Berita Hindu Indonesia - Ajaran agama Hindu
dibangun dalam tiga kerangka dasar, yaitu tattwa, susila, dan acara agama.
Ketiganya adalah satu kesatuan integral yang tak terpisahkan serta mendasari
tindak keagamaan umat Hindu. Tattwa adalah aspek pengetahuan agama atau
ajaran-ajaran agama yang harus dimengerti dan dipahami oleh masyarakat terhadap
aktivitas keagamaan yang dilaksanakan. Susila adalah aspek pembentukan sikap
keagamaan yang menuju pada sikap dan perilaku yang baik sehingga manusia
memiliki kebajikan dan kebijaksanaan, wiweka jnana.Sementara itu aspek acara
adalah tata cara pelaksanaan ajaran agama yang diwujudkan dalam tradisi upacara
sebagai wujud simbolis komunikasi manusia dengan Tuhannya. Acara agamaadalah
wujud bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widdhi Wasa dan seluruh manifestasi-Nya.
Pada dasarnya acara agama dibagi menjadi dua, yaitu upacara dan upakara.
Upacara berkaitan dengan tata cara ritual, seperti tata cara sembahyang,
hari-hari suci keagamaan (wariga), dan rangkaian upacara (eed). Sebaliknya,
upakara adalah sarana yang dipersembahkan dalam upacara keagamaan.
Ilustrasi |
Dalam fenomena
keberagamaan Hindu di Bali, acara agama tampaknya lebih menonjol dibandingkan
dengan aspek lainnya. Acara agama yang seringkali juga disebut upacara atau
ritual keagamaan merupakan pengejawantahan dan tattwa dan susila agama Hindu.
Acaraagama meliputi keseluruhan dari aspek persembahan dan bhakti kepada Tuhan
Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang disebut yadnya. Pada dasarnya
yadnya dalam agama Hindu dapat dibagi menjadi dua, yakni nitya karma dan
naimittika karma. Nitya yadnya adalahyadnya yang dilaksanakan sehari-hari,
misalnya yadnya sesa atau mesaiban. Sebaliknya,naimittika yadnya adalah yadnya
yang dilaksanakan secara berkala atau pada waktu-waktu tertentu, misalnya pada
saat piodalan, rerahinan, dan hari raya keagamaan Hindu lainnya (Tim, 2005).
Akan tetapi sejauh ini masih banyak pihak yang meragukan bahwa acara agamayang
tampak dominan di Bali, adalah bertentangan dengan isi kitab suci Weda. Oleh
karena itu dalam makalah ini akan diuraikan tentang acara agama Hindu yang
pelaksanannya terformulasikan dalam bentuk Panca Mahayadnya.
Memahami Kerangka Dasar
Agama Hindu
Agama Hindu yang
diwarisi di Bali sekarang merupakan kelanjutan dari mashab Saivasiddhantayang
mulanya berkembang di India Selatan. Akan tetapi perkembangannya lebih lanjut
beradaptasi dengan kebudayaan setempat dan membentuk kebudayaan baru. Kearifan
lokal Indonesia menjadi kekuatan filterisasi yang memiliki kemampuan untuk
menyeleksi pengaruh segala jenis kebudayaan dari India. Hal ini menjadikan
kebudayaan asli daerah tampak eksis mendukung pelaksanaan agama Hindu yang
datang belakangan. Artinya, agama Hindu yang datang dari India berinteraksi
dengan kebudayaan asli daerah sehingga menjadikan agama Hindu di Indonesia
mempunyai warna yang berbeda dengan induknya, India. Seperti dikemukakan oleh
Bosch (Ayatrohaedi, 1986:72) bahwa unsur kebudayaan India sebaiknya dianggap
sebagai zat penyubur yang menumbuhkan kebudayaan Hindu di Indonesia, yang tetap
memperlihatkan kekhasannya. Kearifan lokal (local genius) inilah yang sesungguhnya
menjadikan agama Hindu Indonesia, khususnya di Bali, tampak berbeda dengan
pelaksanaan Agama Hindu di India.
Mashab Saiwasidhanta
mendasarkan filosofinya pada Siwatattwa. Siwatattwa mengajarkan bahwa Tuhan
yang tertinggi adalah Bhatara Siwa. Bhatara Siwa adalah asal dan kembalinya
segala yang ada. Beliau adalah Brahman bagi Upanisad, Mahawisnu bagi Waisnawa,
Khrisna bagiBhagavadgita, dan Ida Sang Hyang Widhi Wasa bagi umat Hindu di
Indonesia. DalamJnanasidhanta dikatakan bahwa Bhatara Siwa yang esa dipuja
dalam yang banyak dan yang banyak dalam yang esa (ekatva anekatva svalaksana
Bhatara). Sejalan dengan ini, Vedamengatakan “ekam sat viprah bahuda vadanti”,
Engkau yang tunggal dipuja dalam banyak nama. Jadi, secara esensial tattwa yang
dianut oleh umat Hindu di Bali tiadalah berbeda dengan konsepsi ketuhanan dalam
Veda. Artinya, Agama Hindu yang selama ini diwarisi di Bali tidak bertentangan
dengan ajaran Veda sebagai sumber tertinggi Agama Hindu.
Ilustrasi |
Tattwa
Tattwa berasal dari
kata tat dan twa. Tat berarti ”itu” dan twa juga berarti ”itu”. Jadi secara
leksikal kata tattwa berarti ”ke-itu-an”. Dalam makna yang lebih mendalam kata
tattwabermakna ”kebenaranlah itu”. Kerapkali tattwa disamakan dengan filsafat
ketuhanan atau teologi. Di satu sisi, tattwa adalah filsafat tentang Tuhan,
tetapi tattwa memiliki dimensi lain yang tidak didapatkan dalam filsafat, yaitu
keyakinan. Filsafat merupakan pergumulan pemikiran yang tidak pernah final,
tetapi tattwa adalah pemikiran filsafat yang akhirnya harus diyakini
kebenarannya. Sebagai contoh, Wisnu disimbolkan dengan warna hitam, berada di
utara, dan membawa senjata cakra. Ini adalah tattwa yang harus diyakini
kebenarannya, sebaliknya filsafat boleh mempertanyakan kebenaran dari
pernyataan tersebut. Oleh sebab itu dalam terminologi Hindu, kata tattwa tidak
dapat didefinisikan sebagai filsafat secara an sich,tetapi lebih tepat
didefinisikan sebagai dasar keyakinan Agama Hindu. Sebagai dasar keyakinan
Hindu, tattwa mencakup lima hal yang disebut Panca Sradha (Widhi tattwa, Atma
tattwa, Karmaphala tattwa, Punarbhawa tattwa, dan Moksa tattwa).
Susila
Sementara itu susila
berasal dari kata ”su” dan ”sila”. Su berarti baik, dan sila berarti dasar,
perilaku atau tindakan. Secara umum susila diartikan sama dengan kata ”etika”.
Definisi ini kurang lebih tepat karena susila bukan hanya berbicara mengenai
ajaran moral atau cara berperilaku yang baik, tetapi juga berbicara mengenai
landasan filosofis yang mendasari suatu perbuatan baik harus dilakukan.
Bandingkan dengan kata ”etika” yang berarti filsafat moral. Sebaliknya, kata
”moral” berarti ajaran tentang tingkah laku yang baik. Perbuatan ”membunuh”
misalnya, secara moral tindakan membunuh dilarang untuk dilakukan, tetapi
”etika” memberikan landasan bahwa tidak semua tindakan membunuh adalah
dilarang. Tindakan membunuh yang dilarang adalah ketika didasari oleh rasa
kebencian dan kemarahan, sebaliknya membunuh bagi seorang tentara dalam sebuah
peperangan dibenarkan secara etika.
Sampai di sini jelas
bahwa antara ”moral” dan ”etika” dibedakan secara konseptual. Moral selalu
menjadi bagian dari etika, tetapi etika belum tentu masalah moral karena etika
berbicara tentang ”perilaku baik” yang harus dilakukan manusia dalam
aspek-aspek kehidupan yang lebih luas. Moral adalah etika-etika khusus yang
berlaku dalam skup tertentu. Etika Hindu, etika Islam, etika Kristen, etika
Bali, etika Jawa, etika bisnis dan seterusnya merupakan ajaran moral yang
dianjurkan oleh masing-masing institusi tertentu, baik institusi agama maupun
institusi sosial. Suatu tindakan yang dianggap bermoral di suatu komunitas,
belum tentu bermoral di komunitas yang lain. Merujuk pada perbedaan definisi di
atas, terminologi kata ”susila” lebih tepat diterjemahkan dalam kata etika
karena memberikan landasan suatu perbuatan. Perintah Sri Khrisna kepada Arjuna
untuk membunuh Guru-gurunya secara moral tidak dapat dibenarkan karena tindakan
membunuh terlarang dilakukan. Akan tetapi secara etika hal itu dibenarkan
karena melenyapkan kejahatan adalah kewajiban dari seorang ksatrya.
Upacara
Sementara itu kata
acara berasal dari bahasa Sankerta yang menurut Sanskrit- English Dictionary
karangan Sir Moonier Williems (Sudharma, 2000:1) bahwa kata ”acara” antara lain
diartikan sebagai berikut.
Tingkah laku atau
perbuatan yang baik;
Adat istiadat;
Tradisi atau kebiasaan
yang merupakan tingkah laku manusia baik perseorangan maupun kelompok
masyarakat yang didasarkan atas kaidah-kaidah hukum yang ajeg.
Dalam bahasa Kawi
mempunyai tiga pengertian sesuai dengan sistem penulisannya (ācāra, acāra, dan
acara). Kata ācāra berarti kelakuan, tindak-tanduk, kelakuan baik, adat,
praktik, dan peraturan yang telah mantap. Kata acāra bermakna pergi bersama
atau teman. Dapat dibandingkan dengan kata cāraka yang bermakna teman atau ia
yang pergi bersama. Dalam bahasa Bali diterjemahkan dengan kata parēkan yang
bermakna ia yang selalu dekat. Sedangkan kata acara berarti tidak berjalan.
Bandingkan dengan kata carācara yang berarti tumbuh-tumbuhan, dengan makna yang
tidak dapat berjalan. Dari ketiga makna tersebut, makna yang digunakan dalam
pengertian Acara Agama Hindu ialah makna yang pertama (ācāra), yang memiliki
pengertian : (1) Kelakuan, tindak-tanduk, atau kelakuan baik dalam pelaksanaan
agama Hindu; (2) adat atau suatu praktik dalam pelaksanaan agama Hindu; dan (3)
peraturan yang telah mantap dalam pelaksanaan Agama Hindu.
Pengertian dari kata
acara juga ditemukan dalam kitab Sarasamuccaya (177), sebagai berikut:
”nihan pajara mami,
phala sang hyang weda inaji, kapujan sang hyang siwagni, rapwan wruhing mantra,
yajnangga widdhiwaidhanadi, dening dana hinanaken, bhuktin danakena, yapwan
dening anakbi, dadyaning alingganadi krida mahaputri-santana, kuneng phala sang
hyang aji kinawruhan, haywaning gila ngaraning swabhawa, ācāra ngaraning prawrtti
kawaran ring aji”
Artinya:
Inilah yang hendak
hamba beritahukan, gunanya kitab suci Weda itu dipelajari, Siwagni patut
dipuja, patut diketahui mantra serta bagian-bagian dari korban kebaktian,
widhi-widhana dan lain-lainnya. Adapun gunanya harta kekayaan disediakan adalah
untuk dinikmati dan disederhanakan, akan gina wanita adalah untuk menjadi istri
dan melanjutkan keturunan baik pria dan wanita, guna sastra suci adalah untuk
diketahui dan diamalkan, ācāra adalah tindakan yang sesuai dengan ajaran agama.
Ilustrasi |
Dari ketiga pengertian
Tri Kerangka Agama Hindu di atas semakin jelas bahwa ketiganya memang tidak
dapat dipisahkan. Tattwa menjadi landasan teologis dari semua bentuk
pelaksanaan ajaran agama Hindu. Susila menjadi landasan etis dari semua
perilaku umat Hindu dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia, dan dengan
alam lingkungannya. Sedangkan ācāra menjadi landasan prilaku keagamaan,
tradisi, dan kebudayaan religius. Ācāramengimplementasikan tattwa dan susila
dalam wujud tata keberagamaan yang lebih riil dalam dimensi kebudayaan. Tanpa
adanya ācāra, agama hanyalah seperangkat ajaran yang tidak akan nampak dalam
dunia fenomenal. Secara sosio-antropologis, ācāra menjadi identitas suatu agama
karena ia melembaga dalam sebuah sistem tindakan. Sebaliknya, tattwa
(ketuhanan) sangat abstrak sifatnya, demikian halnya dengan susila yang tidak
hanya dibentuk oleh agama, melainkan juga oleh tradisi, adat, kebiasaan, tata
nilai dan norma-norma sosial.
Sumber : wayan fais