Berita Hindu Indonesia - Bangsa Indonesia pernah berhasil menjadi negara yang disegani seantero Asia Tenggara ketika zaman pemerintahan Majapahit. Menurut catatan sejarah ternyata tata nilai sosial budaya masyarakat yang dikembangkan adalah tatanan yang berdasarkan pada nilai-nilai ajaran Hindu. Secara sosiologis masyarakat terbagi menjadi 4 (empat) kelompok kekaryaan atau yang biasa disebut dengan catur warna; brahmana, kestria, weysa dan sudra.
Keempat warna kelompok masyarakat itu bejalan secara terpadu dan terkoordinasi dengan sebaik-baiknya. Mereka hidup berdampingan dan penuh tanggung jawab dengan saling menghormati diantara satu dengan lainnya yang dilandasi kesadaran bahwa apapun yang terjadi dalam kehidupan didunia ini semuanya berjalan menurut alur swadharmanya masing-masing (sumarah).
Faktor yang menjadi landasan dan mampu memberikan ekselerasi adalah faktor security atau keamanan yang hal ini menjadi tanggung jawab dari warna ksatria. Dalam kerangka menunaikan tanggung jawabnya itulah sesungguhnya yang disebut dengan dharmaning ksatria. Atau jika dibalik dharmaning ksatria adalah kewajiban seseorang dalam menunaikan tanggung jawabnya sebagai ksatria
Runtuhnya pemerintahan Majapahit pada sirna ilang kertaning bumi (1478 M) yang kemudian pusat pemerintahan berpindah ke Demak dengan mengibarkan bendera Islam, ternyata menyisakan permasalahan dan pengalaman pahit yang sangat serius termasuk terjadinya pergeseran tata nilai sosial dan budaya dalam kehidupan masyarakat Jawa dan seiring dengan perjalanan waktu terbuai dengan nyanyian sorgawi menuju ke tempat pembaringannya.
Hindu di Persada Nusantara utamanya di Jawa Tengah konon telah mendarah daging sebagai panutan spiritual dan sumber tata nilai dalam kehidupan masyarakat sudah ribuan tahun (lihat sekalan cruti indria rasa yang terukir di Prasasti Canggal). Tata nilai sosial budaya sebagai acara yang dibangun bersumberkan ajaran Hindu. Kenapa begitu mudahnya lelap tidur di pembaringannya.
Penyadaran kembali baru diawali dekade enam puluhan yang diprakarsai oleh Rama RM. Harjanto Projopangarso dari bumi Surakarta Hadiningrat yang diikuti tokoh lainnya yang menyebar seantero Karesidenan Surakarta. Menurut catatan terdapat diantaranya, nama-nama: Bapak RM. Soepanggih untuk Kabupaten Karanganyar, Bapak RSH. Soebardjo untuk Kabupaten Klaten, Bapak AW. Samosir diikuti dengan Bapak Srijangkung, Bapak Soeripto, Bapak Slamet Hardjowiryatmo (Kabupaten Boyolali)
Bak jamur di musim hujan di era tahun 60 an itu perkembangan meluas menjadi seantero Jawa Tengah, dengan pemunculan tokoh-tokoh, seperti:
Bapak Ki Kargo Hendro Srijati (Kabupaten Tegal), Bapak Ki Ken Rahardjo (Kabupaten Pekalongan), Bapak Tedjosaputra (Kota Pekalongan), Bapak Ki Sukamto (Kota Pekalongan), Bapak Ki Untung Kartoprawiro (Kabupaten Batang), Bapak S. Widodo (Kabupaten Kendal), Bapak Sukidjo (Kabupaten Semarang), Bapak Ngadni Suprapto (Kabupaten Jepara), Bapak Widagdo, Bapak Supardjo (Kabupaten Sragen) dan masih banyak lagi yang tak bisa disebutkan satu persatu.
Pada saat itu perjuangan mereka di Jawa Tengah juga didukung dengan hadirnya tokoh-tokoh dari Bali seperti: Bapak dr. Ida Bagus Oka (Klaten), Bapak dr. IGM Cakra (Klaten), Bapak IGM Sugangga (Semarang), Bapak Drs. Adia Wiriatmaja (Magelang) Bapak Ida Bagus Rai Wardana (Semarang), Bapak I Made Pada, SH (Semarang), Bapak I Made Mertha (Semarang) dan masih banyak yang lainnya lagi.
Suasana beranjak dari tertidur dengan ketika bangkit ternyata memiliki situasi dan kondisi yang sudah sangat berbeda dengan permasalahan, sbb:
- Tata upacara yang semula sebagai penghayatan dan pengamalan ajaran Agama Hindu bergeser menjadi adat yang selanjutnya berinteraksi dan terjadi akulturasi dengan panutan spiritual yang baru.
- Secara Psikologis Masyarakat Jawa adalah momot (akomodatif dan permisif) terhadap kehadiran sesuatu yang baru. Apalagi hal tersebut dibawa oleh tokoh paternal.
- Terjadinya perubahan paradigma dalam kehidupan spiritual masyarakat mendorong para rohaniwan Hindu pergi ketempat yang lebih nyaman, seperti; ke hutan, pedesaan, pegunungan Tengger bahkan ada sebagian yang menyeberang ke Pulau Dewata.
- Catur warna yang terkoordinasi dengan baik seiring dengan terjadinya perubahan situasi dan kondisi menjadi berantakan. Sebagaimana pada poin ke 3 diatas menjadikan peluang bagi panutan spiritual yang baru masuk dengan lembut melalui pintu budaya.
- Seiring dengan perkembangan zaman adanya kemajuan IPTEK yang memunculkan era globalisasi ternyata sudah menjadikan kebangkitannya itu menjadi silau dan lupa akan kejatidiriannya.
Konon jangka (ramalan) Jayabaya mengisyaratkan bahwa Agama Budhi (Hindu ?) akan bangkit kembali nanti setelah lima ratus tahun kemudian (terhitung dari runtuhnya Majapahit) atau jika Gunung Merapi telah memuntahkan laharnya mengalir ke barat daya. Memang banyak tafsir yang mengangkat masalah jangka tersebut. Sekarang permasalahannya adalah haruskah kita menantikan jangka tersebut secara pasrah mengikuti air mengalir, atau kita menjemput bola dengan polah (usaha) melawan arus yang sedemikian besar. Wait and see !!!!!!!
Penyumbang Artikel :
Kasiyanto, S.Ag ( Tokoh Umat Hindu di Jawa Tengah )