Berita Hindu Indonesia

Berita Hindu Indonesia

Media Informasi Terkini Masyarakat Hindu Indonesia

Iklan Leo Shop

Pasang iklan disini

TWITTER

Powered by Blogger.
Tri Kerangka Dasar Agama Hindu

On 9:52 AM with No comments

Berita Hindu Indonesia - Ajaran agama Hindu dibangun dalam tiga kerangka dasar, yaitu tattwa, susila, dan acara agama. Ketiganya adalah satu kesatuan integral yang tak terpisahkan serta mendasari tindak keagamaan umat Hindu. Tattwa adalah aspek pengetahuan agama atau ajaran-ajaran agama yang harus dimengerti dan dipahami oleh masyarakat terhadap aktivitas keagamaan yang dilaksanakan. Susila adalah aspek pembentukan sikap keagamaan yang menuju pada sikap dan perilaku yang baik sehingga manusia memiliki kebajikan dan kebijaksanaan, wiweka jnana.Sementara itu aspek acara adalah tata cara pelaksanaan ajaran agama yang diwujudkan dalam tradisi upacara sebagai wujud simbolis komunikasi manusia dengan Tuhannya. Acara agamaadalah wujud bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widdhi Wasa dan seluruh manifestasi-Nya. Pada dasarnya acara agama dibagi menjadi dua, yaitu upacara dan upakara. Upacara berkaitan dengan tata cara ritual, seperti tata cara sembahyang, hari-hari suci keagamaan (wariga), dan rangkaian upacara (eed). Sebaliknya, upakara adalah sarana yang dipersembahkan dalam upacara keagamaan.

Ilustrasi
Dalam fenomena keberagamaan Hindu di Bali, acara agama tampaknya lebih menonjol dibandingkan dengan aspek lainnya. Acara agama yang seringkali juga disebut upacara atau ritual keagamaan merupakan pengejawantahan dan tattwa dan susila agama Hindu. Acaraagama meliputi keseluruhan dari aspek persembahan dan bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang disebut yadnya. Pada dasarnya yadnya dalam agama Hindu dapat dibagi menjadi dua, yakni nitya karma dan naimittika karma. Nitya yadnya adalahyadnya yang dilaksanakan sehari-hari, misalnya yadnya sesa atau mesaiban. Sebaliknya,naimittika yadnya adalah yadnya yang dilaksanakan secara berkala atau pada waktu-waktu tertentu, misalnya pada saat piodalan, rerahinan, dan hari raya keagamaan Hindu lainnya (Tim, 2005). Akan tetapi sejauh ini masih banyak pihak yang meragukan bahwa acara agamayang tampak dominan di Bali, adalah bertentangan dengan isi kitab suci Weda. Oleh karena itu dalam makalah ini akan diuraikan tentang acara agama Hindu yang pelaksanannya terformulasikan dalam bentuk Panca Mahayadnya.

Memahami Kerangka Dasar Agama Hindu

Agama Hindu yang diwarisi di Bali sekarang merupakan kelanjutan dari mashab Saivasiddhantayang mulanya berkembang di India Selatan. Akan tetapi perkembangannya lebih lanjut beradaptasi dengan kebudayaan setempat dan membentuk kebudayaan baru. Kearifan lokal Indonesia menjadi kekuatan filterisasi yang memiliki kemampuan untuk menyeleksi pengaruh segala jenis kebudayaan dari India. Hal ini menjadikan kebudayaan asli daerah tampak eksis mendukung pelaksanaan agama Hindu yang datang belakangan. Artinya, agama Hindu yang datang dari India berinteraksi dengan kebudayaan asli daerah sehingga menjadikan agama Hindu di Indonesia mempunyai warna yang berbeda dengan induknya, India. Seperti dikemukakan oleh Bosch (Ayatrohaedi, 1986:72) bahwa unsur kebudayaan India sebaiknya dianggap sebagai zat penyubur yang menumbuhkan kebudayaan Hindu di Indonesia, yang tetap memperlihatkan kekhasannya. Kearifan lokal (local genius) inilah yang sesungguhnya menjadikan agama Hindu Indonesia, khususnya di Bali, tampak berbeda dengan pelaksanaan Agama Hindu di India.

Mashab Saiwasidhanta mendasarkan filosofinya pada Siwatattwa. Siwatattwa mengajarkan bahwa Tuhan yang tertinggi adalah Bhatara Siwa. Bhatara Siwa adalah asal dan kembalinya segala yang ada. Beliau adalah Brahman bagi Upanisad, Mahawisnu bagi Waisnawa, Khrisna bagiBhagavadgita, dan Ida Sang Hyang Widhi Wasa bagi umat Hindu di Indonesia. DalamJnanasidhanta dikatakan bahwa Bhatara Siwa yang esa dipuja dalam yang banyak dan yang banyak dalam yang esa (ekatva anekatva svalaksana Bhatara). Sejalan dengan ini, Vedamengatakan “ekam sat viprah bahuda vadanti”, Engkau yang tunggal dipuja dalam banyak nama. Jadi, secara esensial tattwa yang dianut oleh umat Hindu di Bali tiadalah berbeda dengan konsepsi ketuhanan dalam Veda. Artinya, Agama Hindu yang selama ini diwarisi di Bali tidak bertentangan dengan ajaran Veda sebagai sumber tertinggi Agama Hindu.



Ilustrasi

Tattwa

Tattwa berasal dari kata tat dan twa. Tat berarti ”itu” dan twa juga berarti ”itu”. Jadi secara leksikal kata tattwa berarti ”ke-itu-an”. Dalam makna yang lebih mendalam kata tattwabermakna ”kebenaranlah itu”. Kerapkali tattwa disamakan dengan filsafat ketuhanan atau teologi. Di satu sisi, tattwa adalah filsafat tentang Tuhan, tetapi tattwa memiliki dimensi lain yang tidak didapatkan dalam filsafat, yaitu keyakinan. Filsafat merupakan pergumulan pemikiran yang tidak pernah final, tetapi tattwa adalah pemikiran filsafat yang akhirnya harus diyakini kebenarannya. Sebagai contoh, Wisnu disimbolkan dengan warna hitam, berada di utara, dan membawa senjata cakra. Ini adalah tattwa yang harus diyakini kebenarannya, sebaliknya filsafat boleh mempertanyakan kebenaran dari pernyataan tersebut. Oleh sebab itu dalam terminologi Hindu, kata tattwa tidak dapat didefinisikan sebagai filsafat secara an sich,tetapi lebih tepat didefinisikan sebagai dasar keyakinan Agama Hindu. Sebagai dasar keyakinan Hindu, tattwa mencakup lima hal yang disebut Panca Sradha (Widhi tattwa, Atma tattwa, Karmaphala tattwa, Punarbhawa tattwa, dan Moksa tattwa).

Susila

Sementara itu susila berasal dari kata ”su” dan ”sila”. Su berarti baik, dan sila berarti dasar, perilaku atau tindakan. Secara umum susila diartikan sama dengan kata ”etika”. Definisi ini kurang lebih tepat karena susila bukan hanya berbicara mengenai ajaran moral atau cara berperilaku yang baik, tetapi juga berbicara mengenai landasan filosofis yang mendasari suatu perbuatan baik harus dilakukan. Bandingkan dengan kata ”etika” yang berarti filsafat moral. Sebaliknya, kata ”moral” berarti ajaran tentang tingkah laku yang baik. Perbuatan ”membunuh” misalnya, secara moral tindakan membunuh dilarang untuk dilakukan, tetapi ”etika” memberikan landasan bahwa tidak semua tindakan membunuh adalah dilarang. Tindakan membunuh yang dilarang adalah ketika didasari oleh rasa kebencian dan kemarahan, sebaliknya membunuh bagi seorang tentara dalam sebuah peperangan dibenarkan secara etika.

Sampai di sini jelas bahwa antara ”moral” dan ”etika” dibedakan secara konseptual. Moral selalu menjadi bagian dari etika, tetapi etika belum tentu masalah moral karena etika berbicara tentang ”perilaku baik” yang harus dilakukan manusia dalam aspek-aspek kehidupan yang lebih luas. Moral adalah etika-etika khusus yang berlaku dalam skup tertentu. Etika Hindu, etika Islam, etika Kristen, etika Bali, etika Jawa, etika bisnis dan seterusnya merupakan ajaran moral yang dianjurkan oleh masing-masing institusi tertentu, baik institusi agama maupun institusi sosial. Suatu tindakan yang dianggap bermoral di suatu komunitas, belum tentu bermoral di komunitas yang lain. Merujuk pada perbedaan definisi di atas, terminologi kata ”susila” lebih tepat diterjemahkan dalam kata etika karena memberikan landasan suatu perbuatan. Perintah Sri Khrisna kepada Arjuna untuk membunuh Guru-gurunya secara moral tidak dapat dibenarkan karena tindakan membunuh terlarang dilakukan. Akan tetapi secara etika hal itu dibenarkan karena melenyapkan kejahatan adalah kewajiban dari seorang ksatrya.

Upacara

Sementara itu kata acara berasal dari bahasa Sankerta yang menurut Sanskrit- English Dictionary karangan Sir Moonier Williems (Sudharma, 2000:1) bahwa kata ”acara” antara lain diartikan sebagai berikut.

Tingkah laku atau perbuatan yang baik;
Adat istiadat;
Tradisi atau kebiasaan yang merupakan tingkah laku manusia baik perseorangan maupun kelompok masyarakat yang didasarkan atas kaidah-kaidah hukum yang ajeg.

Dalam bahasa Kawi mempunyai tiga pengertian sesuai dengan sistem penulisannya (ācāra, acāra, dan acara). Kata ācāra berarti kelakuan, tindak-tanduk, kelakuan baik, adat, praktik, dan peraturan yang telah mantap. Kata acāra bermakna pergi bersama atau teman. Dapat dibandingkan dengan kata cāraka yang bermakna teman atau ia yang pergi bersama. Dalam bahasa Bali diterjemahkan dengan kata parēkan yang bermakna ia yang selalu dekat. Sedangkan kata acara berarti tidak berjalan. Bandingkan dengan kata carācara yang berarti tumbuh-tumbuhan, dengan makna yang tidak dapat berjalan. Dari ketiga makna tersebut, makna yang digunakan dalam pengertian Acara Agama Hindu ialah makna yang pertama (ācāra), yang memiliki pengertian : (1) Kelakuan, tindak-tanduk, atau kelakuan baik dalam pelaksanaan agama Hindu; (2) adat atau suatu praktik dalam pelaksanaan agama Hindu; dan (3) peraturan yang telah mantap dalam pelaksanaan Agama Hindu.

Pengertian dari kata acara juga ditemukan dalam kitab Sarasamuccaya (177), sebagai berikut:

”nihan pajara mami, phala sang hyang weda inaji, kapujan sang hyang siwagni, rapwan wruhing mantra, yajnangga widdhiwaidhanadi, dening dana hinanaken, bhuktin danakena, yapwan dening anakbi, dadyaning alingganadi krida mahaputri-santana, kuneng phala sang hyang aji kinawruhan, haywaning gila ngaraning swabhawa, ācāra ngaraning prawrtti kawaran ring aji”

Artinya:

Inilah yang hendak hamba beritahukan, gunanya kitab suci Weda itu dipelajari, Siwagni patut dipuja, patut diketahui mantra serta bagian-bagian dari korban kebaktian, widhi-widhana dan lain-lainnya. Adapun gunanya harta kekayaan disediakan adalah untuk dinikmati dan disederhanakan, akan gina wanita adalah untuk menjadi istri dan melanjutkan keturunan baik pria dan wanita, guna sastra suci adalah untuk diketahui dan diamalkan, ācāra adalah tindakan yang sesuai dengan ajaran agama.
Ilustrasi

Dari ketiga pengertian Tri Kerangka Agama Hindu di atas semakin jelas bahwa ketiganya memang tidak dapat dipisahkan. Tattwa menjadi landasan teologis dari semua bentuk pelaksanaan ajaran agama Hindu. Susila menjadi landasan etis dari semua perilaku umat Hindu dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia, dan dengan alam lingkungannya. Sedangkan ācāra menjadi landasan prilaku keagamaan, tradisi, dan kebudayaan religius. Ācāramengimplementasikan tattwa dan susila dalam wujud tata keberagamaan yang lebih riil dalam dimensi kebudayaan. Tanpa adanya ācāra, agama hanyalah seperangkat ajaran yang tidak akan nampak dalam dunia fenomenal. Secara sosio-antropologis, ācāra menjadi identitas suatu agama karena ia melembaga dalam sebuah sistem tindakan. Sebaliknya, tattwa (ketuhanan) sangat abstrak sifatnya, demikian halnya dengan susila yang tidak hanya dibentuk oleh agama, melainkan juga oleh tradisi, adat, kebiasaan, tata nilai dan norma-norma sosial.


Sumber : wayan fais
Sejarah Awal Mula Suku BaliAga ( Asal Mula Orang Bali Asli )

On 1:58 PM with No comments

Berita Hindu Indonesia - Pulau Bali adalah pulau dengan segala keunikkan kekayaan alam, budaya dan pesonanya telah tersohor ke seluruh dunia. Penduduk yang tinggal di Bali mayoritasnya adalah pemeluk agama Hindu dengan adat istidat leluhur yang sangat kental didalamnya. Tidak jarang  upacara-upacara yang diadakan di Bali menarik minat wisatawan khususnya wisatawan mancanegara yang baru pertama kali melihatnya. Namun pernahkah terbersit siapa yang pertama kali menempati pulau dengan sejuta pesona ini? Mengapa agama Hindu begitu berkembang pesat didalamnya.


Ilustrasi Sejarah BaliAga


Diperkirakan yang menjadi cikal bakal manusia yang menempati pulau Bali adalah bangsa Austronesia dilihat dari peninggalan-peninggalan yang tersebar di Bali berupa alat-alat batu seperti kapak persegi. Bangsa Austronesia berasal dari daerah Tonkin, Cina kemudian mengarungi laut yang sangat luas menggunakan kapal bercadik. Kejadian ini terjadi kira-kira 2000 tahun sebelum Masehi.

Bangsa Austronesia memiliki kreasi seni yang sangat tinggi mutunya. Terbukti dari hiasan-hiasan nekara dan sarkofagus , peti mayat lengkap dengan bekal kuburnya yang masih tersimpan rapi di Bali. Bangsa ini juga memiliki kehidupan yang teratur dan membentuk suatu persekutuan hukum yang dinamakan thana atau dusun yang terdiri dari beberapa thani atau banua. Persekutuan hukum inilah yang diperkirakan menjadi cikal-bakal desa-desa di Bali. Bangsa inilah yang kemudian menurunkan penduduk asli pulau Bali yang disebut Orang Bali Mula atau ada juga yang menyebut Bali Aga.

Ketika itu orang-orang Bali Mula belum beragama. Mereka cuma menyembah leluhur yang mereka sebut Hyang. Dari segi spiritual mereka masih hampa, hal ini berlangsung sampai abad ke empat sesudah masehi. Melihat pulau Bali yang masih terbelakang maka penyiar Agama Hindu berdatangan ke pulau ini. Selain untuk mengajarkan agama mereka juga ingin memajukan Bali dalam segala sektor kehidupan. Maka muncullah seorang Resi ke Bali yang bernama Resi Maharkandya. Resi Maharkandya dalam suatu pustaka dikatakan berasal dari India.

Nama Maharkandya sendiri bukanlah nama perorangan namun nama suatu perguruan yang mempelajari dan mengembangkan ajaran-ajaran gurunya. Resi Maharkandeya menolak semua marabahaya yang menghadang setelah diberikan petunjuk dari Tuhan Yang Maha Esa untuk melakukan upacara penanaman lima logam yang disebut panca datu di daerah yang disebut dengan nama Wasuki yang berkembang menjadi Basuki yang artinya keselamatan. Disinilah awal mula kehidupan harmonis antara masyarakat pendatang yang membawa ajaran agama Hindu berakulturasi dengan orang Bali Mula yang menjadi penduduk asli pulau Bali.
Di daerah Basuki ini akhirnya dibangun sebuah pura yang terbesar di Asia Tenggara yakni Pura Besakih. Setelah kerajaan Majapahit runtuh, pemeluk agama Hindu terdesak oleh datangnya agama Islam yang menduduki pulau Jawa sehingga harus menghindar dan pindah ke pulau Bali. Sehingga makin banyak orang yang tadinya berasal dari Jawa akhirnya bermukim dan mengembangkan agama Hindu sampai begitu pesatnya di Pulau Bali.

Perbedaan yang mencolok antara Bali Mula dengan Bali yang datang dari Majapahit tampak dari upacara kematiannya. Orang Bali Mula melaksanakan upacara kematiannya dengan cara di kubur atau ditanam, yang disebut beya tanem. Sedangkan untuk orang Bali yang pendatang biasanya melakukan upacara kematian dengan cara dibakar. Hal ini dapat dijelaskan karena Bali Mula merupakan keturunan Austronesia dari jaman perundagian. Tradisi ini sudah begitu melekat dan sulit untuk dirubah.


Sekarang tempat dimana kita menemukan komunitas Bali Mula atau Bali Aga adalah di Desa Tenganan yang dapat diakses dengan mudah yakni hanya 5 kilometer dari daerah Candi Dasa Bali. Jika ingin yang lebih ekstrim dan pedalaman bisa mengunjungi Desa Trunyan di pinggir Danau Bratan yang terkenal dengan pohon Banyan yang mengeluarkan harum yang khas sehingga mayat-mayat disana yang notabene tidak dibakar dan dibiarkan begitu saja diletakkan dekat pohon tersebut tidak menimbulkan bau sama sekali.


foto orang Bali Jaman dulu


Sejarah Dan Perkembangan Hindu Bali Dan Bali Aga Di Bali

Perkembangan hindu bali sangat erat kaitannya dengan masuknya kerajaan majapahit ke Bali. Prasasti Blanjong merupakan prasasti setelah kedatangan Rsi Markadeya datang ke Bali, dalam prasasti ini dikemukan bahwa bali dwipa diperintah oleh raja  Khesari Warmadewa yang berstana di Singhadwala. Raja Khesari Warmadewa juga disebut dengan raja Ugrasena. (915-945 M), setelah meninggal dan dimandikan dengan air madatu raja Ugrasena digantikan oleh raja Jayasingha Warmadewa. Raja Jayasingha Warmadewa digantikan oleh Raja Jayasadhu Warmadewa (975 M – 983 M), setelah itu wafat digantikan oleh seorang Ratu yang bernama Sri Maharaja Sriwijaya Mahadewi (983 M – 989 M). Kemudian digantikan oleh Dharmodayana (989 M – 1011 M) yang disebut juga Raja Udayana. Raja Udayana menikah dengan Gunapriayadharmapatni alias mahendradatta dari kerajaan Medang Kemulan jawa timur yang kemudian bergelar Sri Gunaprya Dharmmapatni dan dari perkawinannya menghasilkan 3 orang anak yaitu : Airlangga, Marakata, dan Anak Wungsu.

Pada jaman pemerintahan Sri Gunaprya Dharmmapatni inilah terjadi perubahan besar-besaran terhadap segala aspek kehidupan di Bali baik di dalam sistem dan struktur pemerintahan, tata cara kemasyarakatan, maupun bidang lainnya termasuk bidang keagamaan atau lebih dikenal sekarang dengan Politik, ekonomi, sosial, budaya dan agama). Jaman inilah yang kemudian dikenal dengan jaman perubahan, yang memberikan corak dan warna terhadap kehidupan masyarakat bali, yang menjadikan dari situasi pertentangan menjadi persatuan dan kesatuan. Sangat penting diketahui bahwa terjadinya konflik diakibatkan oleh adanya perbedaan kepercayaan yang dianut oleh penduduk Bali yang mayoritas adalah Bali Aga.

Ketika itu, penduduk Bali mengenal adanya sad paksa (yang oleh peneliti barat disebut dengan enam sekte) yaitu Sambhu, Khala, Brahma, Wisnu, Bhayu dan Iswara, yang dalam penerapannya sering membuat keresahan di masyarakat. Akibat keanekaragaman paksa itu, keamanan dan ketertiban menjadi terganggu. Hal ini menjadi problema social yang terus-menerus yang sulit untuk diatasi oleh raja Sri Gunaprya Dharmmapatni. Untuk itu Raja Sri Gunaprya Dharmmapatni mendatangkan Catur Sanak (empat bersaudara) dari Panca Tirthadari Jawa Timur yang telah terkenal keahliannya di segala bidang aspek kehidupan. Perlu diketahui Panca Tirtha adalah sebutan dari Panca Sanak keturunan Mpu Tanuhun yaitu yang sulung bernama Brahmana Pandhita, kedua Mpu Semeru alias Mpu Mahameru, yang ketiga Mpu Ghana, yang keempat adalah Mpu Kuturan alias Mpu Rajakreta, dan yang bungsu adalah Mpu Baradah alias Mpu Pradah. Mereka itu dikenal dengan  Panca Pandita atau Panca Tirtha, yang juga digelari Panca Dewata.

Catur Sanak yang didatangkan dari Jawa Timur, didatangkan secara bertahap, yang kemudian mendampingi beliau dalam pemerintahan, yaitu : Yang Pertama adalah Mpu Semeru alias Mpu Mahameru yang memeluk ajaran Siwa., tiba di Bali pada jumat Kliwon, Wara Pujut, Hari Purnamaning Sasih Kawolu, Chandra Sangkala Jadma Siratmaya, Tahun Saka 921 (999 M). selanjutnya beliau berparahyangan di Besakih, yang kemudian mendirikan sebuah pura disebut ( Pura Ratu Pasek, sebagai Pedharman Warga Pasek ( Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi) dan Warga Pasek Kayu Selem. Mpu Ghana adalah penganut aliran Ghanapatya, tiba di Bali pada hari Senin Kliwon Wara Kuningan, Pananggal Ping 7, tahun Saka 923 (tahun 1000 M), beliau kemudian berparahyangan di Pura Dasar Buwana Gelgel. Lalu Mpu Kuturan, pemeluk agama Budha aliran Mahayana, yang tiba pada hari Rabu Kliwon, Wara Pahang, Madhuraksa, Tahun Saka 923 (tahun 1001 M), yang kemudian berparahyang di Padang (Pura Silayukti). Dan yang terakhir adalah Mpu Gnijaya, pemeluk Brahmaisme, tiba di Bali pada haro Kamis Umanis, wara Dunggulan, Sasih Kadasa, pananggal 1, tahun saka 971 (tahun 1049 M). beliau berparahyangan di Pura Lempuyang Madya.

Berdasarkan lontar Tatwa Siwa Purana kedatangan Para Mpu dari Catur Sanak ini memberi pengaruh yang sangat besar terhadap tatanan kehidupan keagaman di Bali. Oleh Raja Sri Gunaprya Dharmmapatni, Mpu Kuturan diangkat menjadi Pakiran-kiran Ijro Makabehan yang berfungsi sebagai penasehat raja. Keadaan Kerajaan Bali pada saat itu adalah adanya kekacauan terhadap sad paksa yang ada di bali, untuk itu Mpu Kuturan melalukan penelitian terhadap masyarakat Bali Aga. Atas penelitiannya tersebut Mpu Kuturan mengadakanpasamuhan agung (rapat Besar) yang mengumpulkan tiga kelompok yaitu Mpu kuturan sendiri sebagai penganut aliran Budha Mahayana, tokoh-tokoh atau pimpinan masyarakatBali Aga yang terdiri dari sad paksa yang dijakan satu kelompok, serta tokoh-tokoh agama aliran Siwa. Dalam pasamuhan agung tersebut disepakati 5 hal yaitu :

  1. Faham Tri Murti dijadikan dasar keagamaan, yang mencangkup seluruh aspek kehidupan.
  2. Dibentuk wadah desa pakraman, yang kemudian melahirkan Kahyangan Tiga yaitu Pura Bale Agung atau pura desa, sebagai tempat pemujaan Tuhan dengan manifestasinya Dewa Brahma, Pura Puseh sebagai tempat memuliakan dan memuja sang Hyang Widhi Wasa atau menifestasinya Dewa Wisnu sebagai Pemelihara dan Pura Dalem sebagai tempat memuja Dewa Siwa. Disamping itu juga bangunan pura di sawah untuk krama subak (warga subak)
  3. Sebagai pemujaan leluhur dibuatkan pelinggih Rong Tiga (sanggah kemulan) di masing-masing Rumah.
  4. Tanah untuk Pura Kahyangan Tiga menjadi milik Desa Pakraman yang tisdak boleh diperjualbelikan.
  5. Tentang agama yang dianut oleh masyarakat Bali disebut Agama Siwa-Budha.


Dengan adanya keputusan dalam pasamuhan agung tersebut maka tentramlah masyarakatBali Aga. Masyarakat Bali Aga menerima hasil tersebut dan mengubah cara keagamaan mereka dari aliran waisnawa menjadi Agama Siwa-Budha. Sebenarnya masih banyak Mpu yang berperan tentang perubahan keagamaan di Bali, Seperti Mpu Kamareka, Mpu Kul Putih, Mpu Ketek dan lainnya yang semuanya keturunan Sanak Sapta Rsi, tetapi catur sanak inilah yang paling terkenal di Bali.

Karena Airlangga menikah dengan putri Raja Dharmawangsa (raja jawa timur) dan kemudian menetap di Jawa Timur. Raja Marakata menggantikan Raja Udayana (Sri Gunaprya Dharmmapatni. Marakata diberi gelar Dharmawangsa Wardana Marakatta Pangkajasthana Uttunggadewa yang memerintah di Bali dari 1011 – 1022. Kemudian digantikan oleh anak Wungsu (1049 – 1077) yang memerintah selama 28 tahun dan dikatakan selama pemerintahannya keadaan negara aman tenteram. Anak Wungsu tidak memiliki keturunan dan meninggal tahun 1077 dan di dharmakan di Gunung Kawi dekat Tampak Siring. Setelah Anak Wungsu meninggal, keadaan kerajaan di Bali tetap mengadakan hubungan dengan raja-raja di Jawa dan ada dikisahkan seorang raja Bali yang saat itu bernama Raja Bedahulu yang memiliki seorang patih yang sangat sakti yang bernama Ki Kebo Iwa atau Kebo Taruna.

Pada saat Bali diperintah oleh Raja Bedahulu, Majapahit berusaha untuk menguasai Bali. Tetapi Kryian Mahapatih Gajah Mada benar-benar tahu bahwa kerajaan Bali tidak mungkin bisa ditaklukkan apabila masih ada Ki Kebo Iwa yang menjaga Bali. Atas dasar itu, Mahapatih Gajah Mada mengunakan siasat licik untuk menjebak Ki Kebo Iwa. Mahapatih Gajah Mada mengundang Ki Kebo Iwa untuk datang ke Jawa untuk dinikahkan dengan Putri majapahit kala itu, tetapi setelah datang ternyata Ki Kebo Iwa dibunuh disana oleh Mahapatih Gajah Mada. Setelah kejadian itu, majapahit kemudian menyerang bali dan akhirnya Bali Dwipa dengan Raja Bedahulu dapat dikalahkan dan Bali berada pada kekuasaan Majapahit.

         Setelah masuknya Kerajaan Majapahit ke Bali, Kerajaan Majapahit kemudian berusaha untuk menyesuaikan segala hal aspek kehidupan masyarakat Bali agar dapat diperintah dengan mudah oleh Majapahit. Untuk itu, Majapahit menunjuk Sri Kresna Kepakisan untuk memimpin pemerintahan di Bali dengan pertimbangan bahwa Sri Kresna Kepakisan memiliki hubungan darah dengan penduduk Bali Aga. Penunjukan Sri Kresna Kepakisan oleh Majapahit sebagai Raja Di Bali, tiada lain tujuannya agar mempermudah pemerintahan yang dilakukan oleh Majapahit sendiri. Untuk itulah Sri Kresna Kepakisan, berusaha menerapkan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh majapahit di Bali. Adapun kebijakan yang pernah diambil oleh Sri Kresna Kepakisan adalah mengubah status Pura Babaturan Pangangasih sebagai parahyangan Mpu Ghana menjadi pura kerajaan dan diberi nama Pura Dasar Buwana Gelgel. Namun karena sebagian besar kebijakan Sri Kresna Kepakisan untuk mengalirkan Agama Hindu Majapahit yang dalam prakteknya menyinggung keyakinan masyarakat Bali Aga maka Bali Aga melakukan pemberontakan yang dipimpin oleh Ki Pasek Gelgel dari Tampuryang. Majapahit mengetahui hal ini dan berusaha untuk meredam pemberontakan tersebut agar tidak terjadi kekacauan di Masyarakat Bali. Untuk itu Majapahit mengundang Ki Pasek Gelgel untuk berunding dan akhir disepakati bahwa Bali Aga bebas untuk melakukan keyakinannya.

Ketika Kerajaan Majapahit mengalami kehancuran dan masuknya agama islam ke Nusantara. Maka sebagian besar masyarakat hindu menghindar dan bertahan di pegunungan. Ada juga yang melarikan diri ke Bali. Melihat hal ini, seorang Pinandhita yang dikenal dengan nama Dang hyang Nirarta pergi ke Bali untuk mempertebal keyakinan orang Bali akan Hindu dan tentunya hal ini mengubah cara pandang masyarakat Bali tentang keagamaan. Oleh karena itu, Dang Hyang Niratha juga disebut Pedanda Sakti Wawu Rauhyang berarti pendeta sakti yang baru datang, disamping itu beliau juga disebut Sang Hyang Dwijendra. Salah satu warisan Dang Hyang Nirartha adalah Padmasana sebagai tempat pemujaan Siwa Raditya. Sebagai penghormatan kepada beliau, setiap Pura yang didirikan oleh Dang Hyang Nirartha disebut dengan Pura Dang Kahyangan. Namun perjalanan Dang Hyang Nirartha yang di mulai dari Tanah Lot sampai Uluwatu sebagian besar dilakukan di pesisir sehingga tidak terlalu berpengaruh terhadap keagamaan masyarakat Bali Aga.

Perbedaan Hindu Bali Dengan Hindu Menurut Bali Aga Di Desa Sukawana
Telah diketahui bahwa Hindu Bali mempunyai sejarah dan perkembangan yang sangat panjang. Masyarakat Bali Aga yang terdapat di desa Sukawana adalah masyarakat yang leluhurnya dulu memberontak terhadap hindu yang diterapkan oleh majapahit. Sehingga dalam sektor keagamaan ,masyarakat Bali Aga di Desa Sukawana mempunyai tata cara dan prosesi yang berbeda dengan Hindu yang terdapat di Bali Pada umumnya. Oleh karena itu, masyarakat Bali Aga yang ada di Desa Sukawana sendiri adalah masyarakat yang selalu menjaga tradisi yang diwariskan oleh leluhurnya.
Penerapan dan prilaku keagamaan di Desa Sukawana berbeda dengan hindu Bali pada umumnya. Adapun beberapa perbedaan tersebut antara lain:

  • Jro Kubayan, sebagai pemimpin tertinggi agama hindu Desa Sukawana. Ada 2 (dua) Jro Kubayan yaitu Kubayan Kiwa dan Kubayan Mucuk yang merupakan panutan bagi umat untuk melakukan pujawali atau piodalan. Selain itu juga, Jro Kubayan juga dapat memerintahkan atau melarang segala sesuatu yang dilakukan oleh desa adat. Sehingga dapat juga dikatakan bahwa Jro Kubayan merupakan pemimpin tertinggi adat di Desa Sukawana. Dalam pujawali atau piodalan yang ada pun harus dipimpin oleh Jro Kubayan, tanpa dipimpin oleh Jro Kubayan maka upacara tersebut tidak bisa dilaksanakan. Apabila Jro Kubayan meninggal Dunia maka akan dilakukan Upacara khusus keagamaan. Hal ini sangat berbeda dengan Hindu Bali yang bukan Bali Agalainnya yang tidak mengenal Jro Kubayan, tetapi kalau di Tempat lain pemimpin upacara tentunya memakai Pinanditha atau Ida Pedanda dari keturunan Dayu atau Ida Bagus. Tetapi kalau di Desa Sukawana, Pinanditha dilarang sama sekali untuk memimpin upacara disana.
  • Puja Sana, sebagai mantra pemujaan. Puja sana ini tidak seperti mantra Hindu yang menggunakan bahasa Sanserkertha, tetapi puja sana lebih menggunakan bahasa sehari-hari dengan disertai rasa iman yang tinggi kepada Ida Bhatara.
  • Penjor, sebagai simbolis pemujaan di Desa Sukawana tidak dihias dengan apa-apa. Cukup dengan memajang hasil potongan pertama dari asalnya yang kemudian segera dipasang di Pura. Hal ini sangatlah berbeda penjor di Bali lainnya diman penjortersebut harus dihias dan diisi berbagia macam jenis buah dan hasil pertanian.

Penutup Terakhir

Kehidupan Hindu Bali memiliki sejarah perkembangan yang cukup panjang. Keyakinan orangBali Aga juga dipengaruhi oleh Mpu yang datang ke Bali. Tetapi setelah masuknya Hindu Majapahit ke Bali, orang Bali Aga mempertahankan keyakinannya. Keyakinan ini berkembang di daerah pegunungan sehingga menimbulkan perbedaan antara Hindu Bali Agayang sulit terpengaruh agama Hindu majapahit dan masyakat Bali pesisir yang banyak menyerap ajaran agama hindu dari majapahit. Perbedaan itulah yang menjadikan Bali mempunyai karakter tersendiri.

Jadi hendaknya masyarakat bali sekarang kembali untuk sadar sebagai orang Bali dengan melihat sejarah agar karakter orang Bali yang ramah dan sesuai dengan filosofi ke-hindubali-annya menjadi ajeg dan tidak terkikis oleh jaman. Bali bisa berubah jika masyarakat Bali kehilangan jati diri dan  tradisi. Untuk itu, kini dipentingkan adanya “pemberontakan” kembali dari Bali Aga untuk mengembalikan Bali yang hilang.


Sumber : AsriLina P  
Arti Canang dan Bagian-Bagian Canang

On 10:51 AM with No comments

Berita Hindu Indonesia - Kata "Canang" berasal dari Bahasa Kawi, terdiri atas dua suku kata yaitu: "Ca" yang berarti Indah, dan "Nang" berarti Tujuan, dengan demikian Canang dapat diartikan sebuah sarana yang bertujuan untuk memohon keindahan (sundharam) ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.


Canang
Bagian-bagian dari Canang adalah sebagai berikut:
  1. Ceper Merupakan alas dari sebuah Canang yang memiliki bentuk segi empat dan melambangkan angga-sarira (badan). Keempat sisi ceper melambangkan pembentuk angga-sarira, yaitu Panca Maha Bhuta, Panca Tan Mantra, Panca Buddhindriya, dan Panca Karmendriya. Canang yang dialasi ceper merupakan simbol Ardha Candra, sedangkan yang dialasi oleh tamas kecil merupakan simbol dari Windhu.
  2. Beras atau Wija Melambangkan Sang Hyang Ātma atau yang membuat badan mejadi hidup, melambangkan benih di awal kehidupan yang bersumber dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam wujud Ātma.
  3. Porosan atau Peporosan Terbuat dari daun sirih, kapur, dan jambe (gambir) yang melambangkan Tri-Premana, yaitu Bayu (pikiran), Sabda (perkataan), dan Idep (perbuatan). Ketiganya membuat tubuh yang bernyawa dapat melakukan aktivitas. Porosan juga melambangkan Trimurti, yaitu Siwa (kapur), Wisnu (sirih), dan Brahma (gambir). Porosan mempunyai makna bahwa setiap umat harus mempunyai hati (poros) penuh cinta dan welas asih serta rasa syukur yang mendalam kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
  4. Jajan, Tebu, dan Pisang Menjadi simbol dari Tedong Ongkara yang melambangkan kekuatan Upetti, Stiti, dan Pralinan dalam kehidupan di alam semesta.
  5. Sampian Uras atau Duras Dibuat dari rangkaian janur yang ditata berbentuk bundar yang biasanya terdiri dari delapan ruas atau helai yang melambangkan roda kehidupan dengan Asta Iswarya-nya (delapan karakteristik) yang menyertai setiap kehidupan umat manusia.
  6. Bunga Diletakkan di atas sampian urasari melambangkan kedamaian dan ketulusan hati. Penyusunan bunga diurutkan sebagai berikut:
Baca : Memahami Rwa Bhineda
  • Bunga berwarna Putih disusun di Timur sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Iswara
    Bunga berwarna Merah disusun di Selatan sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Brahma.
    Bunga berwarna Kuning disusun di Barat sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Mahadewa.
    Bunga berwarna Biru atau Hijau (Susah mendapatkan bunga berwarna hitam) disusun di Utara     sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Wisnu
    Minyak wangi atau Miyik-Miyikan Menjadi lambang ketenangan jiwa atau pengendalian diri. \
Baca :SUDHA WAKYA "OM SWASTYASTU"
  • Kembang Rampai Kembang rampai diletakkan di atas susunan bunga dan memiliki makna sebagai l ambang kebijaksanaan. Bermacam-macam bunga ada yang harum dan ada yang tidak berbau, melambangkan kehidupan manusia tidak selamanya senang atau susah. Untuk itulah, dalam menata kehidupan, manusia hendaknya memiliki kebijaksanaan
  • Dalam menata kehidupan, manusia hendaknya menjalankannya dengan ketenangan jiwa dan        pengendalian diri yang baik.
  • Lepa atau Boreh Miyik Merupakan lambang sebagai sikap dan perilaku yang baik. Perilaku         menentukan penilaian masyarakat terhadap baik atau buruknya seseorang
  • Kembang Rampai disusun ditengah sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Panca Dewata.
SUDHA WAKYA "OM SWASTYASTU"

On 10:37 AM with No comments

Berita Hindu Indonesia - Agama Hindu Nusantara memiliki Sudha Wakya atau ucapan suci yaitu "Om Swastyastu", umat Hindu Nusantara sudah biasa dalam mengucapkan Sudha Wakya tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Apa arti dan makna dari Sudha Wakya "Om Swastyastu"

"Om" merupakan aksara suci Hindu yang melambangkan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. "Swastyastu" berasal dari kata "Su", "Asti", dan "Astu", dimana "Su" artinya baik, "Asti" artinya ada hal baik atau bisa juga keselamatan, dan "Astu" artinya semoga. Jadi "Om Swastyastu dapat diartikan "Semoga Selamat Atas Waranugraga Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Om Svastiyastu
Dengan demikian pengucapan Sudha Wakya "Om Swastyastu" ini harus diucapkan dengan hati yang tulus, dan orang yang menerima ucapan "Om Swastyastu" tersebut semestinya juga membalas dengan mengucapkan "Om Swastyastu" dari hati yang tulus.

Baca : Sembahyang di Tanah Lot Bayar Karcis Tanda Masuk ?

Dengan cara demikian akan semakin terwujud keakraban sosial yang disebut Satsangga yang artinya pergaulan yang harmonis berdasarkan Satya yaitu kebenaran Veda itu sendiri. Umat Hindu sebaiknya menjauhi Dursangga yaitu keakraban sosial yang jauh dan bertentangan dengan Veda.

Sudha Wakya umat Hindu Nusantara berbeda dengan Sudha Wakya umat Hindu di india. Di India Suda Wakya yang dipakai adalah "Om Namaskara" yang artinya hormat pada sesama atas waranugraha Ida Sang Hyang Widhi. Dengan demikian Sudha Wakya umat Hindu Nusantara memiliki makna yang searah dengan Sudha Wakya umat Hindu di India.

Nilai universal Veda harus diterapkan dengan kemasan budaya lokal sehingga Veda selalu menghormati kearifan lokal yang adi luhung, sejalan dengan intisari ajaran Veda. Jadi umat Hindu di Bali tidak usah ke-India-India-an, dan umat Hindu di India tidak usah ke-Bali-Bali-an.
Filosofi Hari Raya Sugihan Bali

On 2:44 PM with No comments

Berita Hindu Indonesia - Sugihan Bali adalah penyucian buana alit atau diri sendiri (mikrokosmos) sehingga bersih dari perbuatan-perbuatan yang ternoda atau pembersihan lahir dan batin. Pembersihan dapat dilakukan dengan penglukatan, sarananya dapat menggunakan bungkak nyuh gading. Dengan adanya kesucian lahir dan batin itu, umat lebih bisa memaknai Hari Suci Galungan, sebagai kemenangan dharma.

Foto Pelaksanan Sugihan Bali
Sebenarnya ada satu lagi hari sugihan sebelum datangnya Sugihan Jawa dan Sugihan Bali, yaitu Sugihan Tenten. Jika Sugihan Jawa jatuh pada Wrhaspati / Kamis Wage Wuku Sungsang dan Sugihan Bali pada Jumat Kliwon Wuku Sungsang maka Sugihan Tenten jatuh pada Buda Pon Wuku Sungsang atau tujuh hari sebelum Hari Raya Galungan. Sugihan ini disebut Sugihan Tenten karena merupakan hari ngentenin atau memperingatankan, mengingatkan umat manusia bahwa sebelum Kemenangan Dharma tiba Bhuta Tiga akan hadir untuk menggoda umat manusia.

Foto Mengaturkan sesajen
Manusia tidak saja terdiri dari badan fisik tetapi juga badan rohani (Suksma Sarira dan Antahkarana Sarira). Persiapan fisik dan rohani adalah modal awal yang harus diperkuat, sehingga sistem kekebalan tubuh ini menjadi maksimal untuk menghadapi musuh yang akan menggoda pertapaan kita menjelang hari raya.

Baca : Sejarah Galungan dan Makna Penampah Galungan

Jadi dapat disimpulkan mengenai Sugihan Jawa dan Sugihan Bali hendaknya tidak ada yang melaksanakan hanya salah satunya saja. Karena sudah dijelaskan diatas akan makna penting dari sugihan sugihan tersebut. Jadi alangkah baiknya untuk melaksanakan kedua sugihan tersebut. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya pada artikel Mitologi Bhuta Kala bahwa dalam menyambut hari Raya Galungan  Dewa Siwa menugaskan para Bhuta untuk menggoda para manusia. Sehingga dengan melakukan pembersihan Bhuana Agung pada Sugihan Jawa dan pembersihan Bhuana Alit pada Sugihan Bali akan mampu lebih menjauhkan kita dari godaan para Bhuta yang akan dapat merugikan diri kita. Sehingga pada Hari Galungan nanti kita akan lebih mampu memahami akan arti kemenangan dharma melawan adharma.

Sumber Artikel : inputbali, wisatabaliaga dan  berbagai sumber



Sejarah Galungan dan Makna Penampah Galungan

On 2:18 PM with No comments

Berita Hindu Indonesia - Kata Galungan berasal dari bahasa Jawa Kuno yang artinya "menang" atau "bertarung". Galungan juga sama artinya dengan Dungulan yang juga berarti "menang". Karena itu di Jawa wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan. Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian pancawara ada sebutan Legi, sementara di Bali disebut Umanis, yang artinya sama yaitu manis. 

Galungan telah sejak ratusan tahun lamanya dirayakan di Pulau Bali. Ini bisa diketahui dari lontar berbahasa Jawa Kuno yang bernama Kidung Panji Amalat Rasmi dan Purana Bali Dwipa. Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi. Dalam lontar itu disebutkan : "Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali rajya". Artinya : Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka. 

Akan tetapi, mengenai bagaimana perayaan Galungan di Nusantara di luar Pulau Bali, mungkin karena pergolakan politik dan perubahan besar arah keagamaan di jaman dulu, sampai saat ini belum bisa didapatkan sumber-sumber referensinya. 

Perayaan hari raya Galungan, ada kemungkinannya mendapat inspirasi atau direkonstruksi dari perayaan upacara Wijaya Dasami di India. Ini bisa dilihat dari kata Wijaya yang bersinonim dengan kata Galungan dalam Jawa Kuna. Kedua kata itu artinya menang. Hari Raya Wijaya Dasami di India disebut pula Hari Raya Dasara. Inti perayaan Wijaya Dasami juga dilakukan sepuluh hari sama seperti Galungan dan Kuningan. Sebelum puncak perayaan, selama sembilan malam umat Hindu di sana melakukan upacara yang disebut Nawa Ratri [sembilan malam]. 

Upacara Nawa Ratri itu dilakukan dengan upacara persembahyangan yang sangat khusuk di rumah-rumah penduduk. Nawa Ratri lebih menekankan nilai-nilai spiritual sebagai dasar perjuangan, mengeliminasi adharma di dalam diri. Pada hari kesepuluh barulah dirayakan Wijaya Dasami atau Dasara. Wijaya Dasami lebih menekankan pada rasa kebersamaan, kemeriahan, dan kesemarakan untuk masyarakat luas. Perayaan Wijaya Dasami dilaksanakan dua kali setahun dengan perhitungan tahun surya. Perayaan dilakukan pada bulan Kartika [Oktober] dan bulan Waisaka [April]. Perayaan Dasara pada bulan waisaka atau April disebut pula Durgha Nawa Ratri.

Foto Persembahyangan Hari Raya Galungan
Mulai tanggal 6-7 September 2016 seluruh daerah di pulau Bali akan merayakan Galungan dan Kuningan. Seperti biasanya hampir seluru pulau Bali akan dihiasi berbagai macam dekorasi seperti pohon bambu yang dihiasi yang disebut "penjor". Tiang-tiang itu nantinya akan dihiasi buah-buahan, daun kelapa, dan bunga. Tiang bambu tersebut juga akan diletakkan atau ditanam di dekat pintu masuk rumah.

Foto Penjor Menghiasi Jalan
Hari raya Galungan ini biasanya diperingati setiap 210 hari menurut penanggalan Hindu Saka atau setiap enam bulan sekali dan selalu dirayakan pada hari Rabu. Galungan berkaitan erat dengan Hari Raya Kuningan, yaitu jaraknya hanya 10 hari dan dianggap sebagai penutup perayaan Galungan. Oleh karena itu, biasanya cara mengucapkan selamat untuk orang yang merayakannya adalah dengan kalimat "Selamat Hari Raya Galungan dan Kuningan" yang dalam bahasa Balinya "Rahajeng Nyangran Rahina Galungan lan Kuningan".

MAKNA PENAMPAHAN GALUNGAN 
Menurut sumber beberapa lontar, inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan adalah melaksanakan byakala, yaitu upacara yang bertujuan untuk melepaskan kekuatan negatif [Butha Kala] dari diri manusia dan lingkungannya. Dalam lontar disebutkan, “Pangastawaning sang ngamong yoga samadhi”. Penampahan Galungan secara kebiasaan turun-temurun di Bali biasanya memotong Babi. Sebenarnya ini hanya simbolik saja. Makna sesungguhnya adalah memotong semua kekotoran bathin [sad ripu] dari pikiran kita.

Foto Saat Membuat adonan Lawar Babi
                                            

Galungan merupakan hari raya besar Hindu selain Nyepi. Kunjungan ke Bali selama perayaan Galungan dan Kuningan merupakan kesempatan terbaik untuk menyaksikan budaya Bali yang unik dan dipastikan akan menjadi pengalaman yang menarik.  Perut saya sepertinya telah bersiap menampung lawar dan tentunya sedikit Arak. Angkat sekali gelasmu kawan mari kita bersulang, tuangkan air kedamaian.


Sumber Artikel : Sita Haryawan, Oen Oya


Hari Tilem Bertepatan Hari Sugihan Jawa

On 9:51 AM with No comments

Berita Hindu Indonesia - Hari kamis tanggal 1 september 2016 kemarin umat hindu melaksanakan hari raya Tilem dan bertepatan hari Sugian Jawa. Sugihan dikenal sebagai Upacara di Bali yang masih ada kaitannya dengan Hari Raya Galungan dan Kuningan, ada dua Sugihan yaitu Sugihan Jawa dan Sugihan Bali. Ketika mendengar kata Sugihan Jawa dan Sugihan bali apa yang terlintas di benak anda?

Foto saat mengaturkan sesajen 
Masyarakat Hindu Bali sudah tidak asing dengan Sugihan Jawa dan Sugihan Bali, namun sepertinya masih ada beberapa yang belum paham akan makna sebenarnya dari kedua Sugihan tersebut.

Sugihan Jawa atau sering juga dikenal dengan Sugihan Jaba adalah sebuah kegiatan rangkaiang upacara dalam rangka menyucikan Bhuana Agung (makrokosmos) atau Alam Semesta. Sugihan Jawa ini jatuh pada hari Kamis Wage Wuku Sungsang.

Baca : Filosofi Hari Raya Sugihan Bali

Kata Sugihan Jawa berasal dari urat kata Sugi, yang artinya membersihkan, dan Jawa berasal dari kata Jawi yang dalam Bahasa Jawa kuno memiliki arti luar, begitu juga Jaba dalam Bahasa Bali yang memiliki arti sama yaitu luar.

Foto pelaksanan Sugihan Jawa
Jadi hari raya Sugihan Jawa bukanlah hari Sugihan bagi para pengungsi leluhur-leluhur dari Jawa pasca bubarnya Majapahit, namun makna sebenarnya adalah pembersihan Bhuana Agung (makrokosmos) atau Alam Semesta, baik sekala maupun niskala.

Dalam lontar Sundarigama dijelaskan bahwa Sugihan Jawa merupakan “Pasucian Dewa Kalinggania Pamrastista Bhatara Kabeh” (Pesucian Dewa, Karena Itu Hari Penyucian Semua Bhatara).

Baca : Sejarah Galungan dan Makna Penampah Galungan

Pelaksanaan upacara Sugihan Jawa yaitu dengan membersihkan alam lingkungan, baik itu Pura, tempat tinggal, dan peralatan upacara di masing-masing tempat suci. Dan yang terpenting adalah membersihkan fisik Pura dari debu dan kotoran, agar layak dihuni oleh Sang Jiwa Suci sebagai Brahma Pura.

Sementara Sugihan Bali jatuh pada hari Jumat Kliwon Wuku Sungsang, sehari setelah Sugihan Jawa. Bali dalam Bahasa Sansekerta berarti kekuatan yang ada dalam diri. Jadi Sugihan Bali memiliki makna yaitu menyucikan diri sendiri (Bhuana Alit).

Sesuai dengan yang disebutkan didalam lontar Sundarigama: “Kalinggania Amrestista Raga Tawulan” (Oleh Karenanya Menyucikan Badan Jasmani dan Rohani Masing-Masing), yaitu dengan memohon tirta pembersihan atau penglukatan.

Badan fisik (Sthula Sarira) dan Rohani (Suksma Sarira dan Antahkarana Sarira) yang ada pada masing-masing individu manusia harus selalu disucikan, sebab fisik dan rohani adalah modal awal yang harus diperkuat dalam menghadapi keadaan jaman seperti saat ini.


Hal tersebut juga berkaitan erat dengan kesiapan kita dalam menjelang Hari Raya Suci yaitu Hari Raya Galungan dan Kuningan. Awali dengan pasucian Bhuana Agung pada Hari Raya Sugihan Jawa dan dilanjutkan dengan pasucian Bhuana Alit pada Hari Raya Sugihan Bali.