Berita Hindu Indonesia - Utpati, stiti dan pralina - lahir hidup dan mati adalah sebuah proses terjadinya perubahan dalam kehidupan. Jika kita cermati dengan keheningan cipta dan rasa kita, kiranya akan tersadari bahwa apapun yang terciptakan didalam kehidupan di dunia ini, ternyata tiada yang kekal dan abadi. Semuanya senantiasa akan berubah, selaras dengan situasi dan kondisinya masing-masing. Bahkan dapat dipastikan bahwa perubahan itu sendirilah yang sesungguhnya senantiasa bergulir tiada mengenal ruang, waktu maupun keadaan dari awal terciptanya kehidupan dunia sampai pada mahapralaya nanti.
Manusia adalah merupakan bahagian integral salah satu elemen kehidupan dari alam semesta, sudah barang tentu tidak dapat terlepas dari proses perubahan itu sendiri. Merujuk dari berbagai susastra menunjukkan bahwa diantara makhluk yang menghuni di bumi ini, hanya yang terlahirkan menjadi manusia sajalah yang memiliki perangkat kehidupan yang lebih lengkap; bayu, sabda dan idhep. Hangastungkara! Dengan demikian sudah selayaknya dapat mensikapi adanya perubahan itu dengan penuh kesadaran dan kearifan.
Banyak petunjuk yang diberikan dari para wiprah, seperti; aja gumunan, aja kagetan, yang terjadi terjadilah dan lain sebagainya.
- Aja gumunan artinya jangan mudah heran melihat apa yang terjadi.
- Aja kagetan artinya jangan terkejut apapun yang terjadi dan
- Yang terjadi terjadilah artinya apapun yang telah terjadi, memang seharusnya terjadi.
Rambu - Rambu Peringatan Perubahan
Rwa bhineda adalah dualisme yang senantiasa berkembang dalam kehidupan di dunia ini. Hal ini dianggapnya sebagai salah satu biang terjadinya perubahan itu pula. Kecenderungan kemana perubahan itu mengarah, ditentukan oleh intensitas kedua kekuatan yang saling berhadapan. Kesemuanya itu bergulir bagai cakra manggilingan (roda berputar) yang memiliki jari-jari mulai dari elemen yang teramat kecil sampai yang maha besar.
Menurut catatan sejarah, pada saat zaman pemerintahan Mataram Kuna abad ke 8, dengan kristalisasi potensi yang dimiliki oleh nenek moyang kita, ternyata mampu menciptakan berbagai mahakarya, seperti; candi Prambanan yang sedemikian artistic dan megah. Bahkan disebutkan sebagai candi yang tercantik dan termegah di Asia Tenggara. Demikian pula pada era pemerintahan Majapahit mampu mengantarkan rakyatnya pada tataran gemah ripah tata tentrem dan raharja.
Tradisi spiritual dan budaya yang tertata sedemikian laras di dalam nuansa hubungan antara manusia dengan Tuhannya, sesama manusia dan manusia dengan alam lingkungannya. Dalam bidang sosial, masyarakat terbagi dalam catur warna; Brahmana, Ksatria, Wesya dan Sudra.. Mereka sadar akan fungsi dan peranan dalam warna atau golongan kekaryaannya masing-masing, dengan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dapat tertata sedemikian apik. Apalagi Bali yang memang disebut sebagai pulau Dewata. Memiliki kandungan segudang ragam mahakarya spiritual dan budaya. Bahkan dapat dikatakan tiada sejengkal tanahpun yang terlepas dari nuansa keharmonisan. Sehingga mampu menjadikannya sebagai “museum” spiritual yang langgeng dan tetap survive di tengah badai penetrasi religi dan budaya manca yang sungguh-sungguh menggila.
Melihat bangunan kondisi seperti itu, kiranya logika kita akan mengatakan bahwa tidaklah mungkin kesemuanya itu dapat dibangun hanya dengan memberdayakan potensi lahir semata. Dengan demikian, maka kita dapat katakan bahwa pembangunan di kala itu dilakukan secara berkeseimbangan antara kekuatan lahir dan batin. Karena peninggalan itu bernuansa Hindu dapat dipastikan pula mesti berdasarkan pada nilai-nilai ajaran Agama Hindu.
Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi yang tumbuh dan berkembang sebagaimana secanggih sekarang ini, semestinya, kita dapat membangun candi Prambanan dan mahakarya budaya spiritual lainnya yang jauh berlipat ganda; baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Namun kenyataannya apa yang terjadi, boro-boro (kata orang Betawi) dapat membangun seperti itu, untuk melindungi, mengamankan dan melestarikan nilai-nilai luhur yang terkandung didalamnya saja, jujur, kita harus katakan tidak memiliki kemampuan untuk itu. Kita hanya bisa ngelus dhadha dan hanya boleh kagum, hanya boleh bangga mahakarya yang penuh keagungan dan kharismatic itu yang dianggap sebagai warisan budaya bangsa hasil karya agung dari generasi penghayat dharma pada era pendahulu kita.
Sebagai pemegang salah satu mata rantai generasi penghayat Ajaran Dharma di masa kini, kiranya perlu kita pertanyakan pada diri kita sendiri; apa yang bisa kita lakukan sebagai warisan peninggalan karya budaya bagi generasi selanjutnya? Pertanyaan ini akan terjawab oleh generasi mendatang yang menjadi pelaku berikutnya di dalam sejarah perjalanan Hindu di bumi Nusantara.
Masalah tersebut kita hanya bisa katakan sebagai terjadinya perubahan (owah gingsir) zaman. Namun demikian pasrah bukanlah sikap yang bijaksana. Mesti harus dilihat dari akar permasalahannya; mengapa hal ini terjadi. Penulis mencermati bahwa salah satu diantaranya adalah; potensi yang kita miliki berada sporadis pada kelompok atupun komunitas yang sesungguhnya dalam satu visi dharma. Sementara itu di dalam mengaktualisasikannya menekankan kepentingan yang mengarah pada eksistensi kelompok dan atau komunitas masing-masing. Hal ini masih diperparah terjadinya persaingan diantara kelompok yang satu dengan lainnya. Jadi sudah kecil berkeping-keping lagi. Jika hal ini terus berkelanjutan sulit nampaknya menggapai suatu asa untuk kembali menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Orang bijak berkata: perubahan adalah hal yang alami dan penuh makna, bukan sesuatu yang perlu ditakuti dan dihindari. Perubahan diharapkan membuat diri kita lebih dinamis dan inovatif, agar tidak terjadi stagnasi. Namun pada kenyataannya yang terjadi didalam kehidupan sejarah perjalanan Agama Hindu di bumi Nusantara, justru berbalik 180 derajat. Konon Hindu pernah mendarah daging sebagai panutan spiritual dari bangsa ini yang ditandai dengan warisan budaya sebagaimana tersebut diatas. Jika kini kondisi yang terlihat seperti ini, perubahan yang terjadi adalah sebuah degradasi.
Bukti kongkrit secara kasat mata kita melihat bagaimana sarana dan prasarana spiritual yang terbangun sedemikian anggun dan megah, kini merana tinggal sebagai “petilasan” yang berserakan dimana-mana, diantaranya seperti; situs sebaran Candi di daerah Dieng Kabupaten Wonosobo, Candi Gedong Sanga, Candi Pangempon bahkan sebuah patung Ganesya yang konon terbesar di Asia Tenggara dalam kondisi yang sangat memprihatinkan berdiri tegak di sebuah lorong desa wilayah Kabupaten Semarang. Celakanya, ketika kita akan berupaya nguri-uri atau memelihara secara spiritual untuk meletakkan kembali sebagaimana fungsi dan peranannya, justru malah banyak dihambat atau dilarang baik oleh internal Hindu maupun dari pihak eksternal.
Perubahan seperti ini hendaknya dapat kita jadikan sebagai pelajaran yang amat sangat berharga. Kesemuanya butuh kesadaran yang utuh, segar dan dinamis, butuh kemampuan (dharma, arta dan kama), butuh good will (kemauan, tekad dan semangat), butuh komitmen, konsistensi dan kebersamaan, butuh kecerdasan membaca peluang yang ada, butuh strategi, butuh proses dan butuh waktu didalam mengkristalisasikan potensi dari segenap kelompok/komunitas yang menggunakan Weda sebagai panutannya.
Jika dalam satu mata rantai generasi sekarang ini belum dapat terwujud (lostgeneration), setidaknya generasi ini dapat meletakkan dasar fondasi bagi generasi selanjutnya arah visi yang akan dituju. Namun jika ada pertanyaan yang muncul: Kapan? Jawabnya adalah; Kapan kapan atau kita tanyakan pada rumput yang bergoyang. Namun harus tetaplah diingat..bahwa sesuatu yang berkembang pasti akan melalui suatu proses perubahan. Nah..Bagaimana kita bisa berkembang kalau kita sendiri takut pada perubahan itu sendiri.