anaknya Sarpakenaka.
Ternyata nafsu seks tidak hanya dimiliki oleh lelaki. Sarpakenaka anak yang terlahir bersamaan dengan Rahwana, memiliki karakter yang sama. Ia telah memiliki 3 orang suami nampaknya nafsu seksnya tidak pernah terpuaskan juga.
Ketika Sarpakenaka berkeliaran melakukan perburuan mencari pria idamannya di hutan.dia bertemu dengan Laksmana yang sangat tampan gagah perkasa. Hal ini tidak disia-siakan diapun mengejarnya. Namun Laskmana adalah anak yang suputra, maka dirinya sadar pada jiwa ksatrianya, tidak tergoda rayuan Sarpakenaka, walau dia salin rupa dengan wajah wanita yang sangat cantik sekalipun. Karena cinta ditolak sampai telinganya dipotong oleh Laksmana dia marah dan melaporkan kepada kakaknya bahwa di hutan ditemui wanita yang sangat cantik yang bernama Dewi Sinta isteri Rama.
“Oh kasihan kamu anakku Sarpakenaka” keluh Sang Dewi.
Sekarang bagaimana dengan Kumbakarna, suamiku? Tanya Sang Dewi.
“Kumbakarna, sebagai anak kelahiran yang telah diiringi dengan kesadaran. Karakter Kumbakarna sudah bergeser tidak lagi seperti karakter yang dimiliki kakak-kakaknya dari Rajas ke Tamas, Oleh karena dalam kelahirannya telah lebih baik dari kakak-kakaknya. Walaupun dirinya dalam bentuk diyu tetapi sudah memiliki kesadaran yang baik. Bahkan ketika kakaknya Rahwana menculik Sinta, dirinya memberi tahu agar Sinta dikembalikan karena itu menyimpang dari nilai-nilai dharma. Namun Rahwana nekad tetap pada pendiriannya, apalagi dia melihat yang melawan dirinya hanyalah kera.”
“Syukurlah, Tuhan telah memberikan pencerahan pada diri Kumbakarna”. Kata Sang Dewi. Sekarang bagaimana dengan Wibisana, suamiku?” pertanyaan Sang Dewi.
“Isteriku, Wibisana terlahir didalam warna kehidupan yang penuh kesadaran dan religiusitas yang tinggi. Wibisana terlahir dalam dominasi satyam, oleh karenanya dia menjungjung tinggi karakter ksatria. Didalam perlawanan Alengka dengan Ayodya. Wibisana berpihak pada kebenaran sejati yakni Shri Rama.”
NILAI FILOSOFI DAN RELIGI
Berangkat dari kisah diatas kiranya dapat dipetik hikmah yang terkandung di dalamnya, sebagaimana yang diajarkan didalam ajaran Samkya, menuturkan bahwa dunia ini terdiri dari kumpulaning tatwa yang selanjutnya terkodifikasi dalam sadrasa: asin, manis, asam, pahit, gurih dan sepet (astrengen).
Dari keenam rasa itu terperas menjadi 2 yakni rasa bapa yang disebut dengan sukla dan rasa biyung yang disebut dengan swanita. Pertemuan kedua unsur alam itu akan menjadi wiji sebagai lingga sarira dari antakarana sarira (zat hidup).
Ketika terjadinya pertemuan rasa bapa (sukla) dan rasa biyung (swanita) (saat orgasme) ituakan menjadikan magnit spiritual yang sangat kuat. Magnit spiritual ini akan menarik sesarining tattwa yang ada disekitarnya.
Oleh karena itu tidak mengherankan ketika terjadinya hubungan suami isteri (saat orgasme) yang dilakukan Rsi Wisrawa dan Dewi Sukesi, akan mempengaruhi karakter si bayi yang akan dilahirkannya.
Berangkat dari kisah diatas kiranya dapat dipetik hikmah yang terkandung di dalamnya, sebagaimana yang diajarkan didalam ajaran Samkya, menuturkan bahwa dunia ini terdiri dari kumpulaning tatwa yang selanjutnya terkodifikasi dalam sadrasa: asin, manis, asam, pahit, gurih dan sepet (astrengen).
Dari keenam rasa itu terperas menjadi 2 yakni rasa bapa yang disebut dengan sukla dan rasa biyung yang disebut dengan swanita. Pertemuan kedua unsur alam itu akan menjadi wiji sebagai lingga sarira dari antakarana sarira (zat hidup).
Ketika terjadinya pertemuan rasa bapa (sukla) dan rasa biyung (swanita) (saat orgasme) ituakan menjadikan magnit spiritual yang sangat kuat. Magnit spiritual ini akan menarik sesarining tattwa yang ada disekitarnya.
Oleh karena itu tidak mengherankan ketika terjadinya hubungan suami isteri (saat orgasme) yang dilakukan Rsi Wisrawa dan Dewi Sukesi, akan mempengaruhi karakter si bayi yang akan dilahirkannya.
Saat pertama pertemuan sukla dan swanita untuk yang pertama disadari bahwa rona suasana batin yng terpancar dari keduanya adalah birahi dalam nafsu. Oleh karenanya yang terlahir pun karakter seperti Rahwana yang dipenuhi dengan nafsu.
Saat sesi kedua pertemuan sukla dan swanita dari Sang Rsi dan Sang Dewi sudah diwarnai dengan kesadaran, maka hasil bayi yang dilahirkan pun seperti Kumbakarna. Walaupun masih memiliki bentuk diyu tetapi sudah mencul watak ksatrianya (suprandene nggayuh utami)
Saat sesi berikutnya pertemuan sukla dan swanit dari Sang Rsi dengan Sang Dewi sudah dalam suasana penuh kesadaran dan benar-benar berpijak pada landasan dharma, maka bayi yang terlahir pun akan seperti Wibisana yang senantiasa mengedepankan kebenaran, walaupun dirinya harus berhadapan dengan saudara-saudaranya.
TRIGUNA
Triguna adalah tiga watak dasar yang dimiliki oleh manusia. Watak dasar ini sebagai “sandhangan” manusia yang muncul sejak kelahirannya, namun dibalik itu kita sebagai manusia dianugerahi yang disebut wiweka.
Dengan wiweka ini kita dapat memilah dan memilih mana hal yang baik berdasarkan nilai-nilai dharma dan mana yang tidak baik yang mestinya harus kita hindari. Adapun ketiga watak dasar itu adalah;
- Rajas adalah watak dasar manusia yang dominasinya pada nafsu, emosi, iri, dengki dlsb. watak ini sebagaimana yang digambarkan dalam diri Rahwana. Rahwana memiliki watak energik yang berlebihan ibarat “jagad kepengin diemperi” sapa sira, sapa ingsun, ngumbar hardaning hawa nafsu. Watak ini digambarkan sebagaimana yang diperankan oleh Rahwana.
- Tamas adalah watak dasar manusia yang dominasinya pada ketenangan yang berlebihan yang pada gilirannya menjadi sebuah kemalasan. Didalam budaya Jawa watak ini sering disebut kepengine “enak lan kepenak”.Watak ini digambarkan sebagaimana yangdiperankan oleh Kumbakarna.
- Satyam adalah watak dasar manusia yang senantiasa bersandar kepada kebenaran (dharma).Watak ini digambarkan sebagaimana yang diperankan oleh Wibisana
TRI HITA KARANA
Buwana Agung (macrokosmos) adalah alam semesta dan buwana alit (microkosmos) yang disebut dengan diri pribadi insani, keduanya memiliki elemen yang sama yakni Pancamahabhuta (api, air, angin, tanah dan either) oleh karenanya memiliki relevansi yang sangat kuat.
Disini digambarkan sebagaimana yang tertuang didalam Ramayana bahwa ketika Rama dan Sinta hidup dalam pengasingan di hutan. Ketika itu Dewi Sinta (raga) melihat Kijang Kencana (alam semesta) yang senantiasa anglelewa di taman padepokannya menawarkan keindahan. Tertarik hal tersebut maka Sinta (wadhag) minta kepada Shri Rama (jiwa) untuk menangkapnya.Shri Rama yang tidak kuasa menahan keinginan Shinta berusaha untuk mengejrnya. Tidak disangka bahwa itu semua grand skenrio yang dibangun oleh Rahwana untuk memisahkan Rama dengan Sinta, sehingga akhirnya Sinta dapat diculik dan tejadilah perpisahan diantara keduanya (.penderitaan), didalam upaya untuk penyatuan kembali diperlukan dukungan dari para wanara yang berwarna: putih, merah, kuning dan biru. (saudara tunggal wektu tunggal marga), mar, kawah, getih dan ari-ari.
Keseimbangan buwana agung dan buwana alit mesti senantiasa harus dijaga bila ingin bahagia, sebagaimana yang diwedarkan didalam ajaran tri hitakarana (3 hal penyebab kebahagiaan):
1. palemahan – terciptanya lingkungan yang sehat (latar)
2. pawongan – terciptanya hubungan yang baik diantara sesama manusia (balairung/dhapa)
3. parahyangan – terciptanya hubungan yang harmoni antara manusia dengan Tuhan (senthong)
KESIMPULAN
- Sastrajendra hayuningrat pangruwating diyu sebuah wewarah luhur yang memiliki kandungan nilai filosofis dan religius yang sangat dalam dan tajam. Namun disebutkan dalam sifat yang luhung dan sinengker artinya didalam menafsirkan wewarah itu butuh perenungan serta pemahaman yang utuh dan segar tidak terjebak pada hal-hal yang bersifat parsial.
- Ada persamaan antara buwana agung dan buwana alit, ketika terjadi pertemuan sukla dan swanita (orgasme) sebagai rangkuman dari sadrasa, maka akan menjadikan magnit spiritual yang sangat dahsyat mampu menarik energy alam yang memiliki frekuensi atau aura yang sama. Sepertiitu dalam suasana batin yang dirasakan Resi Wisrawa dengan Sang Dewi Sukesi untuk pertama kali mempertemukan sukla dan swanitanya, karena diliputi dengan penuh nafsu, maka yang menjadi gambarannya adalah bayi yang terlahir seperti Rahwana.
- Suatu proses perubahan yang positif, dari Rahwana (rajas), menjadi Kumbakarna (tamas) dan terakhir Wibisana (satyam). Ini merupakan pangruwating diyu.
Oleh karenaya disaat mempertemukan sukla dan swanita dalam kehidupan sehari-hari, satu hal yang harus diingat adalah nikmatilah apa yang terjadi dengan menyerap energi positif alam. Hal itu akan membangun keserasian hubungan antara manusia dengan alam lingkungan secara utuh lahir dan batin.
Penyumbang Artikel:
Kasiyanto, S.Ag
(Pemerhati Budaya Jawa, tinggal di Semarang)