Berita Hindu Indonesia

Media Informasi Terkini Masyarakat Hindu Indonesia

Iklan Leo Shop

Pasang iklan disini

TWITTER

Powered by Blogger.

Sejarah Awal Mula Suku BaliAga ( Asal Mula Orang Bali Asli )

On 1:58 PM with No comments

Berita Hindu Indonesia - Pulau Bali adalah pulau dengan segala keunikkan kekayaan alam, budaya dan pesonanya telah tersohor ke seluruh dunia. Penduduk yang tinggal di Bali mayoritasnya adalah pemeluk agama Hindu dengan adat istidat leluhur yang sangat kental didalamnya. Tidak jarang  upacara-upacara yang diadakan di Bali menarik minat wisatawan khususnya wisatawan mancanegara yang baru pertama kali melihatnya. Namun pernahkah terbersit siapa yang pertama kali menempati pulau dengan sejuta pesona ini? Mengapa agama Hindu begitu berkembang pesat didalamnya.


Ilustrasi Sejarah BaliAga


Diperkirakan yang menjadi cikal bakal manusia yang menempati pulau Bali adalah bangsa Austronesia dilihat dari peninggalan-peninggalan yang tersebar di Bali berupa alat-alat batu seperti kapak persegi. Bangsa Austronesia berasal dari daerah Tonkin, Cina kemudian mengarungi laut yang sangat luas menggunakan kapal bercadik. Kejadian ini terjadi kira-kira 2000 tahun sebelum Masehi.

Bangsa Austronesia memiliki kreasi seni yang sangat tinggi mutunya. Terbukti dari hiasan-hiasan nekara dan sarkofagus , peti mayat lengkap dengan bekal kuburnya yang masih tersimpan rapi di Bali. Bangsa ini juga memiliki kehidupan yang teratur dan membentuk suatu persekutuan hukum yang dinamakan thana atau dusun yang terdiri dari beberapa thani atau banua. Persekutuan hukum inilah yang diperkirakan menjadi cikal-bakal desa-desa di Bali. Bangsa inilah yang kemudian menurunkan penduduk asli pulau Bali yang disebut Orang Bali Mula atau ada juga yang menyebut Bali Aga.

Ketika itu orang-orang Bali Mula belum beragama. Mereka cuma menyembah leluhur yang mereka sebut Hyang. Dari segi spiritual mereka masih hampa, hal ini berlangsung sampai abad ke empat sesudah masehi. Melihat pulau Bali yang masih terbelakang maka penyiar Agama Hindu berdatangan ke pulau ini. Selain untuk mengajarkan agama mereka juga ingin memajukan Bali dalam segala sektor kehidupan. Maka muncullah seorang Resi ke Bali yang bernama Resi Maharkandya. Resi Maharkandya dalam suatu pustaka dikatakan berasal dari India.

Nama Maharkandya sendiri bukanlah nama perorangan namun nama suatu perguruan yang mempelajari dan mengembangkan ajaran-ajaran gurunya. Resi Maharkandeya menolak semua marabahaya yang menghadang setelah diberikan petunjuk dari Tuhan Yang Maha Esa untuk melakukan upacara penanaman lima logam yang disebut panca datu di daerah yang disebut dengan nama Wasuki yang berkembang menjadi Basuki yang artinya keselamatan. Disinilah awal mula kehidupan harmonis antara masyarakat pendatang yang membawa ajaran agama Hindu berakulturasi dengan orang Bali Mula yang menjadi penduduk asli pulau Bali.
Di daerah Basuki ini akhirnya dibangun sebuah pura yang terbesar di Asia Tenggara yakni Pura Besakih. Setelah kerajaan Majapahit runtuh, pemeluk agama Hindu terdesak oleh datangnya agama Islam yang menduduki pulau Jawa sehingga harus menghindar dan pindah ke pulau Bali. Sehingga makin banyak orang yang tadinya berasal dari Jawa akhirnya bermukim dan mengembangkan agama Hindu sampai begitu pesatnya di Pulau Bali.

Perbedaan yang mencolok antara Bali Mula dengan Bali yang datang dari Majapahit tampak dari upacara kematiannya. Orang Bali Mula melaksanakan upacara kematiannya dengan cara di kubur atau ditanam, yang disebut beya tanem. Sedangkan untuk orang Bali yang pendatang biasanya melakukan upacara kematian dengan cara dibakar. Hal ini dapat dijelaskan karena Bali Mula merupakan keturunan Austronesia dari jaman perundagian. Tradisi ini sudah begitu melekat dan sulit untuk dirubah.


Sekarang tempat dimana kita menemukan komunitas Bali Mula atau Bali Aga adalah di Desa Tenganan yang dapat diakses dengan mudah yakni hanya 5 kilometer dari daerah Candi Dasa Bali. Jika ingin yang lebih ekstrim dan pedalaman bisa mengunjungi Desa Trunyan di pinggir Danau Bratan yang terkenal dengan pohon Banyan yang mengeluarkan harum yang khas sehingga mayat-mayat disana yang notabene tidak dibakar dan dibiarkan begitu saja diletakkan dekat pohon tersebut tidak menimbulkan bau sama sekali.


foto orang Bali Jaman dulu


Sejarah Dan Perkembangan Hindu Bali Dan Bali Aga Di Bali

Perkembangan hindu bali sangat erat kaitannya dengan masuknya kerajaan majapahit ke Bali. Prasasti Blanjong merupakan prasasti setelah kedatangan Rsi Markadeya datang ke Bali, dalam prasasti ini dikemukan bahwa bali dwipa diperintah oleh raja  Khesari Warmadewa yang berstana di Singhadwala. Raja Khesari Warmadewa juga disebut dengan raja Ugrasena. (915-945 M), setelah meninggal dan dimandikan dengan air madatu raja Ugrasena digantikan oleh raja Jayasingha Warmadewa. Raja Jayasingha Warmadewa digantikan oleh Raja Jayasadhu Warmadewa (975 M – 983 M), setelah itu wafat digantikan oleh seorang Ratu yang bernama Sri Maharaja Sriwijaya Mahadewi (983 M – 989 M). Kemudian digantikan oleh Dharmodayana (989 M – 1011 M) yang disebut juga Raja Udayana. Raja Udayana menikah dengan Gunapriayadharmapatni alias mahendradatta dari kerajaan Medang Kemulan jawa timur yang kemudian bergelar Sri Gunaprya Dharmmapatni dan dari perkawinannya menghasilkan 3 orang anak yaitu : Airlangga, Marakata, dan Anak Wungsu.

Pada jaman pemerintahan Sri Gunaprya Dharmmapatni inilah terjadi perubahan besar-besaran terhadap segala aspek kehidupan di Bali baik di dalam sistem dan struktur pemerintahan, tata cara kemasyarakatan, maupun bidang lainnya termasuk bidang keagamaan atau lebih dikenal sekarang dengan Politik, ekonomi, sosial, budaya dan agama). Jaman inilah yang kemudian dikenal dengan jaman perubahan, yang memberikan corak dan warna terhadap kehidupan masyarakat bali, yang menjadikan dari situasi pertentangan menjadi persatuan dan kesatuan. Sangat penting diketahui bahwa terjadinya konflik diakibatkan oleh adanya perbedaan kepercayaan yang dianut oleh penduduk Bali yang mayoritas adalah Bali Aga.

Ketika itu, penduduk Bali mengenal adanya sad paksa (yang oleh peneliti barat disebut dengan enam sekte) yaitu Sambhu, Khala, Brahma, Wisnu, Bhayu dan Iswara, yang dalam penerapannya sering membuat keresahan di masyarakat. Akibat keanekaragaman paksa itu, keamanan dan ketertiban menjadi terganggu. Hal ini menjadi problema social yang terus-menerus yang sulit untuk diatasi oleh raja Sri Gunaprya Dharmmapatni. Untuk itu Raja Sri Gunaprya Dharmmapatni mendatangkan Catur Sanak (empat bersaudara) dari Panca Tirthadari Jawa Timur yang telah terkenal keahliannya di segala bidang aspek kehidupan. Perlu diketahui Panca Tirtha adalah sebutan dari Panca Sanak keturunan Mpu Tanuhun yaitu yang sulung bernama Brahmana Pandhita, kedua Mpu Semeru alias Mpu Mahameru, yang ketiga Mpu Ghana, yang keempat adalah Mpu Kuturan alias Mpu Rajakreta, dan yang bungsu adalah Mpu Baradah alias Mpu Pradah. Mereka itu dikenal dengan  Panca Pandita atau Panca Tirtha, yang juga digelari Panca Dewata.

Catur Sanak yang didatangkan dari Jawa Timur, didatangkan secara bertahap, yang kemudian mendampingi beliau dalam pemerintahan, yaitu : Yang Pertama adalah Mpu Semeru alias Mpu Mahameru yang memeluk ajaran Siwa., tiba di Bali pada jumat Kliwon, Wara Pujut, Hari Purnamaning Sasih Kawolu, Chandra Sangkala Jadma Siratmaya, Tahun Saka 921 (999 M). selanjutnya beliau berparahyangan di Besakih, yang kemudian mendirikan sebuah pura disebut ( Pura Ratu Pasek, sebagai Pedharman Warga Pasek ( Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi) dan Warga Pasek Kayu Selem. Mpu Ghana adalah penganut aliran Ghanapatya, tiba di Bali pada hari Senin Kliwon Wara Kuningan, Pananggal Ping 7, tahun Saka 923 (tahun 1000 M), beliau kemudian berparahyangan di Pura Dasar Buwana Gelgel. Lalu Mpu Kuturan, pemeluk agama Budha aliran Mahayana, yang tiba pada hari Rabu Kliwon, Wara Pahang, Madhuraksa, Tahun Saka 923 (tahun 1001 M), yang kemudian berparahyang di Padang (Pura Silayukti). Dan yang terakhir adalah Mpu Gnijaya, pemeluk Brahmaisme, tiba di Bali pada haro Kamis Umanis, wara Dunggulan, Sasih Kadasa, pananggal 1, tahun saka 971 (tahun 1049 M). beliau berparahyangan di Pura Lempuyang Madya.

Berdasarkan lontar Tatwa Siwa Purana kedatangan Para Mpu dari Catur Sanak ini memberi pengaruh yang sangat besar terhadap tatanan kehidupan keagaman di Bali. Oleh Raja Sri Gunaprya Dharmmapatni, Mpu Kuturan diangkat menjadi Pakiran-kiran Ijro Makabehan yang berfungsi sebagai penasehat raja. Keadaan Kerajaan Bali pada saat itu adalah adanya kekacauan terhadap sad paksa yang ada di bali, untuk itu Mpu Kuturan melalukan penelitian terhadap masyarakat Bali Aga. Atas penelitiannya tersebut Mpu Kuturan mengadakanpasamuhan agung (rapat Besar) yang mengumpulkan tiga kelompok yaitu Mpu kuturan sendiri sebagai penganut aliran Budha Mahayana, tokoh-tokoh atau pimpinan masyarakatBali Aga yang terdiri dari sad paksa yang dijakan satu kelompok, serta tokoh-tokoh agama aliran Siwa. Dalam pasamuhan agung tersebut disepakati 5 hal yaitu :

  1. Faham Tri Murti dijadikan dasar keagamaan, yang mencangkup seluruh aspek kehidupan.
  2. Dibentuk wadah desa pakraman, yang kemudian melahirkan Kahyangan Tiga yaitu Pura Bale Agung atau pura desa, sebagai tempat pemujaan Tuhan dengan manifestasinya Dewa Brahma, Pura Puseh sebagai tempat memuliakan dan memuja sang Hyang Widhi Wasa atau menifestasinya Dewa Wisnu sebagai Pemelihara dan Pura Dalem sebagai tempat memuja Dewa Siwa. Disamping itu juga bangunan pura di sawah untuk krama subak (warga subak)
  3. Sebagai pemujaan leluhur dibuatkan pelinggih Rong Tiga (sanggah kemulan) di masing-masing Rumah.
  4. Tanah untuk Pura Kahyangan Tiga menjadi milik Desa Pakraman yang tisdak boleh diperjualbelikan.
  5. Tentang agama yang dianut oleh masyarakat Bali disebut Agama Siwa-Budha.


Dengan adanya keputusan dalam pasamuhan agung tersebut maka tentramlah masyarakatBali Aga. Masyarakat Bali Aga menerima hasil tersebut dan mengubah cara keagamaan mereka dari aliran waisnawa menjadi Agama Siwa-Budha. Sebenarnya masih banyak Mpu yang berperan tentang perubahan keagamaan di Bali, Seperti Mpu Kamareka, Mpu Kul Putih, Mpu Ketek dan lainnya yang semuanya keturunan Sanak Sapta Rsi, tetapi catur sanak inilah yang paling terkenal di Bali.

Karena Airlangga menikah dengan putri Raja Dharmawangsa (raja jawa timur) dan kemudian menetap di Jawa Timur. Raja Marakata menggantikan Raja Udayana (Sri Gunaprya Dharmmapatni. Marakata diberi gelar Dharmawangsa Wardana Marakatta Pangkajasthana Uttunggadewa yang memerintah di Bali dari 1011 – 1022. Kemudian digantikan oleh anak Wungsu (1049 – 1077) yang memerintah selama 28 tahun dan dikatakan selama pemerintahannya keadaan negara aman tenteram. Anak Wungsu tidak memiliki keturunan dan meninggal tahun 1077 dan di dharmakan di Gunung Kawi dekat Tampak Siring. Setelah Anak Wungsu meninggal, keadaan kerajaan di Bali tetap mengadakan hubungan dengan raja-raja di Jawa dan ada dikisahkan seorang raja Bali yang saat itu bernama Raja Bedahulu yang memiliki seorang patih yang sangat sakti yang bernama Ki Kebo Iwa atau Kebo Taruna.

Pada saat Bali diperintah oleh Raja Bedahulu, Majapahit berusaha untuk menguasai Bali. Tetapi Kryian Mahapatih Gajah Mada benar-benar tahu bahwa kerajaan Bali tidak mungkin bisa ditaklukkan apabila masih ada Ki Kebo Iwa yang menjaga Bali. Atas dasar itu, Mahapatih Gajah Mada mengunakan siasat licik untuk menjebak Ki Kebo Iwa. Mahapatih Gajah Mada mengundang Ki Kebo Iwa untuk datang ke Jawa untuk dinikahkan dengan Putri majapahit kala itu, tetapi setelah datang ternyata Ki Kebo Iwa dibunuh disana oleh Mahapatih Gajah Mada. Setelah kejadian itu, majapahit kemudian menyerang bali dan akhirnya Bali Dwipa dengan Raja Bedahulu dapat dikalahkan dan Bali berada pada kekuasaan Majapahit.

         Setelah masuknya Kerajaan Majapahit ke Bali, Kerajaan Majapahit kemudian berusaha untuk menyesuaikan segala hal aspek kehidupan masyarakat Bali agar dapat diperintah dengan mudah oleh Majapahit. Untuk itu, Majapahit menunjuk Sri Kresna Kepakisan untuk memimpin pemerintahan di Bali dengan pertimbangan bahwa Sri Kresna Kepakisan memiliki hubungan darah dengan penduduk Bali Aga. Penunjukan Sri Kresna Kepakisan oleh Majapahit sebagai Raja Di Bali, tiada lain tujuannya agar mempermudah pemerintahan yang dilakukan oleh Majapahit sendiri. Untuk itulah Sri Kresna Kepakisan, berusaha menerapkan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh majapahit di Bali. Adapun kebijakan yang pernah diambil oleh Sri Kresna Kepakisan adalah mengubah status Pura Babaturan Pangangasih sebagai parahyangan Mpu Ghana menjadi pura kerajaan dan diberi nama Pura Dasar Buwana Gelgel. Namun karena sebagian besar kebijakan Sri Kresna Kepakisan untuk mengalirkan Agama Hindu Majapahit yang dalam prakteknya menyinggung keyakinan masyarakat Bali Aga maka Bali Aga melakukan pemberontakan yang dipimpin oleh Ki Pasek Gelgel dari Tampuryang. Majapahit mengetahui hal ini dan berusaha untuk meredam pemberontakan tersebut agar tidak terjadi kekacauan di Masyarakat Bali. Untuk itu Majapahit mengundang Ki Pasek Gelgel untuk berunding dan akhir disepakati bahwa Bali Aga bebas untuk melakukan keyakinannya.

Ketika Kerajaan Majapahit mengalami kehancuran dan masuknya agama islam ke Nusantara. Maka sebagian besar masyarakat hindu menghindar dan bertahan di pegunungan. Ada juga yang melarikan diri ke Bali. Melihat hal ini, seorang Pinandhita yang dikenal dengan nama Dang hyang Nirarta pergi ke Bali untuk mempertebal keyakinan orang Bali akan Hindu dan tentunya hal ini mengubah cara pandang masyarakat Bali tentang keagamaan. Oleh karena itu, Dang Hyang Niratha juga disebut Pedanda Sakti Wawu Rauhyang berarti pendeta sakti yang baru datang, disamping itu beliau juga disebut Sang Hyang Dwijendra. Salah satu warisan Dang Hyang Nirartha adalah Padmasana sebagai tempat pemujaan Siwa Raditya. Sebagai penghormatan kepada beliau, setiap Pura yang didirikan oleh Dang Hyang Nirartha disebut dengan Pura Dang Kahyangan. Namun perjalanan Dang Hyang Nirartha yang di mulai dari Tanah Lot sampai Uluwatu sebagian besar dilakukan di pesisir sehingga tidak terlalu berpengaruh terhadap keagamaan masyarakat Bali Aga.

Perbedaan Hindu Bali Dengan Hindu Menurut Bali Aga Di Desa Sukawana
Telah diketahui bahwa Hindu Bali mempunyai sejarah dan perkembangan yang sangat panjang. Masyarakat Bali Aga yang terdapat di desa Sukawana adalah masyarakat yang leluhurnya dulu memberontak terhadap hindu yang diterapkan oleh majapahit. Sehingga dalam sektor keagamaan ,masyarakat Bali Aga di Desa Sukawana mempunyai tata cara dan prosesi yang berbeda dengan Hindu yang terdapat di Bali Pada umumnya. Oleh karena itu, masyarakat Bali Aga yang ada di Desa Sukawana sendiri adalah masyarakat yang selalu menjaga tradisi yang diwariskan oleh leluhurnya.
Penerapan dan prilaku keagamaan di Desa Sukawana berbeda dengan hindu Bali pada umumnya. Adapun beberapa perbedaan tersebut antara lain:

  • Jro Kubayan, sebagai pemimpin tertinggi agama hindu Desa Sukawana. Ada 2 (dua) Jro Kubayan yaitu Kubayan Kiwa dan Kubayan Mucuk yang merupakan panutan bagi umat untuk melakukan pujawali atau piodalan. Selain itu juga, Jro Kubayan juga dapat memerintahkan atau melarang segala sesuatu yang dilakukan oleh desa adat. Sehingga dapat juga dikatakan bahwa Jro Kubayan merupakan pemimpin tertinggi adat di Desa Sukawana. Dalam pujawali atau piodalan yang ada pun harus dipimpin oleh Jro Kubayan, tanpa dipimpin oleh Jro Kubayan maka upacara tersebut tidak bisa dilaksanakan. Apabila Jro Kubayan meninggal Dunia maka akan dilakukan Upacara khusus keagamaan. Hal ini sangat berbeda dengan Hindu Bali yang bukan Bali Agalainnya yang tidak mengenal Jro Kubayan, tetapi kalau di Tempat lain pemimpin upacara tentunya memakai Pinanditha atau Ida Pedanda dari keturunan Dayu atau Ida Bagus. Tetapi kalau di Desa Sukawana, Pinanditha dilarang sama sekali untuk memimpin upacara disana.
  • Puja Sana, sebagai mantra pemujaan. Puja sana ini tidak seperti mantra Hindu yang menggunakan bahasa Sanserkertha, tetapi puja sana lebih menggunakan bahasa sehari-hari dengan disertai rasa iman yang tinggi kepada Ida Bhatara.
  • Penjor, sebagai simbolis pemujaan di Desa Sukawana tidak dihias dengan apa-apa. Cukup dengan memajang hasil potongan pertama dari asalnya yang kemudian segera dipasang di Pura. Hal ini sangatlah berbeda penjor di Bali lainnya diman penjortersebut harus dihias dan diisi berbagia macam jenis buah dan hasil pertanian.

Penutup Terakhir

Kehidupan Hindu Bali memiliki sejarah perkembangan yang cukup panjang. Keyakinan orangBali Aga juga dipengaruhi oleh Mpu yang datang ke Bali. Tetapi setelah masuknya Hindu Majapahit ke Bali, orang Bali Aga mempertahankan keyakinannya. Keyakinan ini berkembang di daerah pegunungan sehingga menimbulkan perbedaan antara Hindu Bali Agayang sulit terpengaruh agama Hindu majapahit dan masyakat Bali pesisir yang banyak menyerap ajaran agama hindu dari majapahit. Perbedaan itulah yang menjadikan Bali mempunyai karakter tersendiri.

Jadi hendaknya masyarakat bali sekarang kembali untuk sadar sebagai orang Bali dengan melihat sejarah agar karakter orang Bali yang ramah dan sesuai dengan filosofi ke-hindubali-annya menjadi ajeg dan tidak terkikis oleh jaman. Bali bisa berubah jika masyarakat Bali kehilangan jati diri dan  tradisi. Untuk itu, kini dipentingkan adanya “pemberontakan” kembali dari Bali Aga untuk mengembalikan Bali yang hilang.


Sumber : AsriLina P  
Next
« Prev Post
Previous
Next Post »
Comments
0 Comments