Berita Hindu Indonesia - Kita sadari bersama bahwa persebaran umat Hindu yang sporadis dan tidak merata di seluruh wilayah nusantara membawa kendala tersendiri bagi Pemerintah, Parisada serta tokoh pemuka agama Hindu di dalam melaksanakan pembinaan umat dan menyelenggarakan pendidikan agama Hindu yang ideal bagi siswa didik. Berbagai permasalahan klasik sering kali terlontar dalam berbagai forum regional dan nasional dengan menyisakan PR yang tak berujung bagi seluruh stake holder Hindu di Indonesia. Kurangnya tenaga pendidik agama Hindu, kurikulum yang kurang tepat serta tiadanya sarana dan prasarana yang memadai, adalah tiga dari sekian permasalahan yang sedang dirasakan oleh umat Hindu di seluruh wilayah nusantara terutama yang berada di luar Bali.
Proses belajar mengajar Pendidikan Agama Hindu di Bali tidak sama kondisinya dengan yang berada di luar Bali walaupun kita dalam satu negara yang sama serta payung hukumnya pun juga sama. Apalagi bila kita bandingkan dengan agama lain, kondisinya jelas sangat berbeda. Situasi seperti itu dikarenakan oleh beberapa faktor. Mulai dari rendahnya kesadaran dari umat Hindu untuk memperjuangkan hak – haknya untuk memperoleh pendidikan agama Hindu yang ideal, masalah kurikulum, kurangnya tenaga pendidik hingga minimnya dukungan pemerintah daerah terhadap penyelenggaraan pendidikan agama Hindu di wilayahnya masing – masing. Hal ini jelas belum sejalan dengan amanat UU No 20 tahun 2003 mengenai Sistim Pendidikan Nasional yang dengan terang benderang menyatakan dalam pasal 4 ayat 1 bahwa :Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
Mendapatkan pengajaran agama sesuai dengan kepercayaannya masing-masing sudah barang tentu menjadi hak setiap pemeluk agama. Hal tersebut didukung juga oleh adanya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan. Disebutkan dalam PP tersebut mengenai Pendidikan agama yakni pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Sedangkan Pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya. Sebenarnya sungguh mulia apa yang diamanatkan serta dicita -citakan dalam PP tersebut, dimana pada nantinya pendidikan agama difungsikan guna membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kerukunan hubungan internal dan antar umat beragama. Sampai pada akhirnya pendidikan agama ditujukan untuk berkembangnya kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
Semoga apa yang telah dirancang pemerintah, bukanlah retorika belaka. Dari sinilah diharapkan sistem pengajaran agama dapat berjalan sesuai fungsi dan tujuan yang telah ditetapkan. Dalam salah satu pasal disebutkan bahwa pengajaran pendidikan agama kepada peserta didik haruslah orang yang seagama. Hal ini menjadi sangatlah penting dalam penyelengaraanya karena pada kenyataanya selama ini, penyelenggaraan pendidikan agama Hindu sering diabaikan pada lembaga pendidikan yang ada. Sebagai contoh misalnya, di suatu sekolah swasta yang berlatarkan agama tertentu jarang sekali menerima nilai agama yang telah dikeluarkan oleh Pasraman sebagai tempat penyelenggaraan agama, bahkan tak jarang mereka memaksa peserta didik untuk mengikuti pelajaran agama yang diwajibkan di sekolah tersebut, jika tidak maka nilai mereka pun akan terancam kosong. Suatu realita yang sangat memilukan hati, dimana hak asasi manusia telah ditindas. Tanpa kita sadari bahwa terkadang dalam meperoleh pengajaran agama Hindu sangatlah sulit rupanya, khususnya hal ini terjadi di luar Bali misalnya di Pulau Jawa, khusnya di kota-kota besar. Kita ambil contoh misalnya pendidikan agama Hindu di Kota Jakarta, sangatlah jarang ditemui para pengajar agama Hindu di sekolah-sekolah umum dari tingkat TK sampai dengan SMU bahkan tingkat universitas . Untuk memperoleh pendidikan agama mereka harus mendaftarkan diri ke sebuah pasraman yang ada di daerahnya masing-masing, terkadang hal ini menjadi faktor penghambat besar dalam berlangsungnya proses pengajaran agama.
Kekurangpedulian orang tua serta para peserta didik seakan mengkondisikan mereka enggan untuk datang ke pasraman dalam memperoleh pendidikan agama, bahkan konyolnya lagi mereka lebih memilih mengikuti pengajaran agama yang telah tersedia di sekolah mereka masing-masing yang tidak dipungut bayaran lagi, dibanding dari pada harus bersusah diri pergi ke pasraman yang notabene harus mengeluarkan tambahan kocek sebagai biaya administrasinya. Fakta lain yang sering ditemui adalah : ternyata banyak pula universitas-universitas di Indonesia yang tidak mewajibkan mata kuliah agama (khususnya agama Hindu). Mereka beranggapan bahwa pengajaran agama tidak memiliki kontribusi positif dalam peningkatan akademis mahasiswa. Benarkah demikian? Saya merasa bahwa hal tersebut adalah suatu hal yang tidak logis dan penyesatan terhadap logika berpikir, kita perlu ingat kata orang bijak, bahwa ilmu tanpa agama adalah buta. Untuk itu munculnya PP 55 2007 ini diharapkan bisa menjadi suatu tonggak dari bangkitnya sistem pengajaran Agama Hindu secara terpadu dan terarah. Dimana kedepannya akan bermunculan kaum intelektualitas Hindu yang memiliki dasar pengetahuan serta pengamalan ajaran agama yang kuat dan secara utuh dapat mencapai tujuanya dalam mensinergikan ajaran agama dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kekurangpedulian orang tua serta para peserta didik seakan mengkondisikan mereka enggan untuk datang ke pasraman dalam memperoleh pendidikan agama, bahkan konyolnya lagi mereka lebih memilih mengikuti pengajaran agama yang telah tersedia di sekolah mereka masing-masing yang tidak dipungut bayaran lagi, dibanding dari pada harus bersusah diri pergi ke pasraman yang notabene harus mengeluarkan tambahan kocek sebagai biaya administrasinya. Fakta lain yang sering ditemui adalah : ternyata banyak pula universitas-universitas di Indonesia yang tidak mewajibkan mata kuliah agama (khususnya agama Hindu). Mereka beranggapan bahwa pengajaran agama tidak memiliki kontribusi positif dalam peningkatan akademis mahasiswa. Benarkah demikian? Saya merasa bahwa hal tersebut adalah suatu hal yang tidak logis dan penyesatan terhadap logika berpikir, kita perlu ingat kata orang bijak, bahwa ilmu tanpa agama adalah buta. Untuk itu munculnya PP 55 2007 ini diharapkan bisa menjadi suatu tonggak dari bangkitnya sistem pengajaran Agama Hindu secara terpadu dan terarah. Dimana kedepannya akan bermunculan kaum intelektualitas Hindu yang memiliki dasar pengetahuan serta pengamalan ajaran agama yang kuat dan secara utuh dapat mencapai tujuanya dalam mensinergikan ajaran agama dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Persebaran umat yang tidak merata memang membawa kendala tersendiri dalam pemenuhan hak – hak peserta didik di dalam memperoleh pendidikan agama Hindu. Namun demikian kendala tersebut tidak bisa menjadi alasan bagi stake holder Hindu di Nusantara ini untuk tidak berbuat maksimal dalam penyelenggaraan pendidikan agama Hindu. Saya sangat menghargai dan memberi apresiasi bagi lembaga agama, tokoh ataupun pemuka umat yang sudah berupaya keras menyelenggarakan pendidikan agama Hindu di Pura pada hari - hari tertentu. Langkah tersebut memang benar sebagai upaya menanggulangi sementara kekosongan ataupun kurangnya tenaga pendidik agama Hindu di suatu wilayah. Namun jangan salah, ibaratnya obat, maka obat itu hanya dapat menyembuhkan sementara. Tetapi menurut hemat saya untuk jangka panjangnya harus bersama – sama didiskusikan lagi oleh segenap pemerhati pendidikan agama Hindu. Apa yang dimaksud dengan perlu didiskusikan lagi? Bukannya penyelenggaraan pendidikan agama Hindu yang sekarang ini dilaksanakan di pasraman - pasraman sudah berjalan cukup baik? Bahkan sekolah – sekolah baik negeri maupun swasta sudah mau menerima keberadaan Pasraman, indikasinya adalah pihak sekolah mengirimkan siswanya yang beragama Hindu untuk mengikuti pelajaran agama di pasraman?
Memang benar, penyelenggaraan pendidikan agama Hindu di luar bali yang selama ini diperankan oleh sebuah institusi yang kita sebut pasraman memang sudah berjalan dengan baik dan kebutuhan siswa akan nilai mata pelajaran agama sudah dapat terpenuhi. Tetapi secara politis ada sisi lain yang perlu kita kaji bersama. Dengan adanya proses belajar mengajar pendidikan agama Hindu di pasraman – pasraman maka apabila ada sekolah yang menerima siswa beragama Hindu tetapi di sekolah tersebut belum ada guru agama Hindu, dengan mudahnya pihak sekolah akan mengirim siswa tersebut ke pasraman. Pertanyaannya adalah, apakah kita menginginkan hak yang sama bagi putra-putri kita untuk mendapatkan pelajaran agama Hindu di sekolah dan pada jam pelajaran sekolah seperti yang diperoleh siswa siswi yang beragama lain? Kalau saya yang ditanya, maka saya akan jawab: Ingin. Saya ingin anak saya mendapat pelajaran agama Hindu di sekolahnya dan pada jam pelajaran sekolah.
Sumber daya manusia untuk guru agama Hindu PNS memang sangat kurang sekali. Tetapi perlu diingat bahwa sesuai UU Sisdiknas sekolah wajib menyelenggarakan pendidikan agama kepada siswanya dan harus diajar oleh guru yang seagama. Disinilah perlu keberanian dari orang tua murid untuk memperjuangkannya. Karena yang kita perjuangkan tidak bertentangan dengan undang – undang ataupun peraturan yang ada. Apabila orang tua murid menginginkan seperti itu maka tak ada alasan bagi pihak sekolah untuk tidak memenuhi. Apabila kita berikan argumentasi yang kuat berlandaskan UU dan PP yang ada seharusnya pihak sekolah akan memenuhi dengan cara mengangkat guru honorer agama Hindu atau dengan cara- cara yang lain. Memang tidak mudah untuk mengawalinya. Tetapi kapan lagi kalau tidak mulai dari sekarang mengawalinya? Menurut saya satu langkah ini dapat memberikan multiefek bagi dunia pendidikan agama Hindu. Ada beberapa dampak positif yang kita petik:
- Coba kita bayangkan apabila semakin banyak orang tua yang menghendaki anaknya mendapatkan pelajaran agama Hindu di sekolah, maka akan dibutuhkan banyak tenaga honorer guru agama Hindu. Itu artinya akan menyerap sarjana – sarjana agama lulusan dari PTAH negeri maupun swasta yang ada.
- Minimnya pengadaan PNS untuk formasi Guru Agama Hindu di berbagai tingkatan sekolah, menurut saya salah satu faktornya adalah tiadanya laporan permintaan dari sekolah – sekolah negeri ke dinas yang menaunginya akan kekurangan dan kebutuhan formasi Guru Agama Hindu. Jadi hukum penawaran dan permintaanlah yang berbicara. Karena pihak sekolah sudah terbiasa untuk menitipkan siswanya untuk mendapatkan pelajaran agama di pasraman. Dengan demikian maka usulan pengadaan Guru Agama Hindu di sekolahnya bukanlah sebuah prioritas utama sehingga sangat jarang sekali muncul formasi Guru Agama Hindu dalam pengadaan CPNS di berbagai wilayah. Apalagi pada era otonomi daerah sekarang ini, pengadaan guru agama menjadi domain dari pemerintah daerah setempat. Sehingga apabila tanpa diikuti lobby yang intensif dari umat kita yang berada di wilayah tersebut maka tidaklah mungkin kita dapatkan formasi guru agama Hindu walau hanya 1 formasi pun.
- Dengan adanya penyerapan lulusan dari perguruan tinggi Hindu, maka akan menarik minat lulusan SMU untuk masuk ke perguruan tinggi Hindu. Coba kita bayangkan, seandainya lulusan perguruan tinggi Hindu tidak terserap, apa yang terjadi? Yang pasti minat untuk masuk ke kesitu akan sangat kurang sekali. Bila hal ini berlangsung terus menerus maka kelangsungan hidup perguruan tinggi Hindu hanya tinggal menunggu waktu saja.
Bagaimana dengan pasraman yang ada sekarang?
Menurut saya pasraman yang ada saat ini adalah embrio dari pasraman sebenarnya yang dimaksudkan dari UU Sisdiknas dan PP 55 2007. Jadi apabila pendidikan agama Hindu sudah bisa diselenggarakan di sekolah – sekolah, maka pasraman yang ada tersebut dapat memfokuskan untuk mempersiapkan diri menjadi pasraman yang sesungguhnya. Yaitu sebagai lembaga pendidikan yang bernuansa Hindu. Yang dimaksudkan dengan sekolah bernuansakan Hindu adalah sekolah yang disamping memberi pelajaran formal sesuai kurikulum yang telah ditetapkan pemerintah, dalam pelajaran agama hanya memberi pelajaran agama Hindu saja bagi seluruh siswanya, menambahkan pelajaran-pelajaran/ekstra kurikuler untuk meningkatkan pengetahuan dan keimanan mereka terhadap Tuhan Yang Maha Esa serta mampu menerapkan nilai-nilai Hindu dalam kehidupan nyata. Kenyataan yang ada, bahwa hingga saat ini di Indonesia masih sedikit sekali lembaga pendidikan formal setingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah tingkat atas yang bernafaskan Hindu. Sebagai akibatnya banyak anak-anak Hindu yang terpaksa bersekolah di lembaga-lembaga pendidikan non Hindu, dengan konsekuensi kewajiban mengikuti program keagamaan yang ditetapkan oleh sekolah tersebut. Fenomena ini terutama terjadi sebelum diberlakukannya sistem pendidikan agama menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003.
Kalau kita tidak ingin ketinggalan dari yang lain, mau tidak mau pasraman yang ada harus mulai menuju fungsi yang sesungguhnya sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang bernafaskan Hindu.
Berangkat dari pemahaman terhadap kedudukan dan peran pasraman sekarang, tentu sebagai umat Hindu terutama yang menginginkan proses pembelajaran pendidikan agama Hindu menyentuh pada aspek kerohanian, tidak merasa puas melihat bahwa fungsi pasraman yang sedang berlangsung sekarang. Sebab hal itu tidak lebih dari sekedar kursus dan hanya sekedar proses legalisasi pemberian nilai pendidikan agama di dalam raport saja. Di masa depan kita semua pasti berharap mampu mendudukkan posisi Pasraman sebagai lembaga pendidikan agama Hindu formal dan non formal dalam penyelenggaraan proses pembelajaran pendidikan agama Hindu dari tingkat SD, SMP, SMU dan perguruan tinggi. Dengan ditetapkannya UU Sisdiknas umat Hindu mempunyai peluang untuk menyelenggarakan pendidikan keagamaan Pasraman. Hal itu tertuang di dalam pasal 30 ayat 4 yang menyatakan :
Pendidikan Keagamaan berbentuk pendidikan Diniyah, Pesantren, Pasraman, Pabhaja Samanera dan bentuk lain yang sejenis, selanjutnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pendidikan di pasraman menekankan pada disiplin diri, mengembangkan sradha dan bhakti. Sistim pasraman menggambarkan hubungan yang akrab antara guru dengan sisyanya bagaikan dalam sebuah keluarga. Sistim itu ada yang menyebutnya dengan sistim pendidikan Gurukula. Sistim pendidikan Hindu semacam ini yang sudah ada sejak dahulu sayangnya belum bisa berkembang di kalangan umat Hindu di Indonesia. Tetapi justru berkembang baik dan dilaksanakan oleh saudara – saudara kita dari agama lain. Jelas ini menjadi pekerjaan rumah bersama kita, seluruh stake holder Hindu Indonesia.