Berita Hindu Indonesia - Mulai tahun depan, bahasa daerah (bahasa ibu) akan masuk dalam muatan lokal kurikulum
pendidikan di tingkat PAUD dan TK di seluruh Indonesia. Anggota Komisi X DPR RI
Wayan Koster mengungkapkan hal itu, belum lama ini. Ketua DPD PDIP Provinsi
Bali itu mengatakan, untuk bahasa Bali, kebijakan itu dilakukan di PAUD dan TK
berbasis Hindu yang ada di semua desa
adat sebagai proyek percontohan.
Menulis Aksara Bali |
Mengapa
pemerintah menempuh kebijakan itu? Koster mengatakan, ada kerisauan mengenai
penggunaan bahasa ibu belakangan ini yang mulai ditinggalkan oleh generasi
muda. Koster mengatakan, masuknya bahasa ibu dalam kurikulum pedidikan di
tingkat PAUD merupakan sebuah upaya memelihara bahasa dan menjaga jati diri
bangsa Indonesia.
Kerisauan
tentang terancamnya bahasa Bali memang bisa dipahami. Sebab, anak-anak remaja
masa kini lebih sering menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi. Jika
ada yang menggunakan bahasa Bali, itu sangat jarang dan pemakaiannya pun banyak
yang salah dari segi tata bahasanya.
Sebagaimana
kita ketahui, bahasa Bali mengenal sorsinggih bahasa. Sor-singgih itu adalah
tingkatan bahasa halus dan kasar sesuai dengan status pemakainya. Misalnya
antara sorang murid dengan gurunya. Meskipun sebuah kata memiliki arti yang
sama, namun berdasarkan sor-singgih bahasa, pengucapannya akan berbeda. Sebuah
contoh: seorang sisya (murid) berkata kepada seorang pandita. “Singgih iratu
sampun ngerayunan? Titiang sampun nunas.” Kata “ngerayunan” dan “nunas” artinya
sama-sama berarti “makan”.
Aksara Bali |
Adanya
sor-singgih itu juga berfungsi menciptakan etika. Jika salah menggunakan
sor-singgih itu, maka bisa bermakna tidak tahu etika. Kecuali, tentunya bagi
orang yang tak tahu sama sekali atau baru belajar bahasa.
Sesungguhnya,
jika kita amati secara seksama, sudah ada upaya memelihara bahasa Bali dengan
baik. Contoh yang bisa ditemukan antara lain saat peristiwa acara atau upacara
adat/keagamaan. Pada saat upacara Panca Yadnya, baik di pura maupun di luar
pura, para pejabat adat, rohaniwan atau panitia upacara akan selalu berbahasa
Bali saat berbicara. Ketika warga adat melakukan sangkep (rapat), bahasa Bali
seakan menjadi bahasa wajib.
Demikian
pula dalam kesenian tradisional Bali, para pelaku dominan menggunakan bahasa
Bali. Semua karya sastra kakawin yang menggunakan bahasa Jawa Kuna,
diterjemahkan ke dalam bahasa Bali. Buku-buku geguritan pun, hampir semua
menggunakan bahasa Bali.
Meskipun
demikian, kita patut dukung upaya pemerintah melestarikan bahasa Bali. Sebab,
bahasa Bali bukan hanya berfungsi sebagai bahasa komunikasi, tetapi juga
berfungsi menciptakan etika atau
budipekerti. Hanya saja, kita rupanya perlu meluruskan kembali pelajaran bahasa
Bali yang dulu pernah berlaku. Misalnya ada disebutkan bahwa ada penggunaan
kata untuk wangsa andapan (orang yang lebih rendah), sesamen wangsa jaba.
Ungkapan itu menunjukkan adanya kasta dalam masyarakat Bali. Melestarikan
bahasa Bali, jangan sampai melanggengkan kasta.