Berita Hindu Indonesia

Media Informasi Terkini Masyarakat Hindu Indonesia

Iklan Leo Shop

Pasang iklan disini

TWITTER

Powered by Blogger.

Upacara Rajasewala di Jawa, Perlukah ?

On 6:06 PM with No comments

Upacara Rajasewala di Jawa, Perlukah ?


Menurut GA. Wilken bangsa-bangsa di daerah Polinesia, Asia Tengah dan Asia Tenggara pada zaman dahulu terdapat suatu kepercayaan memotong bahagian tertentu dari tubuh, seperti; rambut, gigi, melobangi daun telinga, tatoo dan lain sebaginya adalah perilaku sebagai wujud penghormatan kepada para leluhur. Bagi umat Hindu, upacara itupun mirip ada yang memiliki kandungan makna yang berbeda. Sebagaimana yang terlihat pada penghayatan dan pengamalan dari manusayadnya. Manusayadnya adalah korban suci sebagai proses pensucian dan pendewasaan batin bagi seseorang agar seimbang, seiring dengan pertumbuhan dalam tata lahirnya. 

Sebagaimana tradisi di Bali, di Jawa pun setiap kelahiran seorang bayi dilakukan prosesi upacara manusayadnya, walaupun dalam bentuk yang berbeda. seperti; brokohan, penanaman ari-ari, puput puser, sepasaran, selapanan, tedhak siti dlsb. Bahkan sampai ketika menjelang akhil balik (dewasa) disekitar usia 15 tahun yang ditengarai dengan paraunya suara si anak (ngagor-agori), diselenggarakan upacara tigas sesuker. Bentuk kongkritnya adalah: supitan bagi anak laki-laki dan tetesan bagi anak perempuan. Upacara ini identik dengan rajasewala di Bali; metatah, mepandes atau potong gigi. Jika ditarik benang merahnya, upacara ini sebagai inisiasi momentum berakhirnya masa anak memasuki gerbang tahapan masa taruna atau remaja yang memiliki cakrawala dan rona yang berbeda. Secara psikologis masa ini sangat rentan terjadinya hal-hal yang dapat menyeret kedalam jurang adharma. Butuh perhatian dan kewaspadaan, apalagi jika dikaitkan dengan situasi dan kondisi global dewasa ini. Oleh karenanya upacara ini memiliki peranan yang sangat penting didalam meletakkan dasar sikap mental dan moralitas anak didalam kehidupan sehari-hari. Transformasi nilai bagi masyarakat Jawa diungkapkan dalam bentuk pralambang, pralampita maupun isyarat. Pralambang itu mentradisi sebagai keyakinan empiris yang didukung mitologie-mitologie, seperti yang terdapat pada; 

1. Mitologi Murwa Kala (Kala Tattwa) 

Diceritakan Batara Ciwa tengah berjalan-jalan bersama dengan Batari Uma diatas samodra. Tiba-tiba berembus angin kencang, kain Batari Uma tersingkap yang mengakibatkan betis beliau yang indah menawan itu terlihat. Melihat keadaan ini Dewa Siwa terangsang nafsu birahinya sampai mengeluarkan sukla (air mani) menetes terjatuh di samodra. Sukla itu ditangkap, diamankan dan dipelihara oleh Sang Hyang Trimurti.

Tiada tersangka sukla itu langsung berubah menjadi bayi, dari bayi berubah sangat cepat menjadi anak berbentuk raksasa yang sangat menakutkan. Oleh Sang Hyang Trimurti anak itu diberi nama Batara Kala. Setelah anak itu mencapai kesadaran diri diberitahukan kepadanya bahwa ia sesungguhnya adalah putra Batara Siwa. Mengetahui hal ini Batara Kala berkeinginan untuk mencari Bapaknya. 

Didalam pengelanaan pencarian ayahndanya, disepanjang jalan yang dilalui, penduduk ketakutan melihat wajahnya dan pada lari terbirit-birit tunggang langgang tak seorangpun berani menghadapinya. Hal ini menjadikannya salah perngertian Batara Kala marah, mengamuk dan merusak alam lingkungan disekitarnya.

Melihat keadaan ulah Batara Kala yang menghebohkan itu, para Dewa turun kedunia untuk melerai dan melakukan komunikasi untuk mengetahui apa maksud dan tujuannya. Batara Kala mengaku bahwa ia sama sekali tidak berkehendak untuk merusak alam lingkungan, tetapi karena tiada seorangpun yang dapat diajak berkomunikasi akhirnya jengkel dan mengamuk. Sesungguhnya ia sedang mencari dimana tempat tinggal Bapaknya yang menurut petunjuk Sang Hyang Trinurti bernama Batara Siwa. Selanjutnya hal tersebut dilaporkan kepada Batara Siwa. 

Setelah mendengar laporan dari para Dewa hal yang demikian, Batara Siwa mau menerima Batara Kala sebagai anaknya, manakala ia mau dipatahkan taringnya yang menakutkan setiap orang yang melihatnya dan Batara Kala bersedia. Walhasil setelah taringnya dipatahkan yang dilakukan oleh Batara Siwa sendiri akhirnya Batara Kala dapat diterima sebagai anaknya.

2. Lontar Smaradahana.

Diceritakan ada seorang raksasa yang bernama Nilarudraka yang sedang mengamuk di kerajaan sorga dan tiada satupun dari para Dewa yang mampu untuk melerai dan meredakannya. Berdasarkan petunjuk dari Bagawan Wrahaspati dijelaskan bahwa yang mampu meredakan amukan Sang Denawa Nilarudraka adalah seorang putra dewa Siwa sendiri yang berkepala gajah. Padahal pada saat itu, jangankan memiliki putra yang berkepala gajah, istrinya Dewi Uma mengandung saja tidak dan Sang Batara Siwa sendiri sedang melakukan samadi di puncak Gunung Kailasa. 

Kemudian para Dewa melakukan pertemuan, disepakati mengutus Dewa Smara untuk membangunkan Dewa Siwa dan menjelaskan keadaan sorga yang porak poranda karena ulah Nilarudraka. 

Setelah menemukan tempat persemadian Dewa Siwa, Dewa Smara langsung melepaskan panah asmaranya tepat terkena diulu hatinya yang selanjutnya tiada tersadari nafsu birahinya terbangkitkan. 

Namun ketika beliau membuka matanya, melihat Dewa Smara yang sedang memegang busur panahnya. Beliau beranggapan bahwa hal ini merupakan ulah Dewa Smara. Beliau marah, tanpa basa basi dengan kekuatan sakti mata ketiganya membakar Sang Dewa Smara sampai menjadi abu. Selanjutnya beliau langsung pulang untuk memenuhi hasrat birahinya.

Kejadian ini menjadi keprihatinan para Dewa, kemudian mereka bersama-sama termasuk Dewi Ratih (istri Dewa Smara) menghadap Dewa Siwa untuk mohon pengampunan dan berkenan menghidupkan kembali Dewa Smara. Ia hanyalah utusan hasil musyawarah dari para Dewa. Permintaan mereka ditolak, hanya permintaan Dewi Ratih yang dikabulkan untuk belapati dan abunya mohon dapat disatukan dengan Sang Suami digunung Kailasa. Akhirnya Dewi Ratih mengalami nasib yang sama seperti suaminya terbakar habis dan sesuai permintaan abunya disatukan dengan Dewa Smara. 

Upacara Rajasewala di Jawa, Perlukah ?


Berselang beberapa waktu, pada suatu ketika Sang Batara Siwa bersama Dewi Uma berjalan-jalan di Gunung Kailasa, Batara Siwa menceritakan peristiwa yang terjadi ketika itu. Mendengar cerita itu Dewi Uma merasa prihatin, minta kepada Dewa Siwa agar Dewa Smara dan Dewi Ratih dapat dihidupkan kembali. Menurut Dewi Uma, apapun alasannya Dewa Smara telah berjasa menyatukan mereka dalam cinta kasih dan berhasil mengandung. Namun Dewa Siwa tetap pada pendiriannya tidak berkenan untuk menghidupkan kembali keduanya seperti sediakala. Tetapi akan menghidupkan keduanya dengan cara lain, yakni dengan memasukkannya kedalam relung hati setiap insani di dunia. Dewa Smara akan hidup direlung hati setiap pria dan Dewi Ratih akan hidup di relung hati setiap wanita. Sehingga mereka akan dapat berpasangan dalam cinta sebagaimana seperti Dewa Smara dan Dewi Ratih. Kemudian diperintahkan kepada para Dewa untuk menebarkan abu Dewa Smara dan Dewi Ratih keseluruh dunia. 

Kembali kepada cerita Dewi Uma yang sudah mengandung. Para Dewa merasa senang mendengar berita itu, namun dihinggapi rasa kekawatiran, manakala yang terlahir nanti tidak sebagaimana yang diharapkan (berkepala gajah). Mereka berpikir dan berupaya agar kelahiran Sang jabang bayi nanti berkepala gajah, munculah ide meminjam Gajah Aerawata milik Dewa Indra sebagai sarana untuk memberikan kejut kepada Dewi Uma.

Pada suatu ketika Dewi Uma sedang memetik bunga - bunga yang ada di taman, dengan secara diam-diam gajah dilepas disamping Sang Dewi. Sudah barang tentu Dewi Uma terkejut hebat yang selanjutnya melahirkan betara berperawakan seorang pria yang gagah perkasa berkepala gajah dan diberi nama Ganesya.

Melihat kelahiran Ganesya tiada pikir panjang para Dewa mengambilnya langsung dilepas dipertarungkan dengan Nilarudraka yang memang sudah lama menantikan perlawanan dari para Dewa. Pertarungan terjadi tidak seimbang, Ganesya dibuat bulan-bulanan oleh Nilarudraka. Ia dilempar ditendang bak permainan bola. Anehnya hal ini justru menjadikan Ganesya semakin tumbuh berkembang dan sedikit demi sedikit mulai melakukan perlawanan. Ketika kesadaran diri muncul pertarungan menjadi seimbang, Ganesya mematahkan taringnya dan dengan cekatan menusukkannya pada dada Nilarudraka yang berakhir pada kematiannya. 

Upacara Rajasewala di Jawa, Perlukah ?


Setelah menyimak kedua mitologie ini, kiranya dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Ringkasan Kala Tattwa


  • Batara Kala terlahir dari sukla yang salah tempat, waktu, keadaan dan hanya dilambari oleh nafsu birahi.
  •  Batara Kala ingin mencari orang tuanya dan 
  • Baru dapat ketemu dan diterima bapaknya setelah gigi taringnya dipatahkan
2. Ringkasan Smaradahana


  • Ganesya terlahir akibat nafsu birahi Dewa Siwa yang dibangkitkan oleh Dewa Smara, namun kelahirannya menjadi harapan dan tumpuan bagi para Dewa untuk menyelamatkan sorga.
  • Dewa Smara dan Dewi Ratih akan senantiasa hidup disetiap relung hati insani. Dewa Smara hidup dalam relung hati pria dan Dewi Ratih hidup direlung hati wanita. Sehingga menjadi kodrad pria dan wanita dapat berpasangan dalam cinta
  • Ganesya setelah mematahkan taringnya kemudian dipergunakannya sebagai senjata untuk membunuh Nilarudraka.
Disamping kedua mitologi itu ada sebuah lukisan kuna atmaprasangsya yang dilukiskan di Taman Kertaghosa Klungkung menggambarkan adanya pitara yang sedang mengginggit pangkal bambu. Lukisan itu ditafsirkan bahwa karena selama hidupnya di dunia belum pernah melakukan potong gigi, maka pitara itu dianggap bersalah dan terhukum menggigit pangkal bambu.

Dari kedua mitologie itu untuk Murwa Kala (Kala Tattwa) masih sangat dikenal di tengah masyarakat di Jawa, walaupun ada perbedaan didalam penekannya. Pada mitologi Jawa endingnya dikembangkan bahwa Batara Kala setelah diterima sebagai anak dari Dewa Siwa, ia bersedia menghentikan ulahnya yang mengamuk dan merusak alam semesta. Tetapi untuk menunjang kehidupannya ia tetap mengkonsumsi (memangsa) manusia. Setelah terjadi dialog panjang maka diijinkan untuk mencari sendiri di dunia tetapi hanya manusia yang memiliki sesuker. Oleh karenanya suatu kepercayaan empiris di Jawa; khusus bagi anak yang memiliki sesuker harus segera disucikan dengan dilakukan upacara peruwatan agar terlepas (luwar) dari target santapan Batara Kala. 

Sesuker

Bagi masyarakat Jawa manusia yang dianggap mendapatkan sesuker adalah 2 hal yaitu akibat:

  1. Kelahiran; anak ontang anting (yang terlahir tanpa saudara), kedana kedini (2 saudara laki-laki dan perempuan, uger-uger lawang (2 saudara laki-laki semua), kembang sepasang (2 saudara perempuan semua) dll.
  2. Kesalahan; merobohkan dandang ketika menanak nasi, mematahkan pipisan (menghaluskan jamu), membangun rumah bentuk kampung tanpa tutup keong, dlsb. 
Akibatnya adalah mitologi itu peruntukkan bukan untuk upacara rajasewala, tetapi dipergunakan sebagai dasar didalam upacara ruwatan. Bahkan setiap diselenggarakan upacara ruwatan sudah dapat dipastikan akan digelar pakeliran (padat) wayang kulit yang mengambil cerita Murwa Kala sebagaimana cerita yang tersajikan pada Kala Tattwa diatas. 

Kembali pada upacara Rajasewala yang secara filosofis penyelenggaraannya mendasarkan pada mitologi tersebut, didalam pengimplementasiannya nampaknya ada perbedaan penekanan antara di Bali dan di Jawa, namun masih dalam fungsi yang sama sebagai upacara penyucian diri bagi anak yang menginjak dewasa serta sebagai dharmaning sepuh penghayatan kewajiban bagi orang tua untuk mendidik dan menjadikan anaknya untuk menjadi suputra. 

Kehidupan masyarakat di Bali yang masih sangat kental dengan rona religiusnya (Hindu) betul-betul merunut mitologi yang disadari sebagai keyakinan empiris dengan melaksanakan upacara potong gigi sebagai simbol pemangkasan sadripu. Untuk di Jawa, potong gigi kita temui pada era 60 an yang hanya dipahami secara phisik sebagai penataan gigi semata yang disebut dengan pangur (tanpa upacara). Seiring dengan perjalanan waktu kini telah hilang sama sekali. 

Sedangkan upacara rajasewala telah terjadi akulturasi dan sinkrit dengan nilai religiusitas yang dominan berkembang di tengah masyarakat Jawa, diterjemahkan sebagai tigas sesuker (mutilasi terhadap katup pada alat vital anak laki-laki). 

Nah sekarang pertanyaannya adalah, perlukah?. Jawabnya relatif tergantung yang bersangkutan di dalam mensikapi tata adat dan religiositas yang diyakininya.


Penulis Artikel :

Kasiyanto, S.Ag (Ketua Badan Penyiaran Hindu Prov. Jawa Tengah)


Next
« Prev Post
Previous
Next Post »
Comments
0 Comments