Berita Hindu Indonesia - Sebuah catatan sejarah keberadaan umat Hindu di lereng Gunung Merapi yang hingga sekarang masih tetap setia di jalan Dharma. Mereka menyebar di wilayah Desa Sidorejo Kecamatan Kemalang yang berjarak kurang dari 5 km dari puncak Merapi. Demikian pula ada juga yang bermukim di Desa Tangkil Kecamatan Kemalang yang berjarak sekitar 15 km dari puncak Merapi.
Keberadaan umat Hindu di lereng Merapi tidak lepas adanya seorang tokoh paranpara kharismatik di wilayah tersebut yang bernama Ki Hargadeksa. Beliau adalah seorang guru spiritual yang sangat terkenal dan disegani tinggal di desa Sidomulya sekitar 45 tahun yang silam, tepatnya tahun 1971. Saat itu merupakan titik awal Agama Hindu bersemi di kawasan ini. Sebagai seorang guru spiritual, Beliau mempunyai sisya yang cukup banyak di wilayah Surakarta, Yogyakarta, Magelang bahkan sampai Semarang. Utamanya mereka yang berguru ilmu kanuragan (kekebalan). Tidak salah lagi ilmu ini dipergunakan oleh sebagian besar dari sisyanya yang berprofesi sebagai pencuri, copet, perampok, berandal dlsb.
Menurut penuturan Ki Hargadeksa pada suatu malam beliau menerima wangsit dari pepunden Merapi, memerintahkan agar dirinya didalam usia senjanya segera menghentikan pembelajaran ilmu kanuragan yang disalah gunakan oleh para sisyanya untuk tindakan yang merugikan orang lain. Wangsit itu berupa perintah yang senantiasa menjadi perhatiannya. Untuk itu, lanjut perintahnya, Ki Hargadeksa disuruh menelusuri dalan padhang (jalan terang) sebagai jalan menuju kesempurnaan hidupnya. Sayangnya dalan padhang itu tidak dijelaskan secara fullgar, hanya diberikan ciri-cirinya, adalah; Agama yang beraksara awal HA atau yang bersemi pertama kali sebagai panutan spiritual bagi masyarakat di pulau Jawa. Ditengah kegamangannya, wangsit itu diceritakan kepada para sisyanya dan mulailah berita itu tersebar keseluruh wilayah di sekitarnya.
Di desa Tangkil Kecamatan Kemalang dibawah tempat Padepokan Ki Hargadeksa, disana ada seorang Pinandita yang Penulis masih ingat karena ketangguhan pengabdiannya bernama Pinandita Trisnasukarto. Mendengar berita itu beliau menghadap Ki Hargadeksa untuk meyakinkan kebenarannya. Menurut penuturan Pinandita Trisnasukarta, kemudian beliau mencoba untuk membuka wacana apakah agama yang dimaksud itu Hindu Dharma. Jika memang benar, kebetulan dirinya sebagai pinandita yang ada dikawasan itu. Ketika menyebut Hindu Dharma, Ki Hargadeksa mengangguk-anggukkan kepala sambil tersenyum menengarai akan persetujuannya. Hal ini dibuktikan dengan ketulusan beliau minta dirinya untuk membabar tentang apa yang disebut dengan Hindu Dharma itu. Karena merasa tingkat pengetahuannya belum memadahi, maka Pinandita Trisnasukarta berjanji mencarikan guru tentang Hindu Dharma. Kadung basah tiada kepalang tanggung, berita itu disampaikan kepada Bapak R.SH. Soebardjo, Petugas Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Akhirnya disepakati bersama pada suatu waktu Bapak R.SH. Soebardjo bersama dengan rombongan berangkat menuju ke padepokan Ki Hargadeksa. Sungguh sesuatu hal sangat ironi sesaat sampai disana. Kehadiran rombongan Bapak R.SH Soebardjo disambut dengan upacara penyambutan bak pejabat tinggi. Segalanya diatur secara protokoler oleh para sisyanya. Luar biasa, penuturan salah seorang peserta rombongan yang ketika itu menjadi saksi. Walaupun di lokasinya berdampingan dengan hutan lindung (alas tutupan) Merapi, tetapi model dan peralatan yang dipergunakan dengan perangkat soundsistym (ketika itu masih langka, listrikpun belum menjangkaunya) seperti di kota. Acara dimulai dengan sambutan ucapan selamat datang dari Ki Hargodeksa. Ditengah sambutannya beliau memberikan tantangan kepada rombongan. Beliau akan berguru manakala dapat menyembuhkan orang lumpuh yang terlentang dipembaringan berada ditempat upacara itu juga.
Karuan saja rombongan tertunduk tidak bergeming, apalagi beranjak menanggapi tantangan dari Sang Guru. Suasanapun menjadi hening. Pinandita Trisnasukarta yang duduk pada deretan depan terlihat tertunduk lesu merasa bertanggung jawab dan kawatir jika hal ini dianggapnya sudah diskenario. Tiba-tiba Bapak Slamet Suhono dan Pinandita Ratnarahardjo berdiri dengan sikap panganjali mendekati Bapak R.SH. Soebardjo. Nampaknya ada pembicaraan kecil, karena terdorong rasa keterpaksaan maka mereka terpanggil untuk berbuat sesuatu. Setelah mendapat anggukan dan senyuman dari Bapak R.SH. Soebardjo, mereka berdua menuju mendekati pembaringan seorang bapak yang terlentang lumpuh yang sudah disiapkan disamping Ki Hargodeksa itu. Konsentrasi dilakukan dengan melakukan pranayama sembari memohon asih waranugraha kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, mereka berdua meneriakkan kata “bangkit” secara serentak dan sangat keras sambil dengan gerakan menunjuk kepada si pasien.
Tiada disangka, Ida Sang Hyang Widhi Wasa menunjukkan kemujizatannya tidak mempermalukan rombongan dharmaduta yang penuh dengan ketulusan dan keikhlasan ini. Ternyata orang yang terlentang sakit lumpuh itu langsung duduk dan berdiri. Ki Hargodeksa mengangguk-anggukkan kepalanya dan memberikan ucapan selamat kepada pasien dan memberikan salam kepada mereka berdua, sambil berkata;
“Bagus nah inilah waktu yang saya nantikan, saya Ki Hargodeksa mulai detik ini akan menjadi murid dan akan mengikuti jejak bapak-bapak pengikut Hindu Dharma”. ucap Ki Hargodekso
Segenap tamu undangan yang didominasi oleh para sisya beliau tidak seorangpun yang berani berkutik.
“Bagus nah inilah waktu yang saya nantikan, saya Ki Hargodeksa mulai detik ini akan menjadi murid dan akan mengikuti jejak bapak-bapak pengikut Hindu Dharma”. ucap Ki Hargodekso
Segenap tamu undangan yang didominasi oleh para sisya beliau tidak seorangpun yang berani berkutik.
Akhirnya guru spiritual dan paranpara bagi masyarakat disekitarnya itu berharap kepada para sisyanya agar mulai detik itu juga ilmu yang telah beliau berikan hendaknya tidak lagi dipergunakan untuk merugikan orang lain, tetapi dapat dipergunakan untuk kemanfaatan masyarakat. Menurut beliau apapun yang telah didapat hasil dari profesi seperti itu tidak akan dapat memberikan kebahagiaan batin bagi keluarganya. Lebih lanjut beliau mengajak kepada para sisyanya dapat mengikuti jejaknya melakukan pencarian kebahagiaan lahir dan batin sejati yang kini telah ditemukan. Ki Hargadeksa memang sosok paranpara yang kharismatik yang senantiasa berpegang satya wacana - konsisten dengan apa yang telah diucapkannya. Mulai saat itu bersemilah Hindu di lereng Merapi yang dipandu oleh seorang pinandita yang bernama Trisnasukarto.
Akhirnya melalui sebuah prosesi sudi wadhani massal dengan disaksikan Petugas Ditjen Bimas Hindu dan Budha R.SH. Subardjo, Ki Hargodekso dan ratusan pengikutnya beserta keluarganya menyatakan diri untuk masuk agama Hindu.
Tiada terasa berpuluh – puluh tahun telah berlalu, namun di desa itu tetap berdiam sekitar 30 KK umat Hindu sebagai penerusnya dan mereka hidup dalam kedamaian. Sayangnya kedamaiannya itu sempat terusik dengan munculnya si wedhus gembel (awan panas) akibat erupsi Merapai pada saat itu. Mereka harus berlari mengungsi untuk menyelamatkan diri. Kini, semuanya telah berakhir tinggal dampak kehancuran lahir batin yang menyelimutinya. Saudaraku, semoga Ida Sang Hyang Widhi wasa senantiasa memberikan ketangguhan dan ketabahan didalam mengarungi samodra penderitaan ini.. Semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru.
Dikisahkan oleh:
Kasiyanto, S.Ag ( Tokoh umat Hindu Jawa Tengah)