Berita Hindu Indonesia - Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa di era reformasi ini, kita mengedepankan pada tiga pilar penyangga yakni; demokratisasi, penegakan hukum dan penguatan hak-hak asasi manusia. Ketiga pilar tersebut merupakan paradigma baru yang ingin dikondisikan di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di bumi persada yang kita cintai ini.
Berangkat dari orientasi sejarah, nampaknya hal ini telah lama menjadi sebuah impian bagi bangsa Indonesia. Oleh karenanya tidak mengherankan jika ketika isu reformasi bergulir, dengan sangat mudah merasuk ke dalam segala sendi kehidupan bangsa, termasuk di dalamnya bagi kehidupan umat Hindu. Walaupun jika boleh jujur harus dikatakan bahwa realisasinya masih banyak kendala yang harus dihadapi alias sungguh amat sangat sulit. Apalagi didalam kehidupan Agama Hindu yang memiliki sejarah panjang, lebih mengemuka pada hal-hal yang bersifat primordial, konservatif dan cenderung stagnan, bahkan hampir tabu terhadap adanya perubahan. Contoh, jika kita menguak pada tempo doeloe, sebagai noda hitam yang senantiasa membayangi di dalam kehidupan umat Hindu; apa yang disebut dengan istilah kasta.
Demikian pula pada masa kini sebagaimana yang terjadi adanya kehendak perubahan paradigma di dalam tubuh paruman sulinggih Parisada Hindu yang menuai pro dan kontra. Tanpa purbasangka dan memihak salah satu diantaranya faktanya hal tersebut terdiamkan tiada kunjung terselesaikan.
Kami yakin sudah banyak hal yang telah dilakukan oleh para elite Agama Hindu memberikan pemahaman, seperti dengan pengaburan istilah kasta menjadi warna, karena memang tidak sesuai dengan situasi dan kondisi yang berkembang di tengah masyarakat, utamanya pada era reformasi.
Tuntutan adanya persamaan hak dan kewajiban di setiap umat, kesetaraan jender, pengaburan pengutamaan etnis tertentu dlsb. menjadi sebagai sebuah permasalahan yang mesti harus mendapatkan perhatian yang lebih serius. Namun apa yang terjadi, secara faktual di tengah masyarakat tidak semudah membalikkan kedua telapak tangan. Tidak sedikit temuan hal-hal semacam itu terangkat kepermukaan di tengah kehidupan umat Hindu Indonesia, karena terdorong alasan kepentingan tertentu.
Disisi lain secara sosiologis masih adanya penguatan perasaan in group dikemas dalam berbagai bentuk kelembagaan. Memang secara sadar tidak menutup mata hal itu membuahkan hal-hal yang bersifat konstruktif. Namun disisi lain suka tidak suka senang tidak senang akan membawa dampak negative bersifat eklusivisme yang muaranya ikut memberikan kontribusi kedalam penghambatan laju demokratisasi ditengah kehidupan umat Hindu itu sendiri. Mengapa demikian? Karena secara pasti dapat dikatakan manakala ada kelompok yang berada dalam in group, akan ada kelompok lain yang di out groupkan dan atau jika ada yang ditempatkan pada posisi kelas satu pastilah ada yang berada dikelas dua dan seterusnya.
Pengelompokan seperti ini jika ditimbang untung dan ruginya, akan tidak berimbang; jika hal itu mendapatkan untung hanya bersifat sesaat dan atau secara sektoral semata. Namun dapat dipastikan akan banyak kerugian secara; ideologis, social dan kemasyarakatan. Bahkan akan menodai semangat reformasi yang digembar-gemborkan selama ini. Apalagi jika pengelompokan itu telah melembaga, sungguh sebagai sebuah masalah yang tidak dapat dianggap sepele. Hal inilah semestinya menjadi perhatian didalam era reformasi yang telah digulirkan sejak tahun 1998 yang lalu, manakala kita ingin membangun umat yang utuh, kokoh, mandiri dan dewasa seiring dengan laju konstelasi politik, ekonomsi, social dan budaya yang berkembang dilingkungan kita.
Timbul pertanyaan secara internal bagaimana dengan kita, benarkah kita telah melakukan reformasi dalam tata pikir, ucap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari? Pertanyaan ini tidak perlu dijawab dan tidak perlu dibangun opini pembenaran karena hanya sekedar sebuah renungan bersama secara jujur dan terbuka.
Ada beberapa gelintir elite kita yang sudah merasa jika dirinya benar dan mampu membangun pengaruh dengan kemampuan; derajad, pangkat maupun semat yang dimiliki di lingkungan umat. Hal ini sangat bangus, tetapi seyogyanya jangan hanya didalam “tempurung” semata. Buka mata, buka telinga keluar dari tempurung lihat dan dengar apa yang terjadi di luar sana, ternyata tiada tersadari kita harus mengatakan terjadi percepatan zaman yang sangat cepat dan kita sudah ketinggalan kereta.
Keterbukaan dan berjiwa besar sebenarnya menjadi kata kunci di dalam mengurai masalah psikologi di lingkungan internal keumatan. Dalam arti kesediaan di setiap elemen umat menjaga interaksi dan komunikasi yang diletakkan pada posisi; keselarasan, keseimbangan, kesetaraan dan keharmonisan didalam give and take tanpa dominasi mayoritas dan tirani minoritas yang disemangati tekad setuju dalam perbedaan – bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrowa. Sehingga perhatian dapat dikonsentrasikan pada peningkatan kecerdasan (smart) di dalam menangkap peluang (opportunity signal) yang terbuka akibat terjadinya perubahan itu sendiri.
Untuk hal ini para wiprah sesungguhnya tidak hanya sekedar memberikan petunjuk, tetapi telah mampu menghayati dan mengamalkan nilai-nilai itu sebagai suri tauladan di dalam kehidupan sehari-hari (sila) yang selanjutnya menjadi tradisi yang laras dengan desa, kala, patra (sadhaacara). Seperti pepatah mengatakan; manjing ajur ajer, empan papan dan dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung secara riil ditengah masyarakat pada zamannya. Dengan demikian Hindu akan tetap survival sebagai panutan spiritual yang universal menjangkau di segala ruang, waktu dan keadaan sampai di penghujung mahapralaya nanti.
Pertanyaannya adalah bagaimana membangun pilar reformasi di lingkungan umat Hindu ? Sebagai contohnya adalah umat Hindu Jawa utamanya di Jawa Tengah.
Hampir setengah abad Hindu bersemi kembali di Jawa Tengah yang dirintis oleh beliau Rama RM. Harjanto Projopangarso. Beliau telah menebarkan benih nilai-nilai spiritual itu ditengah hiruk pikuk bergulirnya arus perubahan konstelasi politik ketika itu. Gayung bersambut ditangkap dan dikembangkan yang ditandai dengan munculnya sederetan nama para dharmaduta, pemuka, tokoh, penyuluh, guru, pimpinan Agama Hindu dll secara sukarela dari seluruh pelosok kawasan Saptaarga (Jawa Tengah) ini. Mereka menorehkan tinta emas sebagai tonggak sejarah perkembangan Hindu di Jawa Tengah. Pertanyaannya pernahkah kita peduli kepada mereka? Penghargaan apa yang pernah kita berikan dalam mendukung eksistensi mereka menyiarkan dharma ? Siapkah kita melanjutkan perjuangan tokoh - tokoh umat Hindu yang sangat militan pada masanya ?
Kita yang kini sebagai salah satu pemegang mata rantai generasi senantiasa mesti harus siap menerima estafef kepemimpinan yang memiliki tanggung jawab dan kewajiban untuk melestarikannya di tengah era reformasi ini. Era boleh berubah bahkan senantiasa mesti harus berubah (owah gingsir). Permasalahannya adalah; bagaimana para elite Hindu mampu menyikapi demi lestarinya Agama Hindu yang kita yakini bersama. Sekali lagi di dalam membangun pilar reformasi di lingkungan umat Hindu kata kuncinya adalah: keterbukaan, persatuan / kesatuan dan yang tidak boleh dilupakan adalah kecerdasan membangun strategi dan sinergitas di dalam mensikapi segala permasalahan yang berkembang di lingkungan umat Hindu Indonesia.
Sumbangan Tulisan :
Kasiyanto, S.Ag ( Pimred Majalah Dharma Kawedhar, tinggal di Semarang )