Berita Hindu Indonesia

Media Informasi Terkini Masyarakat Hindu Indonesia

Iklan Leo Shop

Pasang iklan disini

TWITTER

Powered by Blogger.

Mengapa Umat Hindu di Indonesia Merayakan Nyepi?

On 12:12 PM with No comments


Mengapa Umat Hindu di Indonesia Merayakan Nyepi?


Berita Hindu Indonesia - Pada tahun 79 Masehi, Raja Kaniska I dari dinasti Kushana dan suku bangsa Yuehchi mengangkat sistem kalender Saka menjadi kalender kerajaan. Semenjak itu, bangkitlah toleransi antar suku bangsa di India untuk bersatu padu membangun masyarakat sejahtera. Akibat toleransi dan persatuan itu, sistem kalender Saka semakin berkembang mengikuti penyebaran agama Hindu.
Pada abad ke-4 Masehi Agama Hindu telah berkembang di Indonesia. Sistem penanggalan Saka pun berkembang pula di Indonesia. Sistem penanggalan tersebut dibawa oleh seorang pendeta bangsa Saka yang bergelar Aji Saka dari Kshatrapa Gujarat yang mendarat di Jawa pada tahun 456 Masehi.

Demikianlah awal mula perkembangan Tahun Saka di Indonesia. Pada zaman Majapahit, Tahun Saka benar-benar telah eksis menjadi kalender kerajaan. Di Kerajaan Majapahit pada setiap bulan Caitra (Maret), Tahun Saka diperingati dengan upacara keagamaan. Di alun-alun Majapahit, berkumpul seluruh kepala desa, prajurit, para sarjana, Pendeta Siwa, Budha dan Sri Baginda Raja. Topik yang dibahas dalam pertemuan itu adalah tentang peningkatan moral masyarakat.
Dari masa ke masa maka di Indonesia, perayaan Tahun Baru Saka ini dirayakan dengan Hari Raya Nyepi oleh umat Hindu di Indonesia. 

Seperti kita ketahui semua bahwa prosesi Nyepi diawali beberapa hari sebelum Nyepi, yaitu diadakan upacara Melasti atau Melis dan ini dilakukan sebelum upacara Tawur Kesanga. Umumnya sebelum tiba hari raya Nyepi, ada dua rangkaian ritual yang sangat penting, yang selain memberikan dampak terhadap eksistensi manusia Hindu, juga merupakan sumbangan besar Hindu bagi pelestarian bumi dan sumber daya air. Sebuah penghormatan dan kewajiban dari umat Hindu dalam wujud laku spiritual yang dituangkan dalam kegiatan ritual serta tindakan nyata. Ada dua laku spiritual dalam pelaksanaan Nyepi :

Ritual yang pertama adalah ritual Melasti, sebuah ritual yang dilaksanakan berdekatan atau lokasinya di sumber-sumber air atau di pantai. Yang berada di dekat laut, akan memilih pantai dan yang tinggal di gunung, jauh dari laut akan memilih gunung atau danau. Secara spiritual, ritual ini bertujuan untuk membersihkan dan menyucikan makrokosmos (alam semesta) dan juga mikrokosmos (manusia) dari kekotoran-kekotoran fisik, termasuk penyakit-penyakit masyarakat maupun limbah-limbah rohani yang melekat dan menyelubungi semesta, sebagai akibat perbuatan-perbuatan manusia yang tak terkendali. Terkait dengan upacara, dalam lingkup yang lebih dalam ritual ini juga dipahami sebagai upaya untuk menyucikan peralatan-peralatan upacara Hindu. Dalam konteksnya dengan kesemestaan, ada sisi lain yang patut diperhitungkan, bahwa Melasti memberikan peringatan agar manusia selalu menghormati sumber daya air demi kelangsungan hidup di bumi. Dengan menghormati bahkan memuja tempat-tempat ini, maka diharapkan manusia Hindu tidak akan terjebak untuk ikut melakukan pencemaran terhadap sumber kehidupan ini. 

Melasti juga mengajarkan agar manusia mencintai sumber daya alam sebagai karunia yang patut disyukuri. Dengan demikian maka sumber-sumber ini harus dikelola dan dimanfaatkan dengan cara-cara yang tepat. Inilah manajemen sumber daya alam dalam kajian Hindu yang sangat menyadari bahwa air juga dominan di dalam diri setiap orang, sehingga tidak ada pilihan lain kecuali mengelolanya dengan bijak. Bagi umat Hindu, keberadaan air adalah sebuah keniscayaan yang tak mungkin dipinggirkan, sehingga tidak mengejutkan kalau agama Hindu juga pernah menyandang nama agama Tirtha.

Yang kedua adalah ritual Tawur Agung, semacam penebusan dan ucapan terimakasih yang ditujukan kepada alam semesta melalui bumi. Kalau Melasti obyeknya adalah air, maka Tawur obyeknya adalah tanah atau bumi pertiwi. Ritual Tawur ini muncul dari suatu kesadaran terhadap logika spiritual, bahwa manusia yang dihidupi oleh bumi ini ternyata tak terhindarkan untuk tidak merusak alam, khususnya bumi. Demi kelangsungan hidup manusia, seringkali bumi menjadi korban. Eksploitasi terhadap bumi yang berlebihan tidak jarang menyebabkan bumi ini menangis, kecewa, bahkan juga murka. Kebuasan perilaku manusia yang tidak berpikir panjang menyebabkan bumi porak-poranda. Dan manusia tidak pernah berpikir cerdas untuk melakukan sesuatu sebagai upaya mengembalikan keseimbangan alam. 

Jadi jika kita perhatikan tujuan filosofis Hari Raya Nyepi, tetap mengandung arti dan makna yang relevan dengan tuntutan masa kini dan masa yang akan datang. Melestarikan alam sebagai tujuan utama upacara Tawur Kesanga tentunya merupakan tuntutan hidup masa kini dan yang akan datang. Bhuta Yajña (Tawur Kesanga) mempunyai arti dan makna untuk memotivasi umat Hindu secara ritual dan spiritual agar alam senantiasa menjadi sumber kehidupan.

Tawur Kesanga juga berarti melepaskan sifat-sifat serakah yang melekat pada diri manusia. Pengertian ini dilontarkan mengingat kata "tawur" berarti mengembalikan atau membayar. Sebagaimana kita ketahui, manusia selalu mengambil sumber-sumber alam untuk mempertahankan hidupnya. Perbuatan mengambil akan mengendap dalam jiwa atau dalam karma wasana. Perbuatan mengambil perlu dimbangi dengan perbuatan memberi, yaitu berupa persembahan dengan tulus ikhlas. Mengambil dan memberi perlu selalu dilakukan agar karma wasana dalam jiwa menjadi seimbang. Ini berarti Tawur Kesanga bermakna memotivasi ke-seimbangan jiwa. Nilai inilah tampaknya yang perlu ditanamkan dalam merayakan pergantian Tahun Baru Saka

Menyimak sejarah lahirnya, dari merayakan Tahun Baru Saka kita memperoleh suatu nilai kesadaran dan toleransi yang selalu dibutuhkan umat manusia di dunia ini, baik sekarang maupun pada masa yang akan datang. Umat Hindu dalam zaman modern sekarang ini adalah seperti berenang di lautan perbedaan. Persamaan dan perbedaan merupakan kodrat. Persamaan dan perbedaan pada zaman modern ini tampak semakin eksis dan bukan merupakan sesuatu yang negatif. Persamaan dan perbedaan akan selalu positif apabila manusia dapat memberikan proporsi dengan akal dan budi yang sehat. Brata penyepian adalah media untuk umat yang telah mengkhususkan diri dalam bidang kerohanian. Hal ini dimaksudkan agar nilai-nilai Nyepi dapat dijangkau oleh seluruh umat Hindu dalam segala tingkatannya. Karena agama diturunkan ke dunia bukan untuk satu lapisan masyarakat tertentu.

Rangkaian Hari Raya Nyepi di luar Bali dilaksanakan berdasarkan desa, kala, patra dengan tetap memperhatikan tujuan utama hari raya yang jatuh setahun sekali itu. Artinya, pelaksanaan Nyepi di Jawa misalnya, jelas tidak bisa dilakukan seperti di Bali. Kalau di Bali, tak ada kendaraan yang diperkenankan keluar (kecuali mendapat izin khusus), namun di Jawa hal serupa jelas tidak bisa dilakukan.

Sebagaimana telah dikemukakan, brata penyepian telah dirumuskan kembali oleh Parisada menjadi Catur Barata Penyepian yaitu: 
Amati geni (tidak menyalakan api termasuk memasak). Itu berarti melakukan upawasa (puasa). 
Amati karya (tidak bekerja), menyepikan indria. 
Amati lelungan (tidak bepergian). 
Amati lelanguan (tidak mencari hiburan). 

Kalau dua jenis ritual tadi (Melasti dan Tawur Agung) yang dilakukan sebagai rangkaian awal hari raya Nyepi, lebih bernuansa kemestaan atau global, maka dalam persfektif spiritual, hari raya Nyepinya sendiri lebih bersifat individual dan sangat pribadi. Karena pada hari Nyepi ini, jiwa-jiwa manusia Hindu tenggelam dalam perenungan yang sangat dalam untuk mengkaji diri (pikiran, ucapan dan tindakan) melalui Brata penyepian. Tujuan utama dari brata penyepian itu sendiri adalah untuk menguasai diri, menuju kesucian hidup agar dapat melaksanakan dharma sebaik-baiknya menuju keseimbangan dharma, artha, kama dan moksha. 

Untuk melaksanakan Nyepi yang benar-benar spritual, adalah dengan melakukan upawasa, mona, dhyana dan arcana. Upawasa artinya dengan niat suci melakukan puasa, tidak makan dan minum selama 24 jam agar menjadi suci. Kata upawasa dalam Bahasa Sanskerta artinya kembali suci. Mona artinya berdiam diri, tidak bicara sama sekali selama 24 jam. Dhyana, yaitu melakukan pemusatan pikiran pada nama Tuhan untuk mencapai keheningan. Arcana, yaitu melakukan persembahyangan seperti biasa di tempat suci atau tempat pemujaan keluarga di rumah. Pelaksanaan Nyepi seperti itu tentunya harus dilaksanakan dengan niat yang kuat, tulus ikhlas dan tidak didorong oleh ambisi-ambisi tertentu. Jangan sampai dipaksa atau ada perasaan terpaksa. Tujuan mencapai kebebasan rohani itu memang juga suatu ikatan. Namun ikatan itu dilakukan dengan penuh ketulusan.

Yang terpenting, Nyepi dirayakan dengan kembali melihat diri dengan pandangan yang jernih dan daya nalar yang tinggi. Hal tersebut akan dapat melahirkan sikap untuk mengoreksi diri dengan melepaskan segala sesuatu yang tidak baik dan memulai hidup suci, hening menuju jalan yang benar atau dharma guna melaksanakan Nyepi yang benar-benar spiritual.
Pada prinsipnya, saat Nyepi, panca indria kita diredakan dengan kekuatan manah dan budhi. Meredakan nafsu indria itu dapat menumbuhkan kebahagiaan yang dinamis sehingga kualitas hidup kita semakin meningkat. Bagi umat yang memiliki kemampuan yang khusus, mereka melakukan tapa yoga brata samadhi pada saat Nyepi itu.

Bagi umat Hindu di Indonesia, perayaan Nyepi mengandung makna nilai yang sangat mendasar. Perayaan itu dilaksanakan sebagai upaya pencarian kesadaran akan hakekat kehidupan sebagai hamba Tuhan, sebagai kesatuan pribadi, dan sebagai ciptaan yang hidup di tengah - tengah kehidupan lingkungannya. Dengan kesadaran itu mereka diharapkan akan mewujudkan suatu kehidupan yang serba selaras, seimbang dan serasi antara raga dan jiwanya, individu dengan masyarakat, manusia dengan Tuhan, serta dengan alam lingkungan. Itulah suatu harmoni kehidupan yang berakar dari konsepsi " Trihita Karana ". Dalam jiwa yang bersih hening, segala derita sengsara akan Sirna. Pikiran seseorang yang jiwanya bersih, bersemayam teguh dalam ketenangan. Dalam jiwa yang bersih hening di saat Nyepi, manusia ibarat kepompong menjelang metamorfosa. Setelah menjadi kupu-kupu, ia terbang menjelajah alam, hidup dengan mengisap madu pada sari bunga, tanpa kebuasan, keserakahan, dan keangkuhan. Demikianlah halnya umat Hindu, ketika Nyepi ia ibarat kepompong, tenang, diam, hening, menyatu dengan jiwa yang suci, menanti kehadiranNya yang penuh kesejukan. Merasakan sinar suci Hyang Widhi seakan hadir dalam air tanpa tepi , tenang menyejukkan dan menggugah kesadaran jiwa dan penyadaran diri kita.
Next
« Prev Post
Previous
Next Post »
Comments
0 Comments