Berita Hindu Indonesia - Perkembangan teknologi telekomunikasi telah memungkinkan orang melihat kemajuan masyarakat atau bangsa lain dan ingin menirunya. Pertukaran informasi yang sedemikian cepat inilah yang menyebabkan terjadinya perubahan cepat di masyarakat. Perubahan itu kini kita rasakan hampir di semua bidang, di bidang politik, ekonomi, iptek, budaya, sosial, dan agama. Keinginan untuk meniru kemajuan bangsa lain itulah yang mungkin menyebabkan kita menganggap masyarakat kita kini semakin disibukkan oleh urusan dunia dan menomor duakan urusan akhirat. Tetapi, benarkah demikian?
Pertanyaan yang muncul dalam hal ini adalah: “Melihat kondisi saat ini, di mana banyak warga masyarakat yang semakin tertarik pada masalah non-agama dan cenderung menomor sekiankan masalah yang berkaitan dengan agama, masih adakah peluang bagi Sarjana Agama untuk eksis di masyarakat?” Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu mendefinisikan dulu apa yang kita maksud dengan istilah ‘peluang’ itu. Apakah peluang itu kita definisikan sebagai peluang untuk ‘mengabdi’, ‘berperan serta’, ‘bekerja’, ataukah ‘menjadi kaya’ di masyarakat? Kemajuan pembangunan bangsa telah membawa banyak perubahan terrhadap masyarakat Indonesia. Salah satu di antara perubahan itu adalah perubahan aspirasi masyarakat di bidang pendidikan. Banyak orang, terutama yang berkecimpung di kalangan pendidikan Hindu, merasa bahwa masyarakat Indonesia kini telah bergeser menjadi semakin materialistik. Perhatian mereka terhadap masalah materi (keduniawian) semakin besar dan perhatian kepada masalah agama semakin kecil. Hal ini juga tercermin dalam aspirasi pendidikan mereka. Pendidikan, bagi kebanyakan warga masyarakat, dianggap sebagai persiapan untuk memperoleh pekerjaan, bukan lagi untuk mencari ilmu demi ilmu seperti zaman dulu. Kini semakin banyak orang yang memilih pendidikan non-agama yang menjanjikan pekerjaan yang lebih mudah daripada pendidikan agama. Ini tampak baik di tingkat pendidikan dasar maupun di tingkat pendidikan menengah dan tinggi. Di tingkat pendidikan dasar, orang lebih mementingkan pengetahuan umum daripada pendidikan agama. Orang akan merasa lebih prihatin ketika nilai rapor pengetahuan umum anaknya rendah daripada ketika nilai rapor pendidikan agamanya rendah. Kursus-kursus penunjang pelajaran di tingkat dasar dan menengah yang laris adalah kursus atau bimbingan belajar untuk menunjang prestasi anak di UAN (yang terpusat pada ilmu pengetahuan umum), bukan kursus pendidikan agama. Di tingkat pendidikan tinggi, peminat ke PTA jauh lebih sedikit daripada peminat ke PTN ataupun ke PTS non-agama. Dari yang sedikit itupun kualitasnya tidak sebagus mereka yang memilih PTN dan PTS non-agama. Sering dikatakan bahwa sebagian besar mahasiswa yang masuk ke PTA adalah mereka yang tidak lulus UMPTN atau tidak mampu ke PTS favorit karena biaya. PTA tampaknya hanya merupakan pilihan cadangan bagi sebagian besar mahasiswa. Hal ini tentu saja mengakibatkan persoalan tersendiri bagi PTAH karena motivasi belajar mereka di PTAH rendah sehingga sulit bagi lembaga pendidikan itu untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas tinggi.
Keadaan yang kurang menguntungkan ini ditambah dengan banyaknya lulusan Perguruan Tinggi Hindu yang masih menganggur setelah lulus. Keadaan inilah yang mungkin akan menimbulkan pertanyaan pada diri kita yang berkecimpung di bidang pendidikan Hindu ini: Masih adakah peluang bagi Sarjana Agama di Indonesia ini? Apakah tantangan yang dihadapi oleh Sarjana Agama agar tetap berperan di masyarakat di zaman yang cepat berubah ini? Perubahan aspirasi pendidikan masyarakat, haruskah kita sesali?
Banyak orang, terutama yang berkecimpung di lembaga pendidikan Hindu, yang mengeluhkan dan menyesali terjadinya perubahan aspirasi masyarakat di bidang pekerjaan dan pendidikan ini. Mereka ‘menyalahkan’ masyarakat yang, menurut pendapatnya, telah tidak memperhatikan pendidikan agama demi memperoleh pendidikan pengetahuan dan keterampilan yang berkaitan dengan prospek memperoleh pekerjaan di masa depan. Namun, apakah keluhan dan penyesalan saja dapat menyelesaikan persoalan yang kita hadapi? Haruskah masyarakat menyesuaikan diri dengan selera kita yang bergerak di bidang di pendidikan Hindu ataukah kita yang menyesuaikan diri dengan selera masyarakat?
Masyarakat memang selalu berubah dan memang harus berubah. Sejarah telah mencatat perubahan-perubahan itu, mulai dari zaman primitif (zaman batu) sampai ke zaman komputer sekarang ini. Masyarakat yang tidak mau berubah akan ketinggalan jika dibandingkan dengan masyarakat yang mau berubah. Kita tidak dapat menghalangi perubahan itu karena, di dunia ini, hanya perubahan itulah yang pasti terjadi. Persoalannya adalah kita merasa bahwa perubahan yang terjadi akhir-akhir ini begitu cepat sehingga kita pontang-panting untuk menyesuaikan diri. (Bandingkan dengan perubahan yang terjadi tiga puluh tahun yang lalu, yang cukup lamban sehingga memberi kesempatan orang untuk menyesuaikan diri).
Perubahan masyarakat terjadi karena adanya kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Pengetahuan dan teknologi itu kemudian tersebar luas melalui komunikasi antar kelompok masyarakat dan antar negara. Kecepatan perubahan yang terjadi di seluruh dunia akhir-akhir ini adalah akibat dari kemajuan iptek di bidang telekomunikasi yang memungkinkan orang untuk berkomunikasi antar tempat yang jarakanya sangat jauh dengan sangat cepat.
Peluang untuk mengabdi dan berperan serta di masyarakat, saya kira, terbuka amat luas. Kebutuhan akan Sarjana Agama amat banyak. Semakin rusak suatu masyarakat, akan semakin dibutuhkan pula peran rohaniwan. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang beragama ini, inilah saat di mana mereka amat membutuhkan para Sarjana Agama untuk membantu mereka menyeimbangkan kehidupan mereka yang terus menerus dibombardir oleh urusan pekerjaan (duniawi) mereka. Banyak contoh yang menunjukkan bahwa para ahli ilmu agama itu juga dapat ‘menjadi kaya’ karena pekerjaannya itu. Untuk tetap dapat melayani kebutuhan masyarakat akan ilmu agama Hindu, Sarjana Agama di zaman millenium ini harus berusaha untuk memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Mampu berbahasa Sansekerta, minimal mampu membaca kitab suci klasik. Kemampuan ini diperlukan untuk menggali sendiri ilmu pengetahuan agama Hindu yang tersimpan di dalam kitab-kitab berbahasa Sansekerta yang jumlahnya banyak sekali dan terus bertambah. Selanjutnya menguasai ilmu agama Hindu secara luas dan mendalam serta menguasai perbedaan-perbedaan faham yang pernah ada di kalangan ummat Hindu mengenai berbagai masalah (politik,budaya,agama). Selain itu mereka harus mengahayati dan mengamalkan ajaran agama Hindu sehingga dapat dijadikan teladan dan serta berwawasan global, melihat seluruh permukaan bumi ini sebagai tempat pengabdian kepada agama dan siap untuk bekerja di mana saja di muka bumi ini. Juga selalu mengikuti perkembangan dunia. Yang tak kalah penting juga seyogianya juga menguasai bahasa asing lain, minimal Bahasa Inggris, agar dapat berkomunikasi dengan (menyampaikan pesan Hindu kepada) orang asing. Penguasaan bahasa asing lain juga akan memperkaya pengetahuan yang berasal dari literatur asing yang bermanfaat bagi pengembangan agama dan menguasai ilmu berkomunikasi yang diperlukan untuk menyampaikan pesan Hindu secara tepat sesuai dengan sasaran dharmawacananya.