Berita Hindu Indonesia . Indonesia sangat kaya akan peninggalan sejarah yang layak untuk anda kunjungi. Tak hanya di Bali, di Lombok kita juga bisa banyak menemukan lokasi wisata religi. Salah satunya adalah Pura Lingsar. Maka ada baiknya kita mengenal lebih dekat Pura Lingsar ini.
Di Desa Lingsar, Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat terdapat sebuah komplek Pura dengan taman yang luas dan indah karena itu, pura ini juga dikenal dengan nama Taman Pura Lingsar. Pura ini termasuk peninggalan sejarah dan purbakala yang cukup terkenal dan merupakan salah satu peninggalan benda bersejarah yang sudah berusia ratusan tahun serta mengandung nilai sejarah yang sangat berharga. Pura ini sudah mendapat perlindungan hukum sebagai Benda-benda Cagar Budaya (BCB) berdasarkan Undang-Undang Nomor: 5 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor: 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Corak arsitektur dan ornamentasi Pura Lingsar mengakomodasikan nilai-nilai budaya lokal yang multi etnis dan budaya luar.
Pura ini memiliki keunikan tersendiri baik dari segi penataan area bangunannya maupun kegiatan ritual atau persembahyangannya. Kegiatan ritual keagamaan dilaksanakan oleh dua kelompok masyarakat dengan latar belakang etnis/suku-bangsa dan agama yang berbeda. Kegiatan ritual itu terdiri atas dua jenis, yaitu kegiatan ritual yang bersifat insidental dan yang bersifat tetap (sekali dalam setahun). Kegiatan ritual yang bersifat insidental dilakukan oleh masing-masing kelompok etnis, sesuai dengan tradisi dan kepercayaan atau keyakinan agama mereka menurut kepentingan dan fungsinya. Kemudian, kegiatan ritual yang bersifat tetap, dilakukan setahun sekali secara bersamaan oleh kedua kelompok masyarakat tersebut dalam bentuk budaya keagamaan yang sangat unik dan terkenal dengan nama PerangTopat.
Berdasarkan informasi dari pengurus Paruman Pemangku Pura Lingsar, kegiatan keagamaan tersebut masih tetap dilaksanakan sampai saat ini oleh etnis Sasak maupun etnis Bali secara bersama-sama, bahkan juga diikuti oleh etnis lainnya. Hal ini dapat menggambarkan suasana kehidupan masyarakat pada jamannya, yang cenderung guyub rukun dan harmonis di antara umat yang berbeda agama dan keyakinan itu.
Mengenal lebih dekat Pura Lingsar sangat terkait dengan pendiriannya yang berhubungan dengan kisah perjalanan seorang tokoh, sekaligus sebagai pendiri, yaitu: Anak Agung Ketut Karangasem ke Lombok pada tahun 1692 M, di tengah suasana kehidupan mawyarakat yang masih sederhana, lugu, dan bersahabat. Ini mungkin satu-satunya tempat suci Hindu di dunia dimana baik Hindu dan Muslim datang untuk melakukan ritual. Kerukunan antar umat beragama nampak di Lombok, umat Islam dan Hindu hidup berdampingan. Bahkan di Pura Lingsar, Umat Hindu dan Islam mengelola dan beribadah disana bersama-sama.
Selain digunakan umat Hindu untuk beribadah, Suku Sasak yang menganut Islam juga menggunakan Kemaliq yang berada di dalam area pura sebagai tempat ibadah juga. Bahkan secara rutin diadakan doa bersama dari berbagai pemeluk agama yang ada di Lombok.
Untuk menjaga kedamaian, dalam di sekitar tempat itu dilarang memakan atau menyembelih binatang-binatang yang dianggap suci oleh masing-masing agama. Bahkan dalam radius 2 km dari Pura Lingsar, sapi yang dianggap suci oleh umat hindu dilarang berkeliaran.
Kawasan Pura Lingsar ini dibangun berdasarkan konsep tri mandala, yang terdiri atas kanistama mandala (Jaba Luah), madyama mandala (Jaba Tengah), uttama mandala (Jeroan), yang makna filosofisnya menggambarkan Tri Bhuvana, yaitu Bhuh Loka (alam bawah), Bhuvah Loka (alam tengah), dan Svah Loka (alam atas/Surga). Demikian pula halnya dengan Pura Lingsar Gaduh, yang terdiri atas Pura Gaduh, Kemaliq, dan Pasiraman. Pura ini telah ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya dan merupakan living monument.
Berdasarkan struktur bangunan Palinggih dan artefak yang ada di Pura Gaduh dan Kemaliq, pura ini berfungsi sebagai God worship dan Ancestor worship. Apabila diteliti mengenai penyelenggaraan Perang Topat yang setelah usai upacara, ketupat tersebut dibawa pulang untuk digunakan sebagai bubus lowong (pupuk tanaman padi di sawah mereka masing-masing) maka pura ini (khususnya Kemaliq) juga berfungsi sebagai Pura Subak, yaitu tempat suci untuk memohon kesuburan tanaman di sawah.
Keberadaan Pura Lingsar tidak diperankan sebagai media penyebaran agama, melainkan untuk meningkatkan rasa bakti kepada Tuhan dan menguatkan ikatan persaudaraan yang harmonis. Pura Lingsar mengakomodasikan nilai-nilai budaya lokal maupun budaya luar dan memiliki keunikan baik dari segi tata bangunan maupun kegiatan ritualnya. Kegiatan ritual dilaksanakan oleh komunitas yang berbeda latar belakang etnis dan agamanya. Kegiatan ritual yang terkenal unik itu adalah Pujawali dan Perang Topat. Kegiatan keagamaan tersebut sampai saat ini masih tetap dilaksanakan oleh etnis Sasak maupun etnis Bali secara bersama-sama. Hal ini dapat menggambarkan suasana kehidupan masyarakat pada zamannya, yang cenderung guyub rukun dan harmonis.
Bangunan rumah ibadah kuno sering kali mengalami perubahan, baik karena faktor usia maupun budaya yang sifatnya dinamis. Kini, bangunan Pura Lingsar sudah mengalami banyak perubahan, terutama penataan area, arsitektur, dan ornamennya yang akan berkaitan dengan pemaknaan filosofis terhadap artefak yang ada. Di sisi lain, pemahaman lebih dekat Pura Lingsar, sampai saat ini masih lemah utamanya dalam memaknai secar filosofinya. Walaupun pura masih difungsikan dengan baik oleh masyarakat yang berbeda etnis dan keyakinan agama. Hal seperti ini mengandung potensi kerawanan terhadap harmonisasi hubungan antar umat beragama apabila tidak dilandasi pemahaman yang kuat atas makna filosofi pendirian Pura Lingsar ini utamanya oleh masyarakat sekitarnya.