Berita Hindu Indonesia - Bagaimana kita bisa bangga beragama Hindu? Apakah kebanggaan itu hanya kita letakkan di dalam kata-kata? Ataukah kita hanya simpan di dalam hati, tanpa pernah diwujudkan? Sebagai agama tertua, Hindu memberi jawaban terhadap berbagai problem kehidupan dengan logis dan analisis yang kritis.
Semuanya kembali kepada diri kita masing-masing. Diperlukan kesungguhan kita untuk terus mendalami ajaran ini. Orang yang senantiasa berbuat baik, menjalankan dharma, akan senantiasa dilindungi oleh dharma, (dharma raksitah dharma raksatah). Kemudian, bimbingan kepada anak-anak juga menjadi hal yang utama. Mereka adalah penerus generasi kita. Anak-anak menjadi tumpuan kita di masa tua. Peranan orang tua sangat menentukan dalam hal ini.
Kita menjadi penganut Hindu karena dilahirkan dalam keluarga Hindu, walaupun ada di antara umat Hindu yang menjadi Hindu karena pernikahan, atau ada juga karena kemauan sendiri. Setelah kita menganut agama ini, tugas berikutnya adalah merawat keyakinan ini di dalam diri. Setelah itu mewariskannya kepada anak-anak kita. Warisan inilah sebenarnya merupakan warisan utama, di samping warisan berupa bekal pendidikan, kemudian barulah warisan berupa harta.
Menjadi penganut Hindu, kita diberi tahu bahwa kita mesti memiliki keyakinan terhadap:
a. Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa;
b. Adanya Atman;
c. Adanya Hukum Karma Phala;
d. Phunarbhawa/Samsara; dan
e. Moksa.
Kelima hal di ataslah yang menjadi pondasi ke-Hindu-an kita. Kelima hal inilah menjadi dasar prinsipil keyakinan seseorang yang menyatakan diri memeluk Hindu. Kelima keyakinan yang menjadi dasar kita beragama Hindu di atas disebut Panca Sradha. Sekarang kita lihat sedikit lebih jauh.
Pertama, Widhi Sradha,
Setiap umat Hindu percaya akan keberadaan Sang Maha Pencipta, Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan dalam agama Hindu diberi sebutan: Hyang Widhi, Brahman. Di samping itu Beliau memiliki banyak gelar, orang-orang bijak memberi Beliau gelar sebagai Brahma, Wisnu, Siwa, Iswara, Indra, Baruna, dan sebagainya. Gelar kepada Beliau tak terbatas, karena memang Hyang Widhi itu tak terbatas. Manusia yang sangat terbatas saja memiliki banyak sebutan/gelar, apalagi Beliau yang tidak tergambarkan, tak terpikirkan, maha sempurna, tentu saja gelar-Nya juga tak terbatas. Beliau juga Maha Adil dan Maha Penyayang semua mahluk, baik itu manusia maupun lainnya. Hyang Widhi adalah Tuhan buat semuanya, bukan buat golongan tertentu saja. Beliau tidak pernah membenci, apalagi membeda-bedakan. Tidak akan cukup kita gambarkan Beliau dengan segala keterbatasan kita. Sebab, Beliau adalah segala-galanya. Beliau ada di segala ciptaan-Nya, sekaligus berada di luar ciptaan itu.
Kedua, Atma Sradha
Atma adalah percikan kecil Hyang Widhi yang bersemayam di setiap mahluk hidup. Atman adalah kehidupan itu sendiri. Atman adalah hakikat mahluk hidup, karena tanpa atman, sesuatu tidak dapat dikatakan mahluk hidup. Dia adalah jiwa di setiap mahluk.
Mengingat dalam setiap mahluk hidup bersemayam atman yang bersumber dari yang tunggal, maka hakikatnya semua mahluk hidup itu bersaudara.
Ketiga, Karma Phala Sradha
Setiap umat Hindu mesti percaya bahwa apa yang diperbuat pasti akan membuahkan hasil, yang akan diterimanya sendiri. Inilah hukum karma phala. apapun bentuk perbuatan kita baik/tidak baik, subha/asubha seperti itulah hasil yang akan diperoleh. Namun hal ini perlu perenungan dan penghayatan mendalam, karena “perhitungan”nya begitu rahasia dan kompleks.
Keempat, Phunarbhawa/Samsara Sradha
Bila perbuatan baik saat ini tidak sempat dinikmati hasilnya, kelak suatu saat pasti dinikmati. Di kehidupan sekarang atau pada kehidupan setelah ini. Hukum karma phala memberikan kepastian akan hal ini. Hukum karma phala (karma wasana kita) turut menentukan bentuk kehidupan kita kelak. Kehidupan kita saat ini adalah akibat dari yang lalu, dan yang sekarang menentukan kehidupan yang akan datang. Bagi penganut Weda, kehidupan ini tidak sekali saja. Kelahiran kita ini telah berulang kali. Badan kita ini suatu saat tidak bisa lagi kita pakai. Rusak. Kalau sudah rusak (tua), maka tidak mampu lagi “ditempati” oleh atman. Bila sudah demikian, atman akan “pergi” meninggalkan badan ini, untuk suatu saat akan mengambil bentuk badan yang baru. Keyakinan ini disebut punarbhawa/samsara.
Badan mahluk hidup (termasuk manusia) layaknya pakaian yang kita pakai. Kalau pakaian itu sudah mulai usang atau robek, pakaian itu akan segera kita tanggalkan, kita akan berganti pakaian segera. Hal ini pula yang dapat menjawab berbagai bentuk kelahiran itu. Ada yang gagah, cantik, ada pula yang tidak gagah, tidak cantik. Ada yang dilahirkan dengan sempurna, ada pula yang tidak sempurna (cacat). Semua itu, menurut keyakinan Weda, bukanlah takdir, melainkan sedang menikmati hasil perbuatannya masa lalu. Yakin atau tidak hal ini terus berjalan.
Demikian pula orang yang sedang dilanda kesusahan, tidak sedang diuji oleh Tuhan. Mengapa Hyang Widhi perlu menguji manusia? Hyang widhi tidak bias dijadikan alasan atas penderitaan yang diterima. Tuhan hanya menentukan hukum-Nya, selanjutnya diserahkan kepada manusia untuk memilih yang mana. Pilihan-pilihan itu diserahkan sepenuhnya
Kelima, Moksa Sradha
Bhagawadgita mengajak kita untuk tidak terikat pada hasil kerja atau sesuatu yang lain. Semua bentuk keterikatan pada hal-hal yang sifatnya duniawi akan membuat kita semakin berlama-lama amengalami kelahiran yang berulang-ulang. Kita akan semakin sering “ganti baju”. Kita akan berganti badan dari badan yang satu ke badan yang lain.
Kita diajak untuk mengakhiri kelahiran berulang-ulang itu dan melepaskan semua keterikatan. Bhagawadgita II. 51, mengatakan: “Bagi orang bijaksana, yang pikirannya bersatu dengan Yang Maha Tahu, tidak mengharapkan hasil dari perbuatannya, akan tetapi kebebasan dari keterikatan karma dan mencapai tempat yang tidak ada penderitaan. Bila kita mencapai keadaan yang demikian, itulah yang disebut kelepasan. Tidak ada lagi penderitaan. Inilah hakikat sradha yang ke lima.
(Disarikan dari berbagai sumber)