Berita Hindu Indonesia

Berita Hindu Indonesia

Media Informasi Terkini Masyarakat Hindu Indonesia

Iklan Leo Shop

Pasang iklan disini

TWITTER

Powered by Blogger.
Tata Cara Pendaftaran Lembaga Pasraman Formal & Non Formal

On 11:01 AM with No comments

Berita Hindu Indonesia -  Ditjen Bimas Hindu Kementerian Agama Hindu RI membuka pintu pendirian Pasraman Formal dan non Formal. Umat Hindu di seluruh Indonesia bisa mengajukan permohonan pendirian dan operasional Pasraman Formal dan Non Formal. Namun demikian sebelum melangkah ke permohonan izin pendirian dan operasional, maka sesuai Surat Dirjen Bimas Hindu nomor : DJ.V/Dt.V.I/BA.00/526.a/2016 tentang Pendaftaran Lembaga di seluruh Indonesia, maka semua Lembaga Pasraman wajib hukumnya didaftarkan lembaganya terlebih dahulu untuk mendapatkan Tanda Daftar Yayasan/Lembaga dan selanjutnya baru dimohonkan izin pendirian dan operasional Pasraman Formal dan Non Formal. Dalam izin pendirian dan operasional tersebut akan diberikan Nomor Statistik Pasraman (NSP). yang dikeluarkan dari Ditjen Bimas Hindu Kementerian Agama Hindu RI.

Tata Cara Pendaftaran Lembaga Pasraman Formal & Non Formal


Adapun Persyaratan Pendaftaran Lembaga dan Permohonan Izin Pendirian dan Operasional Pasraman Formal maupun non Formal adalah sebagai berikut :
  1. Surat Permohonan Kepada Dirjen Bimas Hindu Kementerian Agama RI
  2. Rekomendasi Pembimas Hindu 
  3. SK Yayasan 
  4. ADRT Yayasan dan SK Menteri Hukum dan HAM.
  5. Surat Pernyataan Yayasan
  6. Surat Penguasaan Tanah atau Pernyataan Guna Pakai Gedung/Tanah
  7. Susunan Pengurus Lembaga
  8. Profil Pasraman
  9. Domisili Pasraman
  10. Susunan Kurikulum
  11. Alamat Sekretariat, Telepon dan Email
  12. Pas Foto Ketua Ukuran 4x6 (berwarna)
  13. Foto Copy KTP Ketua, Sekretaris dan Bendahara
  14. Data Siswa Pasraman
Proses pendaftaran adalah sebagai berikut:

  1. Setelah lembaga memiliki Tanda Daftar Yayasan/Lembaga dari Ditjen Bimas Hindu, maka pemohon izin bisa mengajukan proposal pendirian dan operasioanal Pasraman Formal dan Non Formal yang ditujukan ke Dirjen Bimas Hindu kementerian Agama RI.
  2. Proposal masuk akan diverivikasi dan selanjutnya bagi yang memenuhi syarat administratif akan dilakukan visitasi ke lokasi.
  3. Hasil visitasi akan menentukan layak atau tidaknya diterbitkan Izin pendirian dan Operasional Pasraman.
Pasraman Formal terdiri dari tingkat Pratama Widya Pasraman (PAUD/TK), Adi Widya Pasraman (SD), Madyama Widya pasraman (SMP, Utama Widya Pasraman (SMA) dan Maha Widya pasraman (Universitas). Sedangkan Pasraman Non Formal bisa berbentuk Pesantian, Sad Dharma dan lain sebaganya.




Pasraman Dhewi Saraswati yang Penuh Prestasi

On 9:29 AM with No comments

Berita Hindu Indonesia - Pasraman Dhewi Saraswati Lampung Tengah benar - benar memukau. Sesuai namanya Pasraman Dhewi Saraswati yang berdomisili di Jalan Nusa Indah, Sanggar Buana memberi inspirasi pada masyarakat di Kecamatan Seputih Banyak, Lampung Tengah. Mulai siswa SD, SMP, SMA di lingkungan tersebut selama ini mendapat pembinaan dari I Wayan Sadra, S.Pd. MM, seorang PNS dan aktif sebagai Guru pengajar di SMAN 1 Lumbia Lampung Tengah. Berbagai kegiatan rutin dilaksnakan di Pasraman ini setiap Jumat, Sabtu dan Minggu dan dibina oleh 4 Guru Pasraman, yaitu Bapak I Komang Suteja, S.Pd.H. Ibu Ni Dhewi Ratih, S.Pd.H, Ibu Komang Mei, S.Pd.H dan Ibu Komang Sukanasih, S.P.d.


Pasraman Dhewi Saraswati
Usia Pasraman belum genap dua tahun berjalan, Namun Pasraman Dhewi Saraswati ini telah meraih segudang prestasi. Diantaranya, Siswa Pasraman ini meraih juara umum dalam lomba cerdas cermat dan tari di Bulan maret 2016 yang diadakan UNILA. Tidak hanya itu di bulan April 2016, Lenggak lenggok dua penari dari Pasraman Dhewi Saraswati tampak lincah dan gemulai menampilkan tari Merak Angelo dalam Parade Budaya yang digelar Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Perhimpunan Mahasiswa Hindu (Permadu) di Institut Informatika dan Bisnis (IBI) Darmajaya,. Kekompakan dan keserasian yang tampil para sisya dari Pasraman Dhewi Saraswati mampu memukau para dewan juri dan penonton. Tari Merak Angelo akhirnya membawa Pasraman Dhewi Saraswati sebagai juara I lomba tari Bali dalam kompetisi tersebut. Juara Satu pun diraih Sisya Pasraman Dhewi Saraswati dalam ajang UDG (Utsawa Fharma Gita) tingkat Kabupaten Lampung Tengah dalam jenis perlombaan Dharma Wacana dan lomba Pembacaan Sloka. Berbagai event di tingkat Nasional kedepanya akan diikuti oleh Pasraman ini, seperti dalam ajang UDG tingkat provinsi dan Nasional yang jatuh di tahun 2017.

"Pasraman Dhewi Saraswati berdiri di bawah naungan Parisada Hindu Dharma Indonesia Provinsi Lampung dan juga binaan Ditjen Bimas Hindu Kementerian Agama RI. Sebagai dasar pemikiran kami, selama ini masih banyak generasi muda Hindu di wilayah kami haus akan pengetahuan dan membutuhkan banyak buku sebagai bahan bacan dan media untuk memahami ajaran agama Hindu. Maka kami mencari cara untuk menyelamatkan masa depan umat Hindu. Ini menjadi keprihatinan kita bersama." Ungkap I Wayan Sadra, S.Pd.MM.

Seperti tercantum dalam sloka 27 Kitab Sarasamuscaya, menyebutkan dalam terjemahnya, " Bagaikan keberadaan ilalang muda yang tajam, akan tidak tajam lagi masa tuanya. Demikianlah hendaknya kebajikan / kebenaran, harta dan ilmu pengetahuan itu dikejar sedini mungkin, pada masa muda yang sehat. "Sloka ini mengisaratkan kita selalu semangat, pantang menyerah untuk belajar dan mengisi diri di usia remaja. Ia berharap melalui Pasraman ini, generasi muda termotivasi untuk berprestasi, melestarikan budaya Indonesia tanpa meninggalkan ajaran Hindu, menghargai keberagaman dan tetap menjaga nilai saling toleransi anatara umat beragama.


Sumber : Pasraman Dhewi Saraswati (miak)
Lestarikan Bahasa Bali untuk Generasi Muda

On 8:29 AM with No comments

Berita Hindu Indonesia - Mulai tahun depan, bahasa daerah (bahasa ibu) akan masuk dalam muatan lokal kurikulum pendidikan di tingkat PAUD dan TK di seluruh Indonesia. Anggota Komisi X DPR RI Wayan Koster mengungkapkan hal itu, belum lama ini. Ketua DPD PDIP Provinsi Bali itu mengatakan, untuk bahasa Bali, kebijakan itu dilakukan di PAUD dan TK berbasis Hindu yang ada  di semua desa adat sebagai proyek percontohan.


Menulis Aksara Bali
Mengapa pemerintah menempuh kebijakan itu? Koster mengatakan, ada kerisauan mengenai penggunaan bahasa ibu belakangan ini yang mulai ditinggalkan oleh generasi muda. Koster mengatakan, masuknya bahasa ibu dalam kurikulum pedidikan di tingkat PAUD merupakan sebuah upaya memelihara bahasa dan menjaga jati diri bangsa Indonesia.

Kerisauan tentang terancamnya bahasa Bali memang bisa dipahami. Sebab, anak-anak remaja masa kini lebih sering menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi. Jika ada yang menggunakan bahasa Bali, itu sangat jarang dan pemakaiannya pun banyak yang salah dari segi tata bahasanya.

Sebagaimana kita ketahui, bahasa Bali mengenal sorsinggih bahasa. Sor-singgih itu adalah tingkatan bahasa halus dan kasar sesuai dengan status pemakainya. Misalnya antara sorang murid dengan gurunya. Meskipun sebuah kata memiliki arti yang sama, namun berdasarkan sor-singgih bahasa, pengucapannya akan berbeda. Sebuah contoh: seorang sisya (murid) berkata kepada seorang pandita. “Singgih iratu sampun ngerayunan? Titiang sampun nunas.” Kata “ngerayunan” dan “nunas” artinya sama-sama berarti “makan”.


Aksara Bali
Adanya sor-singgih itu juga berfungsi menciptakan etika. Jika salah menggunakan sor-singgih itu, maka bisa bermakna tidak tahu etika. Kecuali, tentunya bagi orang yang tak tahu sama sekali atau baru belajar bahasa.

Sesungguhnya, jika kita amati secara seksama, sudah ada upaya memelihara bahasa Bali dengan baik. Contoh yang bisa ditemukan antara lain saat peristiwa acara atau upacara adat/keagamaan. Pada saat upacara Panca Yadnya, baik di pura maupun di luar pura, para pejabat adat, rohaniwan atau panitia upacara akan selalu berbahasa Bali saat berbicara. Ketika warga adat melakukan sangkep (rapat), bahasa Bali seakan menjadi bahasa wajib.

Demikian pula dalam kesenian tradisional Bali, para pelaku dominan menggunakan bahasa Bali. Semua karya sastra kakawin yang menggunakan bahasa Jawa Kuna, diterjemahkan ke dalam bahasa Bali. Buku-buku geguritan pun, hampir semua menggunakan bahasa Bali.

Meskipun demikian, kita patut dukung upaya pemerintah melestarikan bahasa Bali. Sebab, bahasa Bali bukan hanya berfungsi sebagai bahasa komunikasi, tetapi juga berfungsi menciptakan  etika atau budipekerti. Hanya saja, kita rupanya perlu meluruskan kembali pelajaran bahasa Bali yang dulu pernah berlaku. Misalnya ada disebutkan bahwa ada penggunaan kata untuk wangsa andapan (orang yang lebih rendah), sesamen wangsa jaba. Ungkapan itu menunjukkan adanya kasta dalam masyarakat Bali. Melestarikan bahasa Bali, jangan sampai melanggengkan kasta.

Menggagas Pasraman Berorientasi Dunia Kerja

On 12:59 PM with 1 comment

Menggagas Pasraman Berorientasi Dunia Kerja


Berita Hindu Indonesia - Didalam kalangan generasi muda tak terkecuali generasi muda Hindu Indonesia setelah menyelesaikan suatu jenjang pendidikan, orientasinya adalah mencari pekerjaan. Seberapa banyak mereka yang telah menamatkan pendidikan formal muaranya mesti kearah sana – mencari pekerjaan. Seiring dengan populasi pertumbuhan penduduk yang lebih tinggi dibanding dengan pertumbuhan ekonomi. Akibat yang terjadi diantaranya adalah formasi pekerjaan yang tersedia menjadi semakin sempit, persaingannya menjadi lebih ketat. Barang siapa yang hanya mengandalkan pendidikan instrinsik (sekedar dapat ijazah) tanpa didukung dengan added value (nilai plus), maka mereka akan tersingkir kalah bersaing didalam pangsa pasar kerja. 

Status seseorang yang menyandang sebagai kaum minor ditengah dominasi mayoritas, akan lebih mempersulit keadaan. Tidak sedikit yang kita jumpai dilapangan bahwa diantara formasi pekerjaan yang tersedia itu memang diutamakan atau bahkan diperuntukkan khusus bagi yang memiliki keyakinan tertentu. Jika hal ini yang senantiasa mengemuka didalam kehidupan dunia pangsa kerja di lingkungan ini, maka generasi muda Hindu akan dihadapkan dengan 2 pilihan yang berat dengan mempertaruhkan ketahanan imaninya; Mengutamakan agar mendapatkan pekerjaan dengan mengorbankan keyakinannya atau sebaliknya tetap bertahan pada keyakinannya tetapi harus menggigit jari. Inilah permasalahan yang sesungguhnya mesti segera mendapatkan solusinya.

Formulasi umat Hindu dipandang dari sisi usia, tampaknya perlu diperhatikan. Perkembangan umat Hindu Indonesia sangat fluktuatif dipengaruhi oleh ragam aspek kehidupan. Pada dekade enam puluh tujuh puluhan memiliki catatan yang sangat signifikan, disamping perkembangan kuantitasnya, kualitas dalam hal ketahanan imaninyapun menggembirakan. Jika kini kita berada pada dekade duaribuan, maka secara kasar usia rata-rata umat kini, sebagian besar berada pada kisaran 50 – 70 tahun. Hal ini diperkuat dengan pengangkatan guru Agama Hindu cukup banyak mulai tahun 1979 yang sudah barang tentu mereka kini juga sudah berada di penghujung purna tugasnya. 

Konversi keimanan tidak menutup mata secara faktual memang ada di lapangan. Fenomena ini tidak semata dipengaruhi oleh faktor eksternal namun faktor internalpun ikut andil di dalamnya. Satu diantaranya adalah faktor kekurangpekaan para elite di dalam mensikapi situasi dan kondisi yang sedang berkembang. Orientasi yang berupa pikiran, dana dan tenaga sebagian besar tercurah pada masalah pemenuhan kebutuhan ritualitas, mengesampingkan factor pembinaan menpower utamanya bagi generasi mudanya. 

Peraturan Pemerintah nomor 55/2007 tentang Pendidikan dan Keagamaan dan Keputusan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu dan Buddha nomor: DJ.V/92/SK/2003 tentang penunjukan PHDI, Pasraman Sekolah Minggu sebagai Penyelenggara Pendidikan Agama Hindu di Tingkat SD s/d Perguruan Tinggi. Kehadiran Pasraman diarahkan bagaimana kita dapat menyediakan wadah untuk mengisi kevakuman pendidikan (tidak tersedianya guru baik tetap maupun tidak tetap) Agama Hindu di Sekolah formal. Sehingga Pasraman ini dihadirkan semata-mata untuk mendapatkan legalitas didalam mengisian nilai raport bagi siswa didik. 

Peraturan perundangan yang berlaku menyebutkan bahwa Pendidikan Agama sebagai subsistim dalam Sistim Pendidikan Nasional. Ini artinya; penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar Pendidikan Agama adalah menjadi tanggung jawab penyelenggara institusi pendidikan, dengan berpedoman pada; 
  1. Kurikulum yang berlaku sesuai dengan jenjang kependidikan siswa. 
  2. Siswa mendapat layanan Pendidikan Agama secara adil tidak diskriminatif sesama siswa didik dalam hal sarana dan prasarana proses belajar mengajar.
  3. Sekolah menyediakan Guru pengajar yang memiliki kwalifikasi sebagaimana yang dipersyaratkan didalam peraturan perundangan.
Sementara itu bagi generasi muda, orientasi yang dihadapi dewasa ini adalah tidak hanya masalah sraddha dan bhakti semata, tetapi lebih membumi mencakup pada tataran religiusitas yang utuh dan segar. 

Kini muncul pertanyaan dari mana hal itu bisa didapat, di sinilah pertanyaan yang mesti dijawab oleh para elite umat Hindu di dalam mensikapi perkembangan zaman. 

Oleh karenanya dipandang perlu adanya wadah pendidikan non formal – Pasraman Gladi Karya guna menyiapkan generasi muda Hindu yang berkualitas lahir batin dan siap memasuki persaingan dalam pangsa pasar kerja yang pada gilirannya nanti kemandirian umat akan segera dapat diwujudkan.

Peran Pasraman

Secara faktual kini kita telah mengikuti arus perkembangan pendidikan dengan ditandai meningkatnya lulusan pendidikan formal bagi generasi muda Hindu. Namun mereka sebagian besar tidak memiliki daya saing di pangsa pasar kerja dan atau kurang cerdas didalam membaca dan menangkap peluang pasar bisnis. Akibat yang terjadi adalah mereka banyak yang menganggur. Pengangguran intelek sangat rentan terjadinya pengaruh negative yang nuansanya adalah terjadinya konversi keyakinan. Kondisi umat Hindu yang sebagian besar hidup di pedesaan dan pegunungan, hidup dalam dan atau dibawah garis marginal. 

Oleh karenanya Pasraman Gladi Karya memiliki peranan yang sangat penting dan lebih luas cakupannya dibandingkan dengan pasraman formal maupun informal. Karena dalam pasraman gladi karya tidak terbatasi oleh mekanisme sebagaimana yang diatur didalam proses pembelajaran formal, mencakup aspek;

A. Perspektif Ideologis; 
  1. Membentuk semangat ingroup dikalangan generasi muda Hindu agar tercipta rasa kecintaan dan bangga terhadap keyakinannya (fanatisme)
  2. Membangun pembiasaan hidup dalam penghayatan dan pengamalan ajaran Agama Hindu yang utuh dan segar.
  3. Wadah pembekalan dan pengayaan skill agar memiliki daya saing dalam pangsa pasar kerja.
B. Perspektif Politis
  1. Wadah pelatihan kepemimpinan bagi generasi muda Hindu Indonesia
  2. Mengembangkan kemampuan berorganisasi yang sehat.
  3. Membangun sel pembinaan bagi generasi muda Hindu Indonesia
  4. Kaderisasi yang berkwalitas didalam proses regenerasi.
C. Perspektif Ekonomi
  1. Membangun generasi muda yang memiliki produktifitas kerja tinggi.
  2. Memberikan pembekalan dan pengayaan agar cerdas membaca dan mensikapi peluang pasar dan pangsa pasar kerja.
  3. Menyiapkan kader yang sehat dan berkemampuan dalam lahir dan batin.
  4. Membangun kemandirian ekonomi dilingkungan umat Hindu Indonesia
D. Perspektif Sosial
  1. Membangun jiwa generasi muda Hindu Indonesia berjiwa Tat Twam Asi
  2. Pelatihan yadnya sebagai esensi penghayatan dharma.
  3. Membangun rasa kesetiakawanan social sesama generasi muda Hindu Indonesi
E. Perspektif Budaya
  1. Wadah transformasi nilai dan pengembangan seni dan budaya.
  2. Membentuk comunitas seni dan budaya Hindu Indonesia
  3. Mengembangkan budaya kerja yang berlandaskan ajaran Agama Hindu
Tujuan Pasraman Gladi Karya

Memberikan pengembangan religiusitas, mencakup pembekalan dan pengayaan kompetensi sebagai keunggulan komperatif bagi generasi muda Hindu Indonesia yang meliputi; 
  • Anwisaki (kualitas intelektual) . Disini harus dikembangkan nilai plus dengan pembekalan dan pengkayaan kompetensi intelectual. Kwalitas dalam ini akan mampu membuka cakrawala pandang atau wawasan yang lebih luas dan komprehensif. Sehingga cerdas didalam membaca, mensikapi dan menangkap peluang pasar dan pangsa pasar kerja yang ada disekitarnya.
  • Wedatrayi (kualitas spiritual). Disini dimaksudkan memiliki keunggulan didalam regiositas yang berdasarkan nilai-nilai dharma. Kita harus mampu memberikan keunggulan ini dengan bentuk tekad dan semangat kerja yang tinggi, dedikatif dan loyalitas selaras dengan nilai-nilai dharma. Hal ini kan menjamin terciptanya budaya kerja.
  • Varta (kualitas skill). Dimaksudkan untuk memberikan jaminan bahwa kita tidak hanya sekedar lulus dari suatu jenjang pendidikan (intrinsic) namun mesti memiliki kwalitas kompetensi skill (ketrampilan) yang selaras dengan kebutuhan pasar kerja. Dengan demikian akan didapatkan produktifitas kerja yang tinggi. 
  • Danda (kualitas emosional). Hal ini dikaitkan dengan kedewasaan emosional seseorang didalam mensikapi segala permasalahan yang tengah berkembang, sehingga terjamin lingkungan kerja yang kondusif.
Harapan

Perkembangan zaman yang kini tengah berada dalam percepatan ilmu pengetahuan dan terapan teknologi canggih, nampaknya sulit bagi sebagian besar generasi muda kita untuk mengikutinya, karena keterbatasan-keterbatasan yang mengungkungnya. Oleh karenanya sungguh bijaksana manakala kita – para elite umat baik yang duduk dalam jajaran structural maupun non struktural dapat menangkap aspirasi generasi muda dengan membuka keterbatasan-keterbatasan itu. Mereka membutuhkan kail dan empang, bukan ikannya. Pasraman Gladi Karya dapat memberikan nilai plus agar mampu bersaing, Sehingga memiliki ruang yang lebih luas dalam akses formasi kerja bagi generasi muda Hindu Indonesia.


Penyumbang Artikel:

Kasiyanto, S.Ag (Ketua Badan Penyiaran Hindu Prov. Jawa Tengah)

Pengembangan Kualitas Pendidikan Agama dan Keagamaan Hindu

On 12:05 AM with No comments



Berita Hindu Indonesia - Pengembangan kualitas pendidikan agama pada umumnya dan pendidikan keagamaan pada khususnya, dewasa ini menempati peran sangat penting dan strategis bagi kelangsungan kehidupan bangsa Indonesia. Hal ini karena, tinggi rendahnya kualitas pendidikan, terutama pendidikan agama menjadi titik penentu kualitas nasib bangsa kita di masa mendatang. Dalam kaitannya dengan posisi peran dan fungsi pendidikan agama ini, saya melihat ada beberapa kondisi yang menjadi latar belakang mengapa pendidikan agama memerankan fungsi yang sangat penting, strategis, dan menentukan keberlangsungan bangsa kita di masa depan.

Pertama, dari sisi sosial budaya dampak negatif sosial budaya dan globalisasi, Bangsa Indonesia mengalami berbagai kerusakan tatanan kehidupan masyarakat. Kita saksikan betapa kondisi moralitas bangsa dalam beberapa dasawarsa terakhir sangat memprihatinkan. Tingginya praktek KKN, maraknya pornografi, pornoaksi, pergaulan seks bebas, meluasnya penyalahgunaan Narkoba, menurunnya wibawa hukum, tingginya angka kriminalitas dan lain sebagainya merupakan fakta sosial yang kian fenomenal dan semakin sulit diatasi. Oleh karena itulah apa pun bentuk upaya pengembangan dan peningkatan kualitas keagamaan baik melalui pembelajaran di sekolah atau di luar sekolah menjadi sangat penting dalam upaya mencegah, mengurangi atau memperbaiki tatanan kehidupan dalam bermasyarakat. Setinngi apapun prestasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang dicapai tetapi tanpa diimbangi kualitas moral dan pengamalan nilai - nilai keagamaan yang memadai, maka justru akan dapat merusak tatanan kehidupan masyarakat itu sendiri. Dengan kata lain pengempangan IPTEK tanpa pengembangan moralitas atau nilai agama akan melahirkan barbarisme ilmiah, suatu kejahatan ilmu pengetahuan yang akan menghancurkan umat manusia itu sendiri.

Kedua, secara kelembagaan, penyelenggaraan pendidikan agama dan keagamaan Hindu memang telah menunjukkan banyak kemajuan. Namun demikian tak dapat dipungkiri jika pendidikan agama tersebut, dilihat dari beberapa sisi masih terdapat sejumlah kelemahan. Pada tataran normatif, pendidikan agama belum memerankan fungsinya secara optimal sebagai pembentuk kepribadian masyarakat sebagaimana yang kita harapkan sekaligus sebagai alat pengontrol dan pengendali perilaku masyarakat dalam kehidupan keseharian sesuai koridor agama yang diajarkannya. Pendidikan agama dan keagaman Hindu belum mampu menguatkan proses internalisasi dan pengamalan nilai agama dalam kehidupan nyata masyarakat. Disinilah pendidikan agama dituntut untuk mampu mengembangkan materi dan strategi pembelajaran yang menarik dan bermakna sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada zamannya.

Ketiga, pada tataran ekonomis, produk pendidikan agama dan keagaman juga ditengarai belum sepenuhnya mampu memberikan bekal keterampilan hidup yang praktis untuk pemenuhan kebutuhan sehari - hari. Dalam konteks ini, lembaga pendidikan agama dan keagamaan, dituntut agar dapat memberikan bekal keterampilan hidup kepada peserta didiknya disamping memberikan materi keagamaanitu sendiri. Sementara pada tataran manajerial, penyelenggaraan pendidikan agama dan keagamaan masih banyak yang belum dikelola secara profesional, Belum dikelola sesuai prinsip - prinsip pengaturan, perencanaan, dan pengendalian yang sistematik, , transparan, efisien, dan produktif. Akibatnya lembaga pendidikan agama dan keagamaan kurang mampu bersaing dengan lembaga pendidikan umum. Lembaga pendidikan agama dan keagamaan sering dipersepsikan oleh masyarakat atau umatnya sebagai lembaga pendidikan berkualitas "kelas dua". Oleh karena itu kedepan seyogianya lembaga pendidikan dikelola secara profesional, akuntabel, serta mampu memberikan jaminan kualitas yang berdaya saing, baik pada tingkat lokal, nasional maupun global.
Masihkah ada Minat Kuliah di Perguruan Tinggi Agama Hindu ?

On 11:16 PM with No comments



Berita Hindu Indonesia - Perkembangan teknologi telekomunikasi telah memungkinkan orang melihat kemajuan masyarakat atau bangsa lain dan ingin menirunya. Pertukaran informasi yang sedemikian cepat inilah yang menyebabkan terjadinya perubahan cepat di masyarakat. Perubahan itu kini kita rasakan hampir di semua bidang, di bidang politik, ekonomi, iptek, budaya, sosial, dan agama. Keinginan untuk meniru kemajuan bangsa lain itulah yang mungkin menyebabkan kita menganggap masyarakat kita kini semakin disibukkan oleh urusan dunia dan menomor duakan urusan akhirat. Tetapi, benarkah demikian?

Pertanyaan yang muncul dalam hal ini adalah: “Melihat kondisi saat ini, di mana banyak warga masyarakat yang semakin tertarik pada masalah non-agama dan cenderung menomor sekiankan masalah yang berkaitan dengan agama, masih adakah peluang bagi Sarjana Agama untuk eksis di masyarakat?” Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu mendefinisikan dulu apa yang kita maksud dengan istilah ‘peluang’ itu. Apakah peluang itu kita definisikan sebagai peluang untuk ‘mengabdi’, ‘berperan serta’, ‘bekerja’, ataukah ‘menjadi kaya’ di masyarakat? Kemajuan pembangunan bangsa telah membawa banyak perubahan terrhadap masyarakat Indonesia. Salah satu di antara perubahan itu adalah perubahan aspirasi masyarakat di bidang pendidikan. Banyak orang, terutama yang berkecimpung di kalangan pendidikan Hindu, merasa bahwa masyarakat Indonesia kini telah bergeser menjadi semakin materialistik. Perhatian mereka terhadap masalah materi (keduniawian) semakin besar dan perhatian kepada masalah agama semakin kecil. Hal ini juga tercermin dalam aspirasi pendidikan mereka. Pendidikan, bagi kebanyakan warga masyarakat, dianggap sebagai persiapan untuk memperoleh pekerjaan, bukan lagi untuk mencari ilmu demi ilmu seperti zaman dulu. Kini semakin banyak orang yang memilih pendidikan non-agama yang menjanjikan pekerjaan yang lebih mudah daripada pendidikan agama. Ini tampak baik di tingkat pendidikan dasar maupun di tingkat pendidikan menengah dan tinggi. Di tingkat pendidikan dasar, orang lebih mementingkan pengetahuan umum daripada pendidikan agama. Orang akan merasa lebih prihatin ketika nilai rapor pengetahuan umum anaknya rendah daripada ketika nilai rapor pendidikan agamanya rendah. Kursus-kursus penunjang pelajaran di tingkat dasar dan menengah yang laris adalah kursus atau bimbingan belajar untuk menunjang prestasi anak di UAN (yang terpusat pada ilmu pengetahuan umum), bukan kursus pendidikan agama. Di tingkat pendidikan tinggi, peminat ke PTA jauh lebih sedikit daripada peminat ke PTN ataupun ke PTS non-agama. Dari yang sedikit itupun kualitasnya tidak sebagus mereka yang memilih PTN dan PTS non-agama. Sering dikatakan bahwa sebagian besar mahasiswa yang masuk ke PTA adalah mereka yang tidak lulus UMPTN atau tidak mampu ke PTS favorit karena biaya. PTA tampaknya hanya merupakan pilihan cadangan bagi sebagian besar mahasiswa. Hal ini tentu saja mengakibatkan persoalan tersendiri bagi PTAH karena motivasi belajar mereka di PTAH rendah sehingga sulit bagi lembaga pendidikan itu untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas tinggi.

Keadaan yang kurang menguntungkan ini ditambah dengan banyaknya lulusan Perguruan Tinggi Hindu yang masih menganggur setelah lulus. Keadaan inilah yang mungkin akan menimbulkan pertanyaan pada diri kita yang berkecimpung di bidang pendidikan Hindu ini: Masih adakah peluang bagi Sarjana Agama di Indonesia ini? Apakah tantangan yang dihadapi oleh Sarjana Agama agar tetap berperan di masyarakat di zaman yang cepat berubah ini? Perubahan aspirasi pendidikan masyarakat, haruskah kita sesali?

Banyak orang, terutama yang berkecimpung di lembaga pendidikan Hindu, yang mengeluhkan dan menyesali terjadinya perubahan aspirasi masyarakat di bidang pekerjaan dan pendidikan ini. Mereka ‘menyalahkan’ masyarakat yang, menurut pendapatnya, telah tidak memperhatikan pendidikan agama demi memperoleh pendidikan pengetahuan dan keterampilan yang berkaitan dengan prospek memperoleh pekerjaan di masa depan. Namun, apakah keluhan dan penyesalan saja dapat menyelesaikan persoalan yang kita hadapi? Haruskah masyarakat menyesuaikan diri dengan selera kita yang bergerak di bidang di pendidikan Hindu ataukah kita yang menyesuaikan diri dengan selera masyarakat?

Masyarakat memang selalu berubah dan memang harus berubah. Sejarah telah mencatat perubahan-perubahan itu, mulai dari zaman primitif (zaman batu) sampai ke zaman komputer sekarang ini. Masyarakat yang tidak mau berubah akan ketinggalan jika dibandingkan dengan masyarakat yang mau berubah. Kita tidak dapat menghalangi perubahan itu karena, di dunia ini, hanya perubahan itulah yang pasti terjadi. Persoalannya adalah kita merasa bahwa perubahan yang terjadi akhir-akhir ini begitu cepat sehingga kita pontang-panting untuk menyesuaikan diri. (Bandingkan dengan perubahan yang terjadi tiga puluh tahun yang lalu, yang cukup lamban sehingga memberi kesempatan orang untuk menyesuaikan diri).

Perubahan masyarakat terjadi karena adanya kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Pengetahuan dan teknologi itu kemudian tersebar luas melalui komunikasi antar kelompok masyarakat dan antar negara. Kecepatan perubahan yang terjadi di seluruh dunia akhir-akhir ini adalah akibat dari kemajuan iptek di bidang telekomunikasi yang memungkinkan orang untuk berkomunikasi antar tempat yang jarakanya sangat jauh dengan sangat cepat.

Peluang untuk mengabdi dan berperan serta di masyarakat, saya kira, terbuka amat luas. Kebutuhan akan Sarjana Agama amat banyak. Semakin rusak suatu masyarakat, akan semakin dibutuhkan pula peran rohaniwan. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang beragama ini, inilah saat di mana mereka amat membutuhkan para Sarjana Agama untuk membantu mereka menyeimbangkan kehidupan mereka yang terus menerus dibombardir oleh urusan pekerjaan (duniawi) mereka. Banyak contoh yang menunjukkan bahwa para ahli ilmu agama itu juga dapat ‘menjadi kaya’ karena pekerjaannya itu. Untuk tetap dapat melayani kebutuhan masyarakat akan ilmu agama Hindu, Sarjana Agama di zaman millenium ini harus berusaha untuk memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

Mampu berbahasa Sansekerta, minimal mampu membaca kitab suci klasik. Kemampuan ini diperlukan untuk menggali sendiri ilmu pengetahuan agama Hindu yang tersimpan di dalam kitab-kitab berbahasa Sansekerta yang jumlahnya banyak sekali dan terus bertambah. Selanjutnya menguasai ilmu agama Hindu secara luas dan mendalam serta menguasai perbedaan-perbedaan faham yang pernah ada di kalangan ummat Hindu mengenai berbagai masalah (politik,budaya,agama). Selain itu mereka harus mengahayati dan mengamalkan ajaran agama Hindu sehingga dapat dijadikan teladan dan serta berwawasan global, melihat seluruh permukaan bumi ini sebagai tempat pengabdian kepada agama dan siap untuk bekerja di mana saja di muka bumi ini. Juga selalu mengikuti perkembangan dunia. Yang tak kalah penting juga seyogianya juga menguasai bahasa asing lain, minimal Bahasa Inggris, agar dapat berkomunikasi dengan (menyampaikan pesan Hindu kepada) orang asing. Penguasaan bahasa asing lain juga akan memperkaya pengetahuan yang berasal dari literatur asing yang bermanfaat bagi pengembangan agama dan menguasai ilmu berkomunikasi yang diperlukan untuk menyampaikan pesan Hindu secara tepat sesuai dengan sasaran dharmawacananya.






Mau Dibawa Kemana Pendidikan Agama dan Keagamaan Hindu ?

On 10:00 AM with No comments


Berita Hindu Indonesia - Kita sadari bersama bahwa persebaran umat Hindu yang sporadis dan tidak merata di seluruh wilayah nusantara membawa kendala tersendiri bagi Pemerintah, Parisada serta tokoh pemuka agama Hindu di dalam melaksanakan pembinaan umat dan menyelenggarakan pendidikan agama Hindu yang ideal bagi siswa didik. Berbagai permasalahan klasik sering kali terlontar dalam berbagai forum regional dan nasional dengan menyisakan PR yang tak berujung bagi seluruh stake holder Hindu di Indonesia. Kurangnya tenaga pendidik agama Hindu, kurikulum yang kurang tepat serta tiadanya sarana dan prasarana yang memadai, adalah tiga dari sekian permasalahan yang sedang dirasakan oleh umat Hindu di seluruh wilayah nusantara terutama yang berada di luar Bali.

Proses belajar mengajar Pendidikan Agama Hindu di Bali tidak sama kondisinya dengan yang berada di luar Bali walaupun kita dalam satu negara yang sama serta payung hukumnya pun juga sama. Apalagi bila kita bandingkan dengan agama lain, kondisinya jelas sangat berbeda. Situasi seperti itu dikarenakan oleh beberapa faktor. Mulai dari rendahnya kesadaran dari umat Hindu untuk memperjuangkan hak – haknya untuk memperoleh pendidikan agama Hindu yang ideal, masalah kurikulum, kurangnya tenaga pendidik hingga minimnya dukungan pemerintah daerah terhadap penyelenggaraan pendidikan agama Hindu di wilayahnya masing – masing. Hal ini jelas belum sejalan dengan amanat UU No 20 tahun 2003 mengenai Sistim Pendidikan Nasional yang dengan terang benderang menyatakan dalam pasal 4 ayat 1 bahwa :Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

Mendapatkan pengajaran agama sesuai dengan kepercayaannya masing-masing sudah barang tentu menjadi hak setiap pemeluk agama. Hal tersebut didukung juga oleh adanya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan. Disebutkan dalam PP tersebut mengenai Pendidikan agama yakni pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Sedangkan Pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya. Sebenarnya sungguh mulia apa yang diamanatkan serta dicita -citakan dalam PP tersebut, dimana pada nantinya pendidikan agama difungsikan guna membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kerukunan hubungan internal dan antar umat beragama. Sampai pada akhirnya pendidikan agama ditujukan untuk berkembangnya kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. 

Semoga apa yang telah dirancang pemerintah, bukanlah retorika belaka. Dari sinilah diharapkan sistem pengajaran agama dapat berjalan sesuai fungsi dan tujuan yang telah ditetapkan. Dalam salah satu pasal disebutkan bahwa pengajaran pendidikan agama kepada peserta didik haruslah orang yang seagama. Hal ini menjadi sangatlah penting dalam penyelengaraanya karena pada kenyataanya selama ini, penyelenggaraan pendidikan agama Hindu sering diabaikan pada lembaga pendidikan yang ada. Sebagai contoh misalnya, di suatu sekolah swasta yang berlatarkan agama tertentu jarang sekali menerima nilai agama yang telah dikeluarkan oleh Pasraman sebagai tempat penyelenggaraan agama, bahkan tak jarang mereka memaksa peserta didik untuk mengikuti pelajaran agama yang diwajibkan di sekolah tersebut, jika tidak maka nilai mereka pun akan terancam kosong. Suatu realita yang sangat memilukan hati, dimana hak asasi manusia telah ditindas. Tanpa kita sadari bahwa terkadang dalam meperoleh pengajaran agama Hindu sangatlah sulit rupanya, khususnya hal ini terjadi di luar Bali misalnya di Pulau Jawa, khusnya di kota-kota besar. Kita ambil contoh misalnya pendidikan agama Hindu di Kota Jakarta, sangatlah jarang ditemui para pengajar agama Hindu di sekolah-sekolah umum dari tingkat TK sampai dengan SMU bahkan tingkat universitas . Untuk memperoleh pendidikan agama mereka harus mendaftarkan diri ke sebuah pasraman yang ada di daerahnya masing-masing, terkadang hal ini menjadi faktor penghambat besar dalam berlangsungnya proses pengajaran agama.

Kekurangpedulian orang tua serta para peserta didik seakan mengkondisikan mereka enggan untuk datang ke pasraman dalam memperoleh pendidikan agama, bahkan konyolnya lagi mereka lebih memilih mengikuti pengajaran agama yang telah tersedia di sekolah mereka masing-masing yang tidak dipungut bayaran lagi, dibanding dari pada harus bersusah diri pergi ke pasraman yang notabene harus mengeluarkan tambahan kocek sebagai biaya administrasinya. Fakta lain yang sering ditemui adalah : ternyata banyak pula universitas-universitas di Indonesia yang tidak mewajibkan mata kuliah agama (khususnya agama Hindu). Mereka beranggapan bahwa pengajaran agama tidak memiliki kontribusi positif dalam peningkatan akademis mahasiswa. Benarkah demikian? Saya merasa bahwa hal tersebut adalah suatu hal yang tidak logis dan penyesatan terhadap logika berpikir, kita perlu ingat kata orang bijak, bahwa ilmu tanpa agama adalah buta. Untuk itu munculnya PP 55 2007 ini diharapkan bisa menjadi suatu tonggak dari bangkitnya sistem pengajaran Agama Hindu secara terpadu dan terarah. Dimana kedepannya akan bermunculan kaum intelektualitas Hindu yang memiliki dasar pengetahuan serta pengamalan ajaran agama yang kuat dan secara utuh dapat mencapai tujuanya dalam mensinergikan ajaran agama dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Persebaran umat yang tidak merata memang membawa kendala tersendiri dalam pemenuhan hak – hak peserta didik di dalam memperoleh pendidikan agama Hindu. Namun demikian kendala tersebut tidak bisa menjadi alasan bagi stake holder Hindu di Nusantara ini untuk tidak berbuat maksimal dalam penyelenggaraan pendidikan agama Hindu. Saya sangat menghargai dan memberi apresiasi bagi lembaga agama, tokoh ataupun pemuka umat yang sudah berupaya keras menyelenggarakan pendidikan agama Hindu di Pura pada hari - hari tertentu. Langkah tersebut memang benar sebagai upaya menanggulangi sementara kekosongan ataupun kurangnya tenaga pendidik agama Hindu di suatu wilayah. Namun jangan salah, ibaratnya obat, maka obat itu hanya dapat menyembuhkan sementara. Tetapi menurut hemat saya untuk jangka panjangnya harus bersama – sama didiskusikan lagi oleh segenap pemerhati pendidikan agama Hindu. Apa yang dimaksud dengan perlu didiskusikan lagi? Bukannya penyelenggaraan pendidikan agama Hindu yang sekarang ini dilaksanakan di pasraman - pasraman sudah berjalan cukup baik? Bahkan sekolah – sekolah baik negeri maupun swasta sudah mau menerima keberadaan Pasraman, indikasinya adalah pihak sekolah mengirimkan siswanya yang beragama Hindu untuk mengikuti pelajaran agama di pasraman?

Memang benar, penyelenggaraan pendidikan agama Hindu di luar bali yang selama ini diperankan oleh sebuah institusi yang kita sebut pasraman memang sudah berjalan dengan baik dan kebutuhan siswa akan nilai mata pelajaran agama sudah dapat terpenuhi. Tetapi secara politis ada sisi lain yang perlu kita kaji bersama. Dengan adanya proses belajar mengajar pendidikan agama Hindu di pasraman – pasraman maka apabila ada sekolah yang menerima siswa beragama Hindu tetapi di sekolah tersebut belum ada guru agama Hindu, dengan mudahnya pihak sekolah akan mengirim siswa tersebut ke pasraman. Pertanyaannya adalah, apakah kita menginginkan hak yang sama bagi putra-putri kita untuk mendapatkan pelajaran agama Hindu di sekolah dan pada jam pelajaran sekolah seperti yang diperoleh siswa siswi yang beragama lain? Kalau saya yang ditanya, maka saya akan jawab: Ingin. Saya ingin anak saya mendapat pelajaran agama Hindu di sekolahnya dan pada jam pelajaran sekolah. 

Sumber daya manusia untuk guru agama Hindu PNS memang sangat kurang sekali. Tetapi perlu diingat bahwa sesuai UU Sisdiknas sekolah wajib menyelenggarakan pendidikan agama kepada siswanya dan harus diajar oleh guru yang seagama. Disinilah perlu keberanian dari orang tua murid untuk memperjuangkannya. Karena yang kita perjuangkan tidak bertentangan dengan undang – undang ataupun peraturan yang ada. Apabila orang tua murid menginginkan seperti itu maka tak ada alasan bagi pihak sekolah untuk tidak memenuhi. Apabila kita berikan argumentasi yang kuat berlandaskan UU dan PP yang ada seharusnya pihak sekolah akan memenuhi dengan cara mengangkat guru honorer agama Hindu atau dengan cara- cara yang lain. Memang tidak mudah untuk mengawalinya. Tetapi kapan lagi kalau tidak mulai dari sekarang mengawalinya? Menurut saya satu langkah ini dapat memberikan multiefek bagi dunia pendidikan agama Hindu. Ada beberapa dampak positif yang kita petik:

  1. Coba kita bayangkan apabila semakin banyak orang tua yang menghendaki anaknya mendapatkan pelajaran agama Hindu di sekolah, maka akan dibutuhkan banyak tenaga honorer guru agama Hindu. Itu artinya akan menyerap sarjana – sarjana agama lulusan dari PTAH negeri maupun swasta yang ada.
  2. Minimnya pengadaan PNS untuk formasi Guru Agama Hindu di berbagai tingkatan sekolah, menurut saya salah satu faktornya adalah tiadanya laporan permintaan dari sekolah – sekolah negeri ke dinas yang menaunginya akan kekurangan dan kebutuhan formasi Guru Agama Hindu. Jadi hukum penawaran dan permintaanlah yang berbicara. Karena pihak sekolah sudah terbiasa untuk menitipkan siswanya untuk mendapatkan pelajaran agama di pasraman. Dengan demikian maka usulan pengadaan Guru Agama Hindu di sekolahnya bukanlah sebuah prioritas utama sehingga sangat jarang sekali muncul formasi Guru Agama Hindu dalam pengadaan CPNS di berbagai wilayah. Apalagi pada era otonomi daerah sekarang ini, pengadaan guru agama menjadi domain dari pemerintah daerah setempat. Sehingga apabila tanpa diikuti lobby yang intensif dari umat kita yang berada di wilayah tersebut maka tidaklah mungkin kita dapatkan formasi guru agama Hindu walau hanya 1 formasi pun. 
  3. Dengan adanya penyerapan lulusan dari perguruan tinggi Hindu, maka akan menarik minat lulusan SMU untuk masuk ke perguruan tinggi Hindu. Coba kita bayangkan, seandainya lulusan perguruan tinggi Hindu tidak terserap, apa yang terjadi? Yang pasti minat untuk masuk ke kesitu akan sangat kurang sekali. Bila hal ini berlangsung terus menerus maka kelangsungan hidup perguruan tinggi Hindu hanya tinggal menunggu waktu saja.

Bagaimana dengan pasraman yang ada sekarang?

Menurut saya pasraman yang ada saat ini adalah embrio dari pasraman sebenarnya yang dimaksudkan dari UU Sisdiknas dan PP 55 2007. Jadi apabila pendidikan agama Hindu sudah bisa diselenggarakan di sekolah – sekolah, maka pasraman yang ada tersebut dapat memfokuskan untuk mempersiapkan diri menjadi pasraman yang sesungguhnya. Yaitu sebagai lembaga pendidikan yang bernuansa Hindu. Yang dimaksudkan dengan sekolah bernuansakan Hindu adalah sekolah yang disamping memberi pelajaran formal sesuai kurikulum yang telah ditetapkan pemerintah, dalam pelajaran agama hanya memberi pelajaran agama Hindu saja bagi seluruh siswanya, menambahkan pelajaran-pelajaran/ekstra kurikuler untuk meningkatkan pengetahuan dan keimanan mereka terhadap Tuhan Yang Maha Esa serta mampu menerapkan nilai-nilai Hindu dalam kehidupan nyata. Kenyataan yang ada, bahwa hingga saat ini di Indonesia masih sedikit sekali lembaga pendidikan formal setingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah tingkat atas yang bernafaskan Hindu. Sebagai akibatnya banyak anak-anak Hindu yang terpaksa bersekolah di lembaga-lembaga pendidikan non Hindu, dengan konsekuensi kewajiban mengikuti program keagamaan yang ditetapkan oleh sekolah tersebut. Fenomena ini terutama terjadi sebelum diberlakukannya sistem pendidikan agama menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003. 
Kalau kita tidak ingin ketinggalan dari yang lain, mau tidak mau pasraman yang ada harus mulai menuju fungsi yang sesungguhnya sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang bernafaskan Hindu. 

Berangkat dari pemahaman terhadap kedudukan dan peran pasraman sekarang, tentu sebagai umat Hindu terutama yang menginginkan proses pembelajaran pendidikan agama Hindu menyentuh pada aspek kerohanian, tidak merasa puas melihat bahwa fungsi pasraman yang sedang berlangsung sekarang. Sebab hal itu tidak lebih dari sekedar kursus dan hanya sekedar proses legalisasi pemberian nilai pendidikan agama di dalam raport saja. Di masa depan kita semua pasti berharap mampu mendudukkan posisi Pasraman sebagai lembaga pendidikan agama Hindu formal dan non formal dalam penyelenggaraan proses pembelajaran pendidikan agama Hindu dari tingkat SD, SMP, SMU dan perguruan tinggi. Dengan ditetapkannya UU Sisdiknas umat Hindu mempunyai peluang untuk menyelenggarakan pendidikan keagamaan Pasraman. Hal itu tertuang di dalam pasal 30 ayat 4 yang menyatakan : 

Pendidikan Keagamaan berbentuk pendidikan Diniyah, Pesantren, Pasraman, Pabhaja Samanera dan bentuk lain yang sejenis, selanjutnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pendidikan di pasraman menekankan pada disiplin diri, mengembangkan sradha dan bhakti. Sistim pasraman menggambarkan hubungan yang akrab antara guru dengan sisyanya bagaikan dalam sebuah keluarga. Sistim itu ada yang menyebutnya dengan sistim pendidikan Gurukula. Sistim pendidikan Hindu semacam ini yang sudah ada sejak dahulu sayangnya belum bisa berkembang di kalangan umat Hindu di Indonesia. Tetapi justru berkembang baik dan dilaksanakan oleh saudara – saudara kita dari agama lain. Jelas ini menjadi pekerjaan rumah bersama kita, seluruh stake holder Hindu Indonesia.