Berita Hindu Indonesia - Dalam sebuah pembicaraan religiusitas di lingkungan para sisya di sebuah pasraman, tiada disengaja muncul sebuah topik yang menarik, ada seorang sisya bertanya; bagaimana caranya seseorang mampu mengesampingan kehendak biologis libido seksualitasnya, seperti yang dilakukan oleh penghayat sukla brahmacarya atau tidak melakukan perkawinan. Menurut pemahamannya bahwa tidak satupun makhluk yang hidup di dunia ini terlepas dari hal ini sepanjang dirinya masih normal.
Segala perilaku didalam kehidupan ini pada hakikatnya berangkat dari pikiran. Pikiran ini bergerak amat sangat cepat menuju kearah mana dikehendaki oleh ego. Sementara itu ego adalah merupakan respon terhadap segala sinyal masuk yang ditangkap dari indera yang dimiliki. Tidak ada landasan, tidak ada kendali, bebas lepas bagai burung yang hidup di hutan belantara. Ketika burung itu dipelihara oleh manusia, dicukupi segala kebutuhan biologisnya, bahkan ada yang memanjakannya dikurung di dalam sangkar emas. Lebih dari itu sampai segala perbuatan yang dilakukan oleh si burung itu dijadikan sebagai sumber inspirasi gerak langkah dari si pemeliharanya.
Pertanyaannya adalah, siapa yang dimaksud dengan si pemelihara burung itu? Ia tiada lain adalah yang disebut wiweka. Wiweka merupakan instrumen spiritual yang dimiliki oleh setiap manusia. Burung sebagai pikiran bersifat progresif, terbuka, liar, bebas, tidak pernah puas dan senantiasa penuh dengan rasa ingin tahu. Sementara si pemelihara atau wiweka ini bersifat tertutup, terkendali, rasa puas dan bergerak mendasarkan kepada kerangka triguna (sattwam, rajas, tamas) yang divisualisasikan dalam bentuk hati nurani. Sinergi kedua element ini akan mengeluarkan output yang berupa sikap dan perilaku manusia. Hal inilah sesungguhnya yang dapat dipergunakan sebagai tolok pembeda eksistensi antara manusia dengan binatang didalam kehidupan di dunia ini.
Keberadaan instrumen wiweka memiliki peranan yang sangat penting didalam perwujudan dari sikap dan gerak seseorang. Tidak segala respon inderawi sepenuhnya linier menjadi sebuah keputusan sikap bagi seseorang, namun mesti diperhatikan masih banyak variabel lain yang mempengaruhi. Sebagai contoh; seseorang yang sedang ditinggalkan oleh orang yang sangat dicintainya. Dalam kondisi seperti ini respon inderawi tidak menjadi domain lagi atau bahkan pada tingkat tertentu tidak berpengaruh sama sekali terhadap sikap atau pengambilan keputusannya. Ia tidak peduli perutnya kosong, walau disajikan makanan yang menjadi faforitnya. Kata orang orang yang sedang dimabuk cinta tahi kucingpun terasa coklat atau saampai bunuh diri. Demikian pula seperti yang sedang melakukan upawasa, kondisi lapar itu tidak akan mempengaruhi dalam penghayatan laku atau bratanya.
Kembali kepada topik pembicaraan diantara para sisya pasraman tadi. Bagi penghayat sukla brahmacarya dorongan inderawi libido seksual sebagai tutunan biologis yang muncul seperti manusia biasa lainnya, mereka mampu mengendalikan melalui wiwekanya. Bahkan libido seksualnya yang merupakan potensi ini dikonversikan melalui meditasi menjadi power didalam pengembangan spiritualitasnya. Jadi wiweka inilah sesungguhnya yang divisualisasikan sebagai watak dan atau pribadi seseorang.
Sebagai ilustrasi disampaikan contoh:
- Disuatu ketika ada tamu datang menyodorkan list permohonan bantuan untuk korban bencana alam. Kebetulan saat itu yang bersangkutan dalam keadaan memiliki kemampuan yang cukup. Pertimbangan wiweka seperti apa yang disodorkan kepada pikiran untuk mengambil sikap; memberi atau menolaknya.
- Ketika seseorang pulang dari kantor naik bis kota yang penuh sesak, kebetulan ia mendapat tempat duduk. Inderawinya memberikan asupan ada seorang nenek-nenek yang sudah tua berdiri berdesak-desakan disampingnya. Respon spontanitas seperti apakah yang akan dia lakukan. Akankah mempersilakan nenek-nenek itu untuk menggantikan tempat duduknya atau ia akan cueking saja. Wiwekanyalah yang mempertimbangkan keputusan sikapnya.
- Dalam sebuah kisah perjalanan seorang pemuda yang naik sepeda motor di malam hari dan ketika itu hujan deras. Ia melewati sebuah hutan kecil diantara dua desa melihat seorang wanita yang berjalan sendirian di pinggir jalan dengan pakaian basah kuyup dan membawa barang-barang bawaan yang nampaknya cukup berat. Pikiran pemuda itu melihat kenyataan ini, wiwekanya mempertimbangkan untuk menolongnya. Dihampirinyalah wanita itu diajak bersamaan karena ia melihat merasa kasihan. Sesampai dirumahnya, wanita ini menawarkan untuk mampir yang kebetulan sendirian, karena orang tua dan adik-adiknya masih dikota belum mendapat kendaraan pulang. Mendengar tawaran itu nampaknya sikap ketulus ikhlasannya mulai bergeser. Oke, tawaran diterima ia mampir. Setelah sekian lama menantikan turunnya hujan sementara keluarga yang ditunggu-tunggu juga belum kunjung tiba, suasana sepi itu ternyata memancing nafsu birahinya, apalagi si gadis itu menambah hangatnya situasi dengan memakai pakaian yang merangsang. Ia kepengin melakukan hubungan intim. Setelah usai hal itu terjadi, ia sadar ternyata berada di pekuburan sendirian. Akhirnya ia lari teriak-teriak sambil minta tolong.
Dari ketiga ilustrasi itu kiranya kita akan dapat melihat lebih jelas, fungsi dan peranan masing-masing instrumen hidup yang kita miliki. Sikap seseorang sebagai produck pikiran yang dipandu wiwekanya bergerak pada orientasi oleh triguna.
Kedamaian pikiran
Didalam sebuah keragaman yang dilandasi oleh keyakinan, kedamaian yang divisualisasikan dalam bentuk kerukunan, kadang hanya bersifat sekedar tidak adanya konflik semata. Karena masing-masing keyakinan memiliki fanatisme yang menganggap bahwa kebenaran hanya ada dalam keyakinannya dan melihat yang lain lebih rendah atau bahkan keliru. Kedamaian seperti ini sangat rentan terjadinya konflik. Ketika ada pematik permasalahan yang sesungguhnya hanya sepele atau bahkan dimensi pribadi, hal tersebut akan mudah memicu terjadinya konflik.
Demikian pula ketika kita sedang melakukan sembahyang dan mendengarkan ceramah keagamaan di Pura, kondisi kalbu terasa damai. Namun seusai itu, ketika pulang dihadang dengan kemacetan lalu lintas, kedamain itu sirna seiring dengan munculnya masalah baru yang berkembang. Kedamaian ini hanya bersifat sementara.
Pertanyaannya sekarang adalah; bagaimana kita dapat mendapatkan suatu kedamaian sejati atau yang disebut kebahagiaan itu. Didalam leteratur Vedanta menjelaskan; aprayatnat prayatnatva mudho napnoti nirvertim. Bukan bagi orang yang tidak berusaha dan bukan pula untuk orang yang berusaha keras, kedamaian hanya akan dapat dicapai bagi orang yang mengerti tentang kebenaran itu sendiri. Ini artinya seperti kata lirik dalam sebuah lagu; kita kejar dia lari, kita lari dikejarnya. Disini perlu adanya pengertian tentang kebenaran atau ibarat suara nada dalam sebuah kecapi; Jika kita tarik senarnya kuat-kuat maka akan terputus, hilanglah suaranya. Demikian pula ketika senar itu dilepaskan juga tidak akan ada suaranya pula. Oleh karenanya manakala kita ingin suara dengan nada yang merdu, sebaiknya senar itu dalam posisi keseimbangan dan hanya yang mengerti nada sajalah yang dapat menikmatinya. Merdunya nada suara kecapi itulah sesungguhnya yang disebut dengan kedamaian sejati.
Dalam Pustaka Arjunawiwaha dijelaskan: Sasi imba aneng gata mesi banyu, ndan asing suci nirmala mesi wulan …… Berangkat dari pustaka tersebut semakin membuka wawasan kita bahwa kedamaian pikiran akan dapat dicapai, ditemukan ketika jiwa ini dalam keadaan suci dan hening seperti bayangan bulan di air dalam tempayan itu. Wujud bayangan bulan akan nampak jelas ketika air itu dalam keadaan bening dan hening.
Hambatan
Didalam Bagawadgita dijelaskan ternyata untuk mencapai kedamaian dalam pikiran bukan persoalan mudah. Butuh disiplin diri lahir maupun batin yang berkeseimbangan, sebagaimana yang diungkapkan didalam sebuah suluk pedalangan; Nutupi bawahan hawa sanga, catur kaprawasa, hamung sajuga ingkang sinidhikara. Ditegaskan bahwa ada catur yang harus dikendalikan, yakni; keinginan, keterikatan, keakuan dan rasa kepemilikan.
- Keinginan; disini bukan berarti harus dipasung, tetapi karena keinginan bersifat unlimited, maka mesti harus dikendalikan artinya diletakkan diatas landasan nilai-nilai dharma.
- Keterikatan; dimaksudkan apapun yang kita lakukan harus dilambari sepi ing pamrih rame ing gawe. Karena kita yakin sepenuhnya tiada karya yang terlepas dari hukum karma.
- Keakuan; akunya sangat menonjol seolah-olah semua karya mesti harus ada aku, tanpa aku tiada akan jalan. Akulah yang paling berjasa, paling penting, paling berjuang dlsb. “untung ada saya”. Juk konyol ini sangat relevan didalam menerjemahkan rasa keakuan ini.
- Kepemilikan; dimaksudkan bahwa sesuatu itu miliknya. Jika pola pikir ini melekat didalam pikiran, akan mengikatkan jiwanya kepada sesuatu obyek. Ketika terjadi perpisahan dirinya terhadap obyek itu, rasa derita akan menghinggapinya.Penderitaan yang dirasakan berjalan seiring dengan intensitas rasa kepemilikinya terhadap obyek yang dimilikinya itu juga.
Seorang jejaka membayangkan akan sangat merasa bahagia manakala mempunyai seorang istri yang cantik jelita. Ketika tujuannya tercapai mempunyai istri yang cantik, ternyata kebahagiaan itu tidak dapat ditemukan juga. Jika dirinya berpisah dengan istrinya senantiasa dihinggapi rasa was-was, khawatir istrinya diserobot orang. Demikian juga, seseorang kepengin kaya raya. Suatu ketika ia mendapat hadiah undian satu milyar, ternyata ia malah tidak bisa tidur. Disamping kehendak memenuhi gejolak keinginan yang liar, khawatir dirampok oleh orang. Akibatnya adalah dirinya malah sakit-sakitan, karena dihinggapi rasa was.
Dari uraian diatas nampak jelas bahwa didalam pencapaian kebahagiaan secara keliru kita mengarahkan tujuan kepada sebuah obyek kebendaan atau duniawi dan faktanya hal tersebut tidak dapat memberikan kebahagiaan sejati sebagaimana yang diharapkan. Pustaka suci Bagawadgita memberikan penjelasan tentang hal ini; vihaya kamaan Yah sarwam artinya tujuan kita adalah kebahagiaan bukan obyek. Hal ini bukan berarti kita harus menafikkan sepenuhnya masalah objek (duniawi), Bagaimanapun juga hal itu diperlukan untuk memenuhi kebutuhan didalam hidup di dunia ini dan yang mesti harus dirubah dalam hal ini adalah pola pikir yang keliru
Penyumbang Artikel :
Kasiyanto, S.Ag ( Ketua Badan Penyiaran Hindu Provinsi Jawa Tengah )