Berita Hindu Indonesia
- Ngaben secara harafiah bisa diartikan sebagai sebuah prosesi pembakaran mayat
dalam masyarakat Hindu Bali. Secara etimologis, istilah ngaben adalah prosesi
pembakaran mayat tidak selamanya tepat karena adakalanya tradisi ngaben tak
selalu melulu tentang prosesi membakar mayat. Dalam bahasa lain di Bali, ngaben
juga sering disebut dengan kata palebon. Kata ini diyakini berasal dari kata
lebu yang berarti tanah atau debu. Jadi, ngaben atau palebon adalah sebuah
prosesi upacara bagi sang mayat untuk ditanahkan (menjadi tanah).
Dalam hal men-tanah-kan ini masyarakat Hindu Bali mengenal dua cara yakni dengan menguburkannya dan atau membakarnya. Dengan kata lain prosesi pembakaran mayat ada dalam upacara ngaben, tapi ngaben tidak berarti selalu berupa upacara pembakaran mayat. Secara bahasa, kata ngaben berasal dari kata beya yang berarti biaya atau bekal. Kata beya ini sendiri kemudian dalam kalimat aktif (melakukan pekerjaan) menjadi meyanin. Kata meyanin sudah menjadi bahasa baku untuk menyebutkan upacara sawa wadhana. Boleh juga disebut Ngabeyain. Kata ini kemudian diucapkan dengan pendek, menjadi ngaben.
Dalam hal men-tanah-kan ini masyarakat Hindu Bali mengenal dua cara yakni dengan menguburkannya dan atau membakarnya. Dengan kata lain prosesi pembakaran mayat ada dalam upacara ngaben, tapi ngaben tidak berarti selalu berupa upacara pembakaran mayat. Secara bahasa, kata ngaben berasal dari kata beya yang berarti biaya atau bekal. Kata beya ini sendiri kemudian dalam kalimat aktif (melakukan pekerjaan) menjadi meyanin. Kata meyanin sudah menjadi bahasa baku untuk menyebutkan upacara sawa wadhana. Boleh juga disebut Ngabeyain. Kata ini kemudian diucapkan dengan pendek, menjadi ngaben.
Foto ngaben saat ke rajepati |
Meskipun
begitu, asal-usul dari kata Ngaben sendiri memiliki varian lainnya. Menurut
beberapa para ahli, bahwa kata Ngaben itu berasal dari kata “api”. Kata api
mendapat awalan “ng” dan akhiran “an” menjadi “ngapian” yang setelah mengalami
proses sandi menjadi “ngapen”. Dan karena terjadi perubahan fonem “p” menjadi
“b” menurut hukum perubahan bunyi “b-p-m-w” lalu menjadi “ngaben”. Dengan
demikian kata Ngaben berarti “menuju api”. Dan karena yang ingin Budaya
Nusantara bahas di sini adalah ngaben yang terdiri dari prosesi pembakaran
mayat, maka kiranya istilah itu baik juga dipakai di sini.
Pertama-tama,
dan adalah yang paling esensial dalam pembahasan ini adalah tempat dan alat
untuk mengabukan mayat yang disebut dengan istilah pemasmian dan tunon. Pemasmian
sendiri merupakan tempat atau wadah untuk memproses sang mayat menjadi abu,
yang secara bahasa berasal dari kata basmi. Sedangkan tunon sendiri yang
berasal dari kata tunu (bakar) merupakan areal dimana prosesi itu dilaksanakan.
Kata lain dari tunon ini adalah setra atau sema. Setra berarti tegalan dan sema
adalah sebutan lain dari Dewi Durga. Upacara pokok dan inti dalam ngaben itu
sendiri disebut dengan istilah Tirta Pangentas yang bertujuan untuk memutuskan
hubungan kecintaan sang roh (atma) dengan jasad wadagnya (jasmani) untuk
kemudian mengantarkannya kembali ke alam pitra (alam keabadian).
Adapun, api yang digunakan dalam upacara ngaben ini terbagi menjadi dua jenis api, yakni, api sekala (kongkrit/nyata) dan api niskala (abstrak/tak nyata). Api sekala adalah api yang memang secara real digunakan untuk membakar tubuh sang mayat hingga menjadikannya abu. Sedangkan api niskala merupakan api tak kasat yang bertujuan untuk membakar kekotoran dan dosa-dosa yang melekati roh. Proses membakar kotoran dan dosa-dosa ini sendiri disebut dengan istilah mralina.
Di
antara dua jenis api dalam upacara Ngaben itu, ternyata yang lebih tinggi
nilainya dan mutlak penting adalah api niskala atau api praline yang muncul
dari sang Sulinggih. Sang Sulinggih (sang muput) akan memohon kepada Dewa Siwa
agar turun memasuki badannya (Siwiarcana) untuk melakukan “pralina”. Mungkin
karena api praline dipandang lebih mutlak/penting, dibeberapa daerah pegunungan
di Bali ada pelaksanaan upacara Ngaben yang tanpa harus membakar mayat dengan
api, melainkan cukup dengan menguburkannya. Upacara Ngaben jenis ini disebut
“bila tanem atau mratiwi”. Jadi ternyata ada juga upacara Ngaben tanpa
mengunakan api (sekala). Tetapi api niskala/api praline tetap digunakan dengan
Weda Sulinggih dan sarana tirtha praline serta tirtha pangentas.
Foto Pembakaran |
Lepas
dari persoalan api mana yang lebih penting. Khusus tentang kehadiran api sekala
adalah berfungsi sebagai sarana yang akan mempercepat proses peleburan sthula
sarira (badan kasar) yang berasal dari Panca Mahabutha untuk menyatu kembali ke
Panca Mahabhuta Agung yaitu alam semesta ini. Proses percepatan pengembalian
unsure-unsur Panca Mahabhuta ini tentunya akan mempercepat pula proses
penyucian sang atma untuk bisa sampai di alam Swahloka (Dewa Pitara) sehingga
layak dilinggihkan di sanggah/merajan untuk disembah. Tentunya setelah melalui
upacara “mamukur” yang merupakan kelanjutan dari “Ngaben”.
Jenis-jenis Ngaben yang Lazim pada Masyarakat Hindu
Bali
Dalam masyarakat Hindu Bali, upacara ngaben terdiri dari beberapa jenis yang secara garis besar terbagi menjadi dua jenis ngaben yakni ngaben sederhana dan ngaben sarat (meriah). Untuk jenis-jenis ngaben yang termasuk ke dalam ngaben sederhana antara lain: Mendhem Sawa, Ngaben Mitra Yajna, Pranawa, Pranawa Bhuanakosa, dan Swasta. Sedangkan untuk ngaben yang termasuk ke dalam ngaben sarat tergantung jenis sawa (jenasah) yang diupakarakan yaitu Sawa Prateka dan Sawa Wedhana.
a.
Jenis-jenis yang termasuk dalam Ngaben Sederhana:
1. Mendhem Sawa
Mendhem Sawa secara harfiah berarti menguburkan mayat. Dan seperti yang sudah saya jelaskan di atas, yakni Upacara Ngaben yang tidak dengan membakar mayat atau disebut dengan “bila tanem atau mratiwi”. Di samping itu juga, dalam masyarakat Hindu Bali ada semacam konfensasi untuk menunda pembakaran sang mayat karena tersebab oleh hal-hal yang dapat diterima seperti kurangnya biaya, sedang dalam keadaan darurat dan sebagainya. Atau mungkin juga dengan alasan-alasan filosofis seperti bahwa agar ragha sarira yang berasal dari unsur prthiwi sementara dapat merunduk pada prthiwi dulu. Yang secara ethis dilukiskan agar mereka dapat mencium bunda prthiwi. Namun perlu diingatkan bahwa pada prinsipnya setiap orang mati harus segera di aben. Bagi mereka yang masih memerlukan waktu menunggu sementara maka sawa (jenasah) itu harus di pendhem (dikubur) dulu. Dititipkan pada Dewi penghuluning Setra (Dewi Durga).
2. Ngaben Mitra Yajna
Ngaben Mitra Yajna sebenarnya bukanlah nama yang resmi digunakan, tapi karena jenis ngaben ini oleh Lontar Yama Purwana Tattwa, di mana jenis ngaben ini bersandar, tak disebutkan namanya maka untuk membedakan dengan ngaben-ngaben lainnya maka ngaben ini secara tak resmi disebut dengan Ngaben Mitra Yajna. Mitra Yajna sendiri merupakan asal dari kata Pitra dan Yajna yang artinya kobaran suci. Secara garis besar, Ngaben Mitra Yajna ini dapat dijelaskan sebagai sebuah upacara pembakaran mayat seperti yang ditetapkan menurut ketentuan dalam Yama Purwana Tattwa. Ciri lain yang menonjol dari jenis ngaben ini adalah melakukan upacara ngaben selama tujuh hari dengan waktu pelaksanaan yang sembarang (tidak bersandar pada perhitungan hari baik).
3. Pranawa
Pranawa adalah aksara Om Kara. Adalah nama jenis ngaben yang mempergunakan huruf suci sebagai simbol sawa. Dimana pada mayat yang telah dikubur tiga hari sebelum pengabenan diadakan upacara Ngeplugin atau Ngulapin. Pejati dan pengulapan di Jaba Pura Dalem dengan sarana bebanten untuk pejati. Ketika hari pengabenan jemek dan tulangnya dipersatukan pada pemasmian. Tulangnya dibawah jemeknya diatas. Kemudian berlaku ketentuan seperti amranawa sawa yang baru meninggal. Ngasti sampai ngirim juga sama dengan ketentuan ngaben amranawa sawa baru meninggal, seperti yang telah diuraikan.
4. Pranawa Bhuanakosa
Jenis ngaben ini merupakan ajaran Dewa Brahma kepada Rsi Brghu, yang pada intinya merupakan prosesi upacara pembakaran mayat bagi yang belum lama meninggal. Dalam Pranawa Bhuanakosa ini tidak ada ketentuan bahwa sang mayat sebelumnya telah dikuburkan atau tidak. Selama sang mayat belum terlalu lama meninggal maka jenis ngaben ini dapat dilaksanakan.
5. Swasta
Ngaben Swasta dikhususkan bagi orang yang meninggal dan mayatnya tidak diketahui keberadaannya, tidak ditemukan (baik karena hilang atau karena terlalu lama dikuburkan), atau terlalu jauh (meninggal di tempat yang jauh). Tiga hari sebelum pengabenan diadakan upacara ngulapin, bagi yang meninggal di kejauhan yang tidak diketahui dimana tempatnya, upacara pengulapan, dapat dilakukan diperempatan jalan. Dan bagi yang lama di pendhem yang tidak dapat diketahui bekasnya pengulapan dapat dilakukan di Jaba Pura Dalem.
b.
Jenis-jenis yang termasuk dalam Ngaben Sarat:
Jenis-jenis
Ngaben Sarat terbagi atas dua jenis tergantung dari jenis mayat yang akan
diaben yaitu apakah jenis Sawa Prateka atau Sawa Wedhana.
1. Sawa Prateka
Sawa Prateka adalah dikhususkan bagi mayat yang baru meninggal dan belum pernah diadakan upacara penguburan sama sekali. Prosesinya sendiri secara singkat dapat dikronologiskan sebagai berikut: setelah ruh meninggalkan badan, maka pertama-tama yang dilakukan oleh keluarga mendiang adalah mengadakan upacara bagi sang mendiang seperti memandikan jenazahnya, memercikinya dengan tirta pemanah, memberinya sesaji tertentu sebagai hidangan, dengan lebih dulu atma itu disuruh kembali sementara pada badannya terdahulu.
2. Sawa Wedhana
Sawa
Wedhana adalah jenis ngaben yang dilakukan untuk mayat yang telah mendapatkan
upacara penguburan (ngurug). Adapun sawa yang telah ditanam di Setra namanya
makingsan, dititipkan pada tanah. Atma itu dipegang oleh Bhatari Durga.
Pimpinan setra. Demikian prihalnya sawa yang ditanam. Pada Waktu pengupacarakan
sawa itu namanya sawa Wedhana. Tiga hari menjelang pengabenan ada upakarannya
yang disebut ngulapin. Sawa yang telah pernah dipendhem disebut tawulan.
Tawulan ini tidak ikut diupacarakan lagi tawulan ini diganti dengan pengawak,
yang terbuat dari kayu cendana atau kayu mejegau yang panjangnya satu lengkat
satu hasta. Dan lebarnya empat jari. Cendana ini digambari orang-orangan
sebagai pengganti sawa. Pengawak ini disebut sawa karsian. Upacara ngaben jenis
ini juga disebut Sawa Rsi.
Sumber Artikel : Novita Anggraeni